Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Orang Miskin dan Bimbel

10 April 2019   18:06 Diperbarui: 10 April 2019   18:39 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena ada ada usulan tema dari Kompasiana mengenai bimbel, maka saya ingin ikut menuliskan juga. Tulisan ini tidak menggunakan preferensi secara ilmiah. Hanya opini yang mungkin berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai seorang anak miskin.

Saya kutipkan paragraf dari tulisan Kompasiana.com yang berjudul "[Pro-Kontra] Perlukah Mendaftarkan Anak Ikut Bimbel?" Saya akan memulai tulisan dengan merenungi pesan di bawah ini:

"Namun, biaya masuk bimbel tidaklah murah, bahkan bisa mencapai jutaan rupiah. Bisa jadi biaya untuk ikut bimbel justru sedikit lebih mahal daripada biaya bulanan membayar sekolah"

Dengan kutipan tersebut mustinya akan timbul pertanyaan. "Sebenarnya untuk siapa sih bimbel itu? Apakah orang miskin bisa ikut bimbel?"

Bimbel tentu saja merupakan program pendidikan informal yang bagus. Dengan bimbel, siswa dapat terbantukan dalam memahami beberapa mata pelajaran khususnya matematika. Galibnya, bimbel yang ada sering kali hanya memiliki tujuan jangka pendek. Bimbel berdiri hanya menjadi tangga untuk bisa lulus Ujian Nasional maupun untuk masuk perguruan tinggi negeri.

Mungkin amat jarang, pendirian bimbel adalah untuk tujuan jangka panjang. Misalnya adalah sebagai bentuk pengabdian masyarakat kemudian memajukan pendidikan Indonesia yang masih belum baik. Toh bimbel saat ini lebih dekat dengan kata industri pendidikan. Mau tidak mau tujuan bimbel adalah untuk menghasilkan uang.

Meskipun, tidak salah hal itu. Siapa yang boleh melarang pendirian bimbel untuk cari uang. Dengan adanya bimbel kan bisa membuka lapangan pekerjaan baru. Khususnya lulusan perguruan tinggi bisa terserap pada progam bimbel ini.

Masalahnya juga tadi bimbel kadang sifatnya musiman. Bimbel hanya ada dan menjadi populer saat akan ada ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Jika hipotesis saya ini hal ini benar-benar terjadi. Pertanyaanya "bagaimana nanti nasi bimbel jika ujian nasional dihapuskan? Bagaimana nasib bimbel jika nanti penerimaan mahasiswa perguruan tinggi bukan lagi berdasarkan nilai akademik?"

Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, tentu membutuhkan riset yang panjang. Paling tidak membuat pemetaan tentang manfaat bimbel untuk sumbangan ilmu pengetahuan. Masalahnya juga, bimbel kadang lebih populer bagi anak-anak yang tinggal di kota besar.

Bagi orang kampung bin ndeso seperti saya, sepertinya amat jarang memakai jasa bimbel. Boro-boro mau pakai bimbel, untuk bayar uang sekolah saya sulit. Untuk membayar SPP sebesar 50 ribu perbulan juga sangat sulit. Dengan kondisi seperti ini, bimbel sepertinya tak cocok dengan anak orang miskin.

Saya sendiri sejak kecil tidak familiar dengan kehadiran bimbel. Saya mengenal bimbel saat menjadi siswa di kelas tiga SMP. Saat SD sama sekali tidak mengenal adanya bimbel. Jangankan bimbel waktu itu, saya tak mengenal PAUD dan TK. Jadi saya langsung saja masuk SD. Saat kelas satu SD itulah saya langsung bisa menulis dan membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun