Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah, Revolusi Industri 4.0, dan Kemiskinan

3 Juli 2019   19:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   09:14 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa pendidikan sebuah bangsa tidak dapat bersaing dengan bangsa lain khususnya penciptaan teknologi informasi terbarukan. Karena pendidikan rendah, masalah kemiskinan masih sulit diselesaikan. Jika pendidikan rendah, mungkinkah sebuah bangsa dapat menyongsong era revolusi industri 4.0?

"Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Student Assessment) peringkat pendidikan Indonesia di dunia bertengger di urutan 62 dunia di bidang sains, 63 dunia di bidang matematika, dan 64 dunia di membaca." (https://news.detik.com)

Artikel singkat ini merupakan catatan perjalanan penulis saat pulang kampung ke desa bagian dari Kabupaten Muara Enim Sumatra Selatan. Tulisan ini juga merupakan hasil perenungan panjang setelah melihat realitas sosial yang terjadi pada masyarakat. Realitas sosial yang pernah lihat ini sepertinya hanya sebagian kecil realitas sosial bangsa Indonesia yang sangat luas.

Kemiskinan, kata inilah yang menyentak hati penulis melihat kondisi masyarakat. Kemiskinan seolah tidak pernah lepas dari jantung masyarakat Indonesia. Meskipun sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka. Zaman sudah masuk di pintu revolusi industri 4.0, kemiskinan masih menjadi realitas sosial masyarakat Indonesia.

Lantas siapa yang menikmati kekayaan alam Indonesia? Silakan pembaca mencari sendiri jawabannya. Pembaca tentu lebih memahami kondisi Indonesia, jauh lebih paham dibandingkan dengan penulis.

Beberapa hari ini, isu tentang pendidikan yang masih hangat adalah pembagian zonasi pendidikan. Kebijakan yang sebenarnya masih menjadi perdebatan dalam masyarakat. Setiap pergantian pemimpin, berganti juga kebijakan pendidikan Indonesia. Kebijakan zonasi inipun terbilang keputusan baru dalam bidang pendidikan.

Jika ditanyakan 'Untuk apa kebijakan zonasi?' Jawabannya pasti untuk perbaikan pendidikan bangsa Indonesia. jawaban yang tidak perlu memerlukan jawaban panjang lebar. Mau tidak mau, masyarakat wajib mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemangku kebijakan pendidikan.

Lebaran kemarin, saat pulang kampung ke Sumatra Selatan, ada saudara yang minta bantuan pendaftaran sekolah dasar untuk anaknya. Sistem pendaftaran menggunakan sistem zonasi yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Pendaftaran harus melalui sistem online dan tidak menerima pendaftaran manual. Tujuannya untuk mempermudah pendataan pada tingkat daerah hingga tingkat pusat.

Masalahnya, ada beberapa orang tua yang masuk pada imigrant digital (orang tua yang baru belajar tekonologi internet). Mereka tidak memahami bagaimana cara mendaftar secara online. Waktu itu ada petunjuk, orang tua harus mendownload aplikasi melalui playstore. Melalui aplikasi ini lalu orang tua bisa mendaftar online.

Sepintas sistem ini sangat cepat dan memudahkan sistem pendataan. Tetapi masalah kembali muncul, saat orang tua tersebut tidak memiliki hp android. Di kampung ini juga tidak ada penyewaan warnet dan tidak mudah menemukan orang yang memiliki laptop atau personal komputer.

Di kampung ini, jaringan internet juga masih belum memadai. Operator yang masuk yang loadingnya lancar adalah Telkomsel. Operator seluler lainnya benar-benar mati total dan tidak bisa diakses.

Sepengetahuan penulis, masyarakat menggunakan hp android dan akses internetnya adalah untuk mengakses informasi melalui media sosial misalnya facebook.

Meskipun agak repot, kami berhasil mendaftarkan anak tersebut melalui online. Di kampung ini hanya ada satu sekolah dasar. Jarak-jarak rumah dari sekolah juga tidak terlalu jauh untuk ukuran kampung. Fasilitas yang ada tidak sehebat fasilitas sekolah di kota besar, sekolah di Jakarta misalnya. Semua serba terbatas sebab sekolah memang berada di tengah kampung yang dikelilingi hutan lebat.

Rebut-ribut soal zonasi ini hanya terjadi pada kebijakan baru-baru ini. Saat penulis dulu sekolah (tahun 90-an), tidak ada sistem zonasi.

Tidak juga ada kebijakan diskrimantif, mana sekolah unggulan dan mana sekolah rendahan. Semua dianggap saja, bagi kami orang kampung, yang penting bisa masuk sekolah.

Waktu itupun (tahun 90-an) belum ada internet seperti sekarang ini. Penerimaan peserta didikpun masih manual tanpa komputer jaringan internet. Meskipun tidak menggunakan komputer internet, masuk sekolah tetap berjalan lancar. Tidak ada ribut-ribut pembagian zonasi seperti sekarang ini.

Hasilnya, para profesor sekarang, yang duduk di pemerintahan dan berbagai perguruan tinggi, saat mereka SD dulu tanpa ada sistem zonasi. Coba tanyakan pada Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Saldi Isra, atau pun Prod Eduard Edi, apakah mereka dulu saat sekolah menggunakan sistem zonasi. Mereka saat ini menjadi orang yang ahli dalam bidang hukum tata negara.

Artikel ini bukan hendak mengajak untuk meninggalkan komputer jaringan ataupun merubah kebijakan pemerintah mengenai sistem pendidikan. Hanya untuk merenungi, bahwa pendidikan kita masih terdapat gab yang cukup besar. Penyediaan fasilitas antara di kampung dan di kota besar memiliki perbedaan yang cukup jauh.

Masih banyak masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi miskin. Untuk memenuhi kebutuhan makan saja sulit, bagaimana mungkin bisa memenuhi kebutuhan pendidikan. Untuk membeli berasa saja sulit bagaimana mungkin bisa diarahkan untuk menyongsong revolusi industri 4.0.

Jika pemerintah gagal memberikan pendidikan tinggi bagi rakyat, jangan berharap bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun