Zaman saya kecil, ada TK tapi cukup jauh jaraknya. Jadi tak mungkin saya masuk TK. Pilihannya adalah masuk sekolah dasar saat usia tujuh tahun. Salah seorang teman waktu itu ada yang masuk TK di kota. Orang tuanya pejabat sekolah jadi bisa memberikan akses anak buat masuk TK.
Setelah kelas tiga SMP itulah saya mengenal bimbel. Kebetulan seorang teman membawa brosur bimbel dari kota kabupaten. Kalau tidak salah biaya pendaftaran waktu itu Rp 900,-. Itu hanya untuk sekali datang saja. Materi yang bisa diambil seputar kisi-kisi ujian nasional khususnya matematika.
Seingat saya waktu itu, saya mendaftar bimbel bersama teman. Dari kampung naik bis kota. Hanya berbekal sandal jepit. Parahnya lagi, sendal jepit itu putus di tengah jalan. Nasib saya sungguh tragis. Karena tak membawa uang lebih, saya tak bisa membeli sendal jepit sebagai pengganti.
Untuk pulang lagi juga jauh. Dengan rasa malu luar biasa, saya tetap ikut bimbel sehari itu. Tentu dengan tanpa alas kaki. Saat latihan saya tak konsentrasi saking malunya. Apalagi saat itu di ruangan yang ada AC. Kaki saya sungguh sangat menggigil kedinginan.
Pengalaman memalukan itu masih saya ingat sampai sekarang. Anak petani miskin seperti saya pergi ke kota untuk ikut bimbel. Akhirnya saya pulang dari kelas bimbel itu tanpa menggunakan alas kaki atau sendak jepit. Sungguh malu kalau mengingat kisah itu.
Tulisan ini tidak hendak memperdebatkan tentang efektivitas atau tidak bimbel. Tentu bagi anak-anak yang memiliki uang lebih, bimbel cukup membantu. Bagi anak-anak yang tak memiliki uang lebih, bimbel tentu saja tak mungkin menjadi pilihan. Semoga dengan bimbel pendidikan Indonesia bisa lebih maju.