Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dosen Tak Paham Metodologi Penelitian, Kok Maksa Membimbing Skripsi

10 April 2019   16:50 Diperbarui: 10 April 2019   17:35 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: metrotabagsel.com

Saya sudah lama ingin menuliskan tentang ini. Tapi takutnya ini justru menjadi su'udzonnya saya terhadap orang lain. Biarlah saya tuliskan dengan cara yang lebih elok. Bukan untuk mengkritik orang lain tetapi untuk saya sendiri saja. Toh manusia itu selalu melakukan kesalahan. Anehnya sudah tau salah tetap saja nyeyel ingin dianggap benar.

Suatu saat saya terlibat diskusi dengan seorang mahasiswa tentang skripsi. Mahasiswa tersebut datang ke saya untuk minta dijelaskan tentang penelitian komunikasi lebih khusus tentang semiotik film. Bidang ini saya sedikit banyak memahami karena memang sesuai dengan jurusan kuliah S1 dan S2 saya. Maka, saya dengan senang hati menjelaskan padanya tentang skripsinya. Dari judul, metodologi semiotika makna dan sampai pada analisis data.

Saat asyik diskusi, seorang petinggi kampus datang ikut nimbrung. Karena dia petinggi kampus yah saya persilakan saja dia bergabung. Meskipun saya tahu, bidang ilmu yang dimiliki olehnya adalah bukan komunikasi. Saya juga tahu dia tak memiliki kompetensi bidang ilmu riset media yaitu semiotika.

Kemudian terjadi perdebatan antara saya dengannya beliau tentang perbedaan pesan dan makna. Semua orang yang mengkaji analisis media tentu memahami perbedaan pesan dan makna. Kalau isi bisanya lebih dekat dengan content analisysis atau disebut dengan analisis isi kuantitatif. Jika sudah menggunakan pesan, maka dia harus menggunakan hitungan statistik untuk mengolah datanya.

Semiotika lebih dengan makna, maka analisisnya adalah tekstual intepretatif (penafsiran). Maka analisis datanya adalah intepretatif tanpa menggunakan ukuran statisitik. Nampaknya, sang ketua ini tak memahami apa itu analisis isi kuantitatif dan analisis isi interpretatif misalnya semiotika, framing, wacana kritis, dan lain-lain.

Setelah saya jelaskan panjang lebar, dia masih ngotot. Dia memaksakan pendapat bahwa pesan dan makna itu sama saja tidak ada bedanya. Kalau semotika itu bisa menggunakan pesan kata dia ngeyel.

"Pesan itu artinya makna, atau sebaliknya makna itu pesan'' Kata dia.

Kata sang ketua, dengan sikapnya yang sok tahu. Padahal saya memahami, dia sendiri tak pernah menulis penelitian tentang komunikasi ataupun semiotika. Bidang yang dikuasainya adalah bahasa Arab dan Al-Qur'an. Kalau dua bidang ini dia memang sangat menguasai. Karena memang sesuai dengan jurusan kuliahnya plus dari SD hingga SMA adalah mondok pesantren.

Masalah metodologi penelitian, dia pun sama sekali tak menguasai. Jika membimbing skripsi kadang malah muter ke mana-mana. Pokoknya dia tak menguasai tentang metodologi penelitian. Galibnya, tak mengerti metodologi penelitian dia tak mau belajar.

Menulis jurnal ilmiah pun dia gelagapan tak bisa. Selama ini dia sama sekali sangat jarang menghasilan penelitian ilmiah. Ditantang untuk menulis opini di Kompasiana.com ini pun mungkin dia tak mampu. Saya tahu dia tidak hobi menulis.

Saya pernah tanya kenapa tidak menulis buku. Jawaban yang dia lontarkan sangat menyakitkan "Kenapa harus nulis. Saya ini khutbah Jumat sekali saja dapat satu juta..."

Geram sangat saya mendengar jawaban itu. Sudah begitu dia memaksa untuk membimbing skripsi mahasiswa. Kadang saya bingung, apa yang dia berikan pada mahasiswa bimbingannya. Sedangkan dia sendiri tak memahami apa itu metodologi penelitian.

Tulisan ini hanya sebagai renungan buat saya pribadi. Kita harus legowo nerimo, agar sedikit tau diri begitu. Jangan memaksa membimbing skripsi jika kita sendiri tak paham skripsi. Janganlah sok bisa membimbing penelitian jika kita tak memahami metodologi penelitian.

Jika tak memahami suatu bidang ilmu, jangan memaksa untuk membimbing bidang lain. Cukup kita menjadi orang yang sadar diri. Kalau tidak mengerti, selayaknya kita mengaku dengan jujur bahwa kita tidak tahu. Kita dengan legowo dan ikhlas menyerahkan sesuatu pada orang yang benar-benar ahli pada bidangnya. Paling tidak jikapun tak paham, kita masih mau belajar agar menjadi paham.

Wallahu a'lam bis shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun