Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Neo Oligarki

26 Juli 2020   14:42 Diperbarui: 26 Juli 2020   14:36 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: indonesiana.id

Aria Bima mengatakan "baik proses demokrasi kepartaian tidak ada kaitannya dengan Pak Jokowi, soal terpilihnya Gibran. Tapi gini lho yah bahwa kita tetap mendengarkan yah. Partai politik hal yang dikhawatirkan oleh pengamat dan penggiat demokrasi tentang ngerinya politik dinasti..." (lihat di sini)

Pendapat Arya Bima di atas sepertinya hanya simplifkasi. Satu sisi dia menggugat praktik oligarki di tubuh PDIP. Satu sisi lagi dia merasa harus mengikuti keputusan partai untuk tetap mencalonkan Gibran sebagai wakil Wali Kota Solo. 

Pembaca bisa mendengar sendiri kelanjutan pendapat Arya Bima pada chanel youtube (https://www.youtube.com/watch?v=uGNau8skQD0).

Kehadiran dinasti politik yang meliputi perebutan kekuasaan di tingkat regional hingga nasional mengakibatkan substansi demokrasi sendiri menjadi sulit diwujudkan. 

Berkembangnya dinasti politik, terutama di daerah tidak terpisahkan dari peran partai politik dan peraturan pemilu (Mietzner: 215,  lihat di https://www.eastwestcenter.org/system/tdf/private/ps072.pdf?file=1&type=node&id=35018).

Populisme Jokowi menurut Mietzner (2015) dalam "Reinventing Asian Populism; Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia", merupakan antitesis terhadap praktik oligarki zaman Orde Baru. 

Setelah runtuhnya Soeharto, Jokowi diharapkan menjadi populisme baru yang menggugat praktik oligarki yang selama ini menjadi kanker di Indonesia. Jokowi dengan gaya politik santun diharapkan menjadi oase di tengah miskinya negara terhadap pemimpin yang jauh dari praktik oligarki.

Pencalonan Gibran sebagai calon walikota Solo ini sebenarnya hanya sebagian kecil praktik oligarki yang menghantui lingkaran kekuasaan Jokowi. Bisa jadi Jokowi hanyalah korban praktik politik dinasti ini. 

Sebelum Jokowi naik menjadi presiden, isu-isu miring sudah terdengar misalnya Jokowi hanyalah petugas partai. Jokowi oleh banyak dipihak dinilai tidak akan mampu berdiri sendiri di tengah kekuatan partai politik yang mengelilinginya.

Berbagai Isu miring faktanya tidak memiliki dampak terhadap kemenangan Jokowi. Tetapi kemudian menimbulkan pertanyaan menggelitik. 

Seberapa besar kekuatan Jokowi bisa lepas dari interenvsi partai politik yang menaunginya? Apakah mungkin Jokowi bisa menang melawan kekuatan sekelompok elit yang kongkalikong untuk menikmati kue kekuasaan?

Gun Gun Heriyanto (2015) dalam "Model Hubungan Politik Era Pemerintahan Jokowi: Mengkaji Peran Media dan Partisipasi Publik" (lihat di sini),  menyimpulkan setiap rezim berkuasa termasuk rezim Jokowi, punya potensi "dibajak" oleh sekelompok elite politik  yang berkolaborasi degnan para pengusaha dalam menikmati kekuasaan"

Praktik Oligarki di lingkaran kekusaan sebelum Gibran mencalonkan diri sebagai calon walikota, sebenarnya sudah disinyalir oleh Felix Nathaniel (2019) lihat di sini. 

Nathinel mencatat praktik bagi-bagi jabatan ini bermula saat kemenengan Jokowi di Periode kedua. Misalnya adalah Angela Herliani Tanosoedibjo menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan dua staf khusus Jokowi Diaz Hendropriyono dan Putri Indahsari Tanjung. 

Angela dan Putri merupakan anak dari dua konglomerat di Indonesia, sedang Diaz adalah putra mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M Hendropriyono. Sebelumnya sekjen Partai Perindo.

Jika sekarang ini Gibran bertarung menjadi calon walikota Solo dan Boby menantu Jokowi juga melenggang menjadi calon walikota Sumatra Utara, tentu tidak ada yang salah. 

Tidak juga cacat moral atau etika politik. Mereka tetap sah mengajukan dirinya sebagai calon walikota. PDIP juga sudah menyetujui pencalonan dua anak muda tersebut. 

Meskipun muncul juga ketidaksetujuan dari internal partai. Misalnya dari FX Rudi Rudyatmo yang merasa kecewa karena justru yang maju sebagai calon Walikota Solo adalah Gibran (lihat di sini)

Akan tetapi pencalonan Gibran dan Boby merupakan berakhirnya populisme Jokowi. Gagasan Mietzner (2015) mengenai populisme Jokowi untuk membunuh praktik oligarki menjadi tidak benar. Jokowi justru dikepung oleh praktik oligarki (baca: nepotisme) seperti saat jaman Orde Baru.

Majunya Gibran dan Boby dalam kontestasi keuasaan daerah membenarkan tesis Johanes Danang Widyoko (2016) dalam "Menimbang Peluang Jokowi Memberantas Korupsi: Catatan untuk Gerakan Anti Korupsi". 

Jokowi yang bukan berasal dari elite politik dan bukan ketua partai politik tampak tidak mampu melawan kepentingan oligarki dan elit politik yang mendukungnya.

Tulisan ini sejalan dengan tesis Widyoko, Jokowi tidak mampu melawan dirinya sendiri untuk menghilangkan praktik oligarki dalam lingkaran kekuasaanya. Justru Jokowi menjadi nahkoda yang membawa keluarganya menuju apa yang saya sebut sebagai "Neo Oligarki". 

Menegaskan gagasan Antonio Gramsci (2011) dalam buku Prison Notebooks, setiap ideologi kekuasaan selalu saja tidak dapat dilepaskan dari praktik hegemoni. Dengan cara apapun kekusaan akan terus diperjuangkan yang paling mudah adalah melanggengkan dinasti politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun