Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah, Revolusi Industri 4.0, dan Kemiskinan

3 Juli 2019   19:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   09:14 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepengetahuan penulis, masyarakat menggunakan hp android dan akses internetnya adalah untuk mengakses informasi melalui media sosial misalnya facebook.

Meskipun agak repot, kami berhasil mendaftarkan anak tersebut melalui online. Di kampung ini hanya ada satu sekolah dasar. Jarak-jarak rumah dari sekolah juga tidak terlalu jauh untuk ukuran kampung. Fasilitas yang ada tidak sehebat fasilitas sekolah di kota besar, sekolah di Jakarta misalnya. Semua serba terbatas sebab sekolah memang berada di tengah kampung yang dikelilingi hutan lebat.

Rebut-ribut soal zonasi ini hanya terjadi pada kebijakan baru-baru ini. Saat penulis dulu sekolah (tahun 90-an), tidak ada sistem zonasi.

Tidak juga ada kebijakan diskrimantif, mana sekolah unggulan dan mana sekolah rendahan. Semua dianggap saja, bagi kami orang kampung, yang penting bisa masuk sekolah.

Waktu itupun (tahun 90-an) belum ada internet seperti sekarang ini. Penerimaan peserta didikpun masih manual tanpa komputer jaringan internet. Meskipun tidak menggunakan komputer internet, masuk sekolah tetap berjalan lancar. Tidak ada ribut-ribut pembagian zonasi seperti sekarang ini.

Hasilnya, para profesor sekarang, yang duduk di pemerintahan dan berbagai perguruan tinggi, saat mereka SD dulu tanpa ada sistem zonasi. Coba tanyakan pada Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Saldi Isra, atau pun Prod Eduard Edi, apakah mereka dulu saat sekolah menggunakan sistem zonasi. Mereka saat ini menjadi orang yang ahli dalam bidang hukum tata negara.

Artikel ini bukan hendak mengajak untuk meninggalkan komputer jaringan ataupun merubah kebijakan pemerintah mengenai sistem pendidikan. Hanya untuk merenungi, bahwa pendidikan kita masih terdapat gab yang cukup besar. Penyediaan fasilitas antara di kampung dan di kota besar memiliki perbedaan yang cukup jauh.

Masih banyak masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi miskin. Untuk memenuhi kebutuhan makan saja sulit, bagaimana mungkin bisa memenuhi kebutuhan pendidikan. Untuk membeli berasa saja sulit bagaimana mungkin bisa diarahkan untuk menyongsong revolusi industri 4.0.

Jika pemerintah gagal memberikan pendidikan tinggi bagi rakyat, jangan berharap bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun