Mereka mengatakan bahwa bekerja di kebun kopi milik orang lain, sehari diberikan upah Rp. 40.000. Jumlah itu mereka sudah mendapatkan makan siang sekali, teh/kopi, dan beberapa makan ringan. Jam kerja juga pendek antara jam 8 pagi sampai jam 4 sore dipotong istirahat kurang lebih 1,5 jam untuk makan siang dan lain-lain.
Pertanyaan tentang kemiskinan dan rokok, sampai di sini sepertinya menemukan titik temu. Harga rokok di sana paling standard adalah 14 ribu-25 ribu. Ada beberapa rokok yang harganya di bawah itu tetapi bukan menjadi pilihan karena rasanya bagi mereka kurang enak.
Jika satu orang merokok satu hari minimal satu bungkus. Menggunakan asumsi harga pembelian yang paling murah 15 ribu, maka uang kerja berkebun itu sisa 25 ribu. Sisa yang sebenarnya cukup besar jika menggunakan ukuran orang kampung.
Tapi bagaimana jika seorang lelaki merokok sehari 2 bungkus? Maka uang itu hanya tersisa 10 ribu rupiah. Bisa kita asumsikan juga mereka membeli rokok dengan harga satu bungkus 20 ribu. Uang 40 ribu tersebut habis hanya untuk membeli rokok.
Penulis sesekali pernah menemukan seorang kakek tua membeli sebuah rokok dengan merk Gudang Garam Surya dengan harga 25 ribu rupiah. Padahal jika dilihat dari phisiknya, kakek tersebut sudah tidak mampu bekerja di kebun kopi karena phisiknya sudah tua. Pembaca bisa mencari sendiri berapa harga rokok yang dijual di Indonesia.
Uang hasil bekerja di kebun sebesar 40 ribu, jika dibelikan ikan Lele di kampung tersebut bisa mendapatkan 1 kilogram lebih. Untuk membeli beras juga lebih dan bisa memberikan kenyang keluarga. Apalagi jika dibelikan sayuran, tentu tersisa juga untuk ditabung. Masyarakat bisa menyisakan uangnya untuk biaya pendidikan sekolah/kuliah anak-anak.
Di sebuah tetangga rumah terdapat sebuah kasus perokok aktif. laki-laki tersebut hanya bekerja sebagai buruh kebun lepas. Bahkan dapat dikatakan sangat jarang bekerja karena memang tidak ada pekerjaan. Galibnya, setiap istri pulang membawa beras, lelaki tersebut mencurinya untuk dijual. Hasil penjualan beras yang dicuri dari istrinya tersebut ternyata dibelikan sebungkus rokok.
Kondisi ini masih terjadi sampai sekarang dan pelakunya masih hidup. Kehidupannya dapat dikatakan masih sangat miskin. Tak memiliki pekerjaan tetap masih harus mengeluarkan uang untuk membeli sebungkus rokok.
Kebiasaan merokok ini, menjadi pandemi yang sulit di hentikan. Bukan hanya orang tua yang merokok, anak-anak usianya belasan tahun sudah tertular untuk ikut merokok. Pada akhirnya masyarakat dibuat miskin dengan adanya rokok.
Menurut penulis, rokok selain menyebabkan penyakit medis, yang paling dominan adalah adanya penyakit sosial yaitu kemiskinan. Pun pendapat ini masih bisa diperdebatkan, setidaknya itulah realitas yang penulis lihat di masyarakat sekitar. Termasuk kondisi masyarakat kampung pedesaan di Muara Enim Sumatra Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H