Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sudah Miskin, Masih Saja Merokok

3 Juli 2019   16:40 Diperbarui: 3 Juli 2019   16:59 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ekonomi.kompas.com

Apakah ada keterkaitan antara orang yang merokok dengan kemiskinan? Apakah perokok aktif bisa berdampak lahirnya kemiskinan pada sebuah masyarakat? Bagaimana rokok memiskinkan sebuah masyarakat dalam jangka panjang?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu membutuhkan penelitian yang mendalam. Pada tulisan ini tidak hendak menguraikan masalah di atas dalam wujud ilmiah dengan data-data yang objektif. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis secara fenomenologi (berdasarkan pengalaman).

"Informasi dari Riset Kesehatan Dasar (2013), seorang perokok di Indonesia rata-rata menghabiskan 12 batang rokok per hari. Di tahun 2016 (Survei Sosial Ekonomi Nasional), 14% pengeluaran rakyat Indonesia dialokasikan untuk padi-padian sementara 13,8% untuk rokok. Data yang tersedia di Badan Pusat Statistik (BPS), selama setidaknya sepuluh tahun terakhir, menunjukkan konsistensi bahwa pengeluaran untuk rokok mengalahkan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan bahan pangan lain seperti telur yang bermanfaat bagi bagi peningkatan gizi keluarga." (Baca di http://www.depkes.go.id)

Artikel ini tidak akan membahas dampak rokok terhadap kesehatan. Secara umum, pembaca sudah mengetahui bagaimana dampak buruk rokok terhadap kesehatan. Berbagai tulisan mengenai dampak rokok terhadap kesehatan bertebaran di internet. Pada bungkus rokokpun telah ada peringatan tentang bahaya rokok yaitu penyakit kanker, jantung dan lain-lain.

Telah banyak kajian yang membahas tentang keterkaitan antara rokok dan kemiskinan. Secara garis besar rokok merupakan sumber petaka yang justru membuat masyarakat menjadi sebuah wilayah tetap berada dalam kemiskinan.

Rokok kretek filter sebagai komoditi terbesar kedua penyumbang garis kemiskinan di Indonesia https://ekonomi.kompas.com. Menurut catatan BPS, rokok menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia. Rokok memengaruhi tingkat kemiskinan karena bukan merupakan bahan pokok tetapi banyak dikonsumsi oleh penduduk miskin https://bisnis.tempo.co.

Artikel pendek ini memaparkan pengalaman pribadi saat pulang kampung ke rumah mertua di daerah pedesaan bagian dari Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatra Selatan. Sebagai orang Jawa, penulis merasa tersanjung saat datang pertama kali di rumah mertua. Tanah di dusun bagian dari Sumatra Selatan ini sangat subur. Penulis bahkan sampai bergumam "tanah seperti surga yang dihamparkan".

Hamparan tanah yang luas dengan tanaman utama kopi, durian, dan karet. Tanaman yang tidak pernah penulis saat tinggal lama di Yogyakarta. Kampung ini dikelilingi hutan yang sangat luas entah berapa luasnya. Kesuburan makin kentara dengan banyaknya air yang mengalir dari gunung. Lahan yang sangat cocok untuk bertanam kopi. Daerah ini merupakan penghasil kopi yang luar biasa besar.

Dengan kesuburan tanah dan penghasil kopi, seharusnya masyarakat di sini jauh dari kemiskinan. Tetapi kondisinya justru sangat berbeda dengan kondisi pendukung tanah yang subur. Beberapa masyarakat justru banyak yang masih berada dalam kondisi pra sejahtera (miskin). Salah satu indikator yang terlihat adalah dengan pendidikan yang hanya sampai pada tingkat menengah (SMU). Sebagian besar juga hanya memiliki pendidikan paling tinggi adalah tingkat SMP.

Masyarakat kampung ini sebagian besar (khususnya laki-laki) merupakan perokok aktif. Kemungkinan karena berada di daerah pegunungan dan udara sangat dingin, rokok menjadi pilihan nikmat. Penghasilan mereka dari berkebun kopi sebagian besar untuk mengkonsumsi rokok. Sepertinya, inilah yang menjadikan masyarakat di sana masih tetap banyak yang belum sejahtera.

Suatu saat penulis iseng-iseng bertanya pada masyarakat di sana. "Kak berapa penghasilan sehari mengelola kebun kopi..?" Pertanyaan diajukan pada orang yang bekerja sebagai buruh membersihkan rumpu di kebun kopi. Istilahnya mereka yang tidak memiliki kebun kopi, memilih bekerja sebagai pemetik kopi milik orang lain dan pekerjaan pertanian lainnya.

Mereka mengatakan bahwa bekerja di kebun kopi milik orang lain, sehari diberikan upah Rp. 40.000. Jumlah itu mereka sudah mendapatkan makan siang sekali, teh/kopi, dan beberapa makan ringan. Jam kerja juga pendek antara jam 8 pagi sampai jam 4 sore dipotong istirahat kurang lebih 1,5 jam untuk makan siang dan lain-lain.

Pertanyaan tentang kemiskinan dan rokok, sampai di sini sepertinya menemukan titik temu. Harga rokok di sana paling standard adalah 14 ribu-25 ribu. Ada beberapa rokok yang harganya di bawah itu tetapi bukan menjadi pilihan karena rasanya bagi mereka kurang enak.

Jika satu orang merokok satu hari minimal satu bungkus. Menggunakan asumsi harga pembelian yang paling murah 15 ribu, maka uang kerja berkebun itu sisa 25 ribu. Sisa yang sebenarnya cukup besar jika menggunakan ukuran orang kampung.

Tapi bagaimana jika seorang lelaki merokok sehari 2 bungkus? Maka uang itu hanya tersisa 10 ribu rupiah. Bisa kita asumsikan juga mereka membeli rokok dengan harga satu bungkus 20 ribu. Uang 40 ribu tersebut habis hanya untuk membeli rokok.

Penulis sesekali pernah menemukan seorang kakek tua membeli sebuah rokok dengan merk Gudang Garam Surya dengan harga 25 ribu rupiah. Padahal jika dilihat dari phisiknya, kakek tersebut sudah tidak mampu bekerja di kebun kopi karena phisiknya sudah tua. Pembaca bisa mencari sendiri berapa harga rokok yang dijual di Indonesia.

Uang hasil bekerja di kebun sebesar 40 ribu, jika dibelikan ikan Lele di kampung tersebut bisa mendapatkan 1 kilogram lebih. Untuk membeli beras juga lebih dan bisa memberikan kenyang keluarga. Apalagi jika dibelikan sayuran, tentu tersisa juga untuk ditabung. Masyarakat bisa menyisakan uangnya untuk biaya pendidikan sekolah/kuliah anak-anak.

Di sebuah tetangga rumah terdapat sebuah kasus perokok aktif. laki-laki tersebut hanya bekerja sebagai buruh kebun lepas. Bahkan dapat dikatakan sangat jarang bekerja karena memang tidak ada pekerjaan. Galibnya, setiap istri pulang membawa beras, lelaki tersebut mencurinya untuk dijual. Hasil penjualan beras yang dicuri dari istrinya tersebut ternyata dibelikan sebungkus rokok.

Kondisi ini masih terjadi sampai sekarang dan pelakunya masih hidup. Kehidupannya dapat dikatakan masih sangat miskin. Tak memiliki pekerjaan tetap masih harus mengeluarkan uang untuk membeli sebungkus rokok.

Kebiasaan merokok ini, menjadi pandemi yang sulit di hentikan. Bukan hanya orang tua yang merokok, anak-anak usianya belasan tahun sudah tertular untuk ikut merokok. Pada akhirnya masyarakat dibuat miskin dengan adanya rokok.

Menurut penulis, rokok selain menyebabkan penyakit medis, yang paling dominan adalah adanya penyakit sosial yaitu kemiskinan. Pun pendapat ini masih bisa diperdebatkan, setidaknya itulah realitas yang penulis lihat di masyarakat sekitar. Termasuk kondisi masyarakat kampung pedesaan di Muara Enim Sumatra Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun