Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seputih Cinta Mawar

17 Februari 2019   10:39 Diperbarui: 26 Februari 2019   18:51 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : mulpix.com

Beberapa tahun lalu, cinta itu mekar. Pada sosok gadis menggunakan jilbab motif mawar. Wajahnya telah mencuri hatiku. Kala itu, aku hanya lelaki biasa tanpa masa depan. Pekerjaanku sebagai seorang sales koran.

"Bukankah cinta tidak memandang status pekerjaan...?" Kala itu aku mengadu tentang ketidak-berdayaanku.

Setiap pagi, selesai loper koran, tidak sengaja aku temukan sosoknya di taman. Telah benar-benar hatiku dicuri olehnya. Hampir gila dengan cinta. Padahal, sosoknya bukan halal untukku. Tidak pantas aku mencintai wanita yang belum sah menjadi istriku.

"Allah, ampuni aku telah mecintainya" Setiap penghujung malam aku menangis. "Allah, jika memang dia jodohku, dekatkanlah.." Doaku menyeruak ke langit. "Jika bukan terbaik buatku, jauhkanlah wajah gadis itu dari tatapanku..." Cinta telah menutup nuraniku.

Untuk melupakannya, aku sering menyendiri di perpustakaan. Membaca buku-buku untuk mengusir cinta yang hadir. Terkadang juga menorehkan bait puisi tentang kerinduan. Tetap saja saja sulit melupakan wajah gadis berjilbab itu.

Aku beranikan saja menulis surat untuknya. Cinta harus diperjuangkan meskipun harus lewat tulisan pena. Hanya menulis surat itu pilihan terakhir. Aku ingin menjadikannya halal untukku. Meskipun aku hanya bekerja sebagai tukang loper koran.

"Maaf, aku tidak mencintai mas...." Surat yang aku kirim dibalas olehnya. "Mas cari saja wanita lain di kampus ini..." Kalimat terakhir yang ditulisnya.

"Apa sebab aku hanya seorang penjual koran. Lalu tidak pantas mencintainya..?" Pertanyaan itu berkecamuk dalam hatiku. Gadis berjibab itu memang bukan jodohku. Aku pun telah berusaha mengubur cinta itu. Meskipun sering kali aku temukan sosoknya duduk di taman kampus.

Setelah itu aku tenggelam dalam studiku. Cintaku padanya telah pupus. Allah swt telah menjawab doaku. Gadis itu tidak menerima pinanganku. Tidak perlu aku sesali, memang dia bukan cinta halal untukku. Sembari menyelesaikan studi, aku tetap bekerja sebagai tukang loper koran.

Aku yakin, kelak Allah SWT menghadirkan wanita yang lebih baik. Wanita shalihah yang mau menerima kekuranganku. Tidak memandang apa pekerjaanku. Tidak juga memandang bentuk phisikku yang hitam. Wanita shalihah yang cintanya adalah sambungan dari cinta Allah SWT.

Hingga aku menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Aku menyelesaikan pendidikan Master dan Doktoral di Jepang. Sosoknya terkadang hadir dalam memoriku. Aku mengerti, sosoknya, bukan menjadi takdirku. Cinta itu tidak dapat aku miliki.

Kesibukkan studi di Jepang telah menyita waktu. Cinta terlambat datang padaku. Kegagalan cinta itu membuatku takut untuk jatuh cinta lagi. Jadilah, aku laki-laki yang gila belajar. Jadilah aku lelaki yang gila bekerja. Cinta tidak pernah aku pikirkan lagi datangnya.

********

Hari ini aku pulang ke Indonesia. Ada undangan seminar dari kampus. Aku diminta menjadi pemateri utama. Abimana Prayoga, begitulah nama yang disematkan oleh orang tuaku. Aku tidak tahu apa filosofi nama itu. Bapak menginginkan aku menjadi lelaki kuat, itu saja.

Kini aku kembali melihat taman kampus ini. Setelah hampir 6 tahun aku tinggalkan. Kenangan ketika aku masih menjadi mahasiswa S1 yang miskin. Taman yang setia menemani kesedihanku. Taman ini juga yang mengerti tentang ketidak berdayaanku. Tentang cinta yang selalu tidak dapat aku rengkuh.

Nama, gadis itu sama dengan kembang itu. Gadis berjilbab putih, Mawar Anisa. Secantik mawar yang ada di taman ini. Tetapi, takdir memang tidak selamanya seperti yang aku inginkan. Mawar tidak pernah seutuhnya menjadi milikku.

Cinta terkadang tidak seindah mawar putih. Waktu itu ingin sekali aku memetiknya. Takdir Allah berkata lain. Mawar tidak pernah benar-benar mencintaiku. Semua hal yang telah aku berikan, tidak berarti. Cintaku bertepuk sebelah tangan.

Tapi, seputih cinta mawar memang tidak pernah menjadi takdirku. Akhirnya Mawar Anisa memilih menikah dengan lelaki lain. Mungkin salahku yang terlalu mencintainya. Harusnya aku mengerti, Mawar belum halal bagiku. Jadi, tak elok jika aku terlalu mencintainya.

Terdengar burung kutilang bernyanyi. Menemani lamunanku tentang masalalu. Lima tahun tidak bertemu, akan bertemu dengannya lagi. Terkadang, masa lalu hadir agar manusia tidak lupa. Ada kisah cinta yang harus menjadi hikmah. Meskipun kisah cinta itu tidak indah.

Dua tahun menyelesaikan Master dan empat tahun menyelesaikan Doktoralku. Selama itu pula kenangan tentang Mawar sudah aku lupakan. Tenggelam dalam kesibukan studiku. Seputih cinta Mawar Anisa telah hampir hilang dari memoriku.

"Mas Abim, besok bisa temui aku di taman kampus...?"

Sebuah pesan pendek masuk ke hp kecilku. Aku tidak tahu, dari mana Mawar mengetahui nomor hpku. Aku pun tidak tahu, dari mana Mawar mendapat kabar jika aku sudah pulang dari Jepang.

"Mas Abim, pernikahanku tidak bahagia"

Aku terhenyak sementara. Pernikahan Mawar tidak bahagia. "Apa gerangan yang terjadi. Cinta itu memang butuh perjuangan. Jika pernikahan tidak bahagia, siapa yang harus disalahkan? Apakah boleh menyalahkan takdir?"

Tiga puluh menit aku menunggu. Barangkali ini pertemuan terakhir dengan Mawar. Setelah ini, cinta itu benar-benar akan aku kubur. Sebab, Mawar memang telah menikah dengan lelaki lain. Aku ingin melupakannya. Mengejar cinta lain yang Allah SWT telah janjikan untukku.

Mawar Anisa tiba dengan langkah gontai. Mengenakan jilbab berwarna putih. Wajahnya sedikit berubah. Nampak ada beban berat dalam hidupnya. Ada gurat kesedihan dari wajahnya. Matanya terlihat sayu. Awan hitam menggelayut di atas kepalanya.

"Sudah menunggu lama mas..?" Mawar membuka pembicaraan.

"Tiga puluh menit aku menunggu..." Aku berkata lirih. "Aku pernah menunggumu hampir 2 tahun lebih. Jadi aku sudah biasa menunggumu..." Aku melanjutkan bicara. Ada kekecewaan muncul dari nada bicaraku.

"Maafkan Nisa, mas..." Mawar memandang langit sore. "Maafkan Nisa dulu menolak cinta Mas Abim..." Nada suaranya serak. Tangan kanan membetulkan jilbabnya yang lusuh. Jilbab tua yang tidak layak dipakainya.

"Apakah suaminya tidak mampu untuk sekedar membelikan baju gamis...?" Hatiku bertanya lirih.

"Boleh Nisa bercerita. Apakah ini bukan aib keluarga...?"

"Ada masalah apa Nisa...?" Mataku menatap tanah kering di sudut taman.

"Mas Abim, pernikahanku hampir gagal.." Anisa menahan nafasnya. Serasa beban berat ada di pundaknya.

"Nisa, anggap itu ujian bagimu. Percayalah, Allah sangat menyayangimu.." Aku memberikan nasihat untuk Mawar

"Tapi mas, suamiku..." Mawar berujar dengan penyesalannya.

"Sudah tiga tahun kamu menikah. Ada apa dengan suamimu..?"

"Peranginya kasar. Suka memukul aku mas. Dia pengangguran dan tidak mau bekerja.." Nisa membeberkan tentang kekurangan suaminya.

"Nisa, bukankah dia dulu pilihanmu. Dia yang telah kamu pilih menjadi suamimu..?"

"Aku sudah berusaha mecintainya, mas. Tapi aku gagal....."

"Nisa, cinta adalah sebuah perlawanan. Yah, perlawanan untuk saling menyempurnakan. Jika, ada kekurangan pada suamimu, bersabarlah.."

"Aku sudah berusaha mas..."

Cinta itu bukan milikku lagi. Tak elok aku mecintainya. Lagian, Mawar bukan yang halal untukku. Jadi, aku mencoba untuk membunuh perasaan itu.

"Aku pernah berjuang untuk mecintaimu. Takdirku ternyata tidak menyatu denganmu. Jadi, Nisa jangan pernah menyalahkan takdir. Seburuk apapun suamimu. Sosoknya adalah bagian dari hidupmu. Semenjak ikatan pernikahan, kamu harus mengabdi padanya. Surgamu ada di telapak kakinya, Nisa.."

"Mas Abim masih mecintai Nisa...?" Suara Mawar tertahan. Nafasnya agak sengal.

"Nisa, cinta itu tetap ada. Tapi..?"

"Tapi apa mas...?" Mawar penasaran.

"Cinta tidak halal itu telah lama aku lupakan. Nisa, maafkan mas Abim. Kembalilah pada suamimu. Bimbing dia agar menjadin laki-laki penghuni surga. Jangan pernah sekalipun kamu membencinya.."

"Maafkan Nisa, Mas..." Mawar nampak menangis. Kelopak matanya basah dengan air mata.

"Nisa, besok aku akan kembali ke Jepang. Ada beasiswa untuk melanjutkan postdoktoral. Barangkali ini pertemuan terakhir kita..."

"Mas Abim, meninggalkan Nisa..?"

"Mas akan selalu hadir. Dalam doa-doa sederhanaku. Semoga Allah SWT selalu menjagamu, Nisa.."

"Secapat itu kah Mas Abim pergi lagi...?"

"Nisa, percayalah aku tidak pernah membencimu. Cinta seputih mawar itu masih menjadi jejak masa lalu yang pernah singgah dalam hidupku.."

Taman ini masih asri. Beberapa tanaman tidak berubah. Walaupun sudah 6 tahun aku meninggalkan tempat ini. Takdir membawaku kembali lagi di taman ini. Tentang takdir hidup, pasti Allah memiliki rencana yang terbaik.

Aku pandangi sisi tanaman hijau. Ada juga bunga mawar berwarna putih. Mawar itu mengingatkanku pada sebuah kenangan. Yah, kenangan bersama Mawar Anisa itu tidak lekang dari hidupku. Meskipun telah 6 tahun aku meninggalkannya.

Aku melangkahkan kaki. Meninggalkan Mawar yang masih tergugu. Tangisnya mengiringi langkah kakiku. Ini adalah terakhir kali aku menatap wajah Mawar Anisa. Sore ini aku pulang ke Jogja. Ziarah ke makam simbok.

Besok pagi aku sudah harus kembali ke Jepang. Melanjutkan pendidikanku di jenjang postdoktoral. Cinta seputih mawar mengiringi langkah kaki. Meskipun, takdir cinta mawar tidak benar-benar menjadi milikku.

"Jangan pernah menyalahkan takdir cinta yang datang"

"Mas Abim, Nisa mencintaimu..." Mawar memanggil dalam tangis panjang. "Mas Abim, begitu bencinya dengan aku...?" Suara tangis Mawar hampir membunuh egoku.

Panggilan itu tidak aku pedulikan. Melanjutkan langkah kakiku dari cinta yang tidak halal. Aku yakin kelak, akan ada cinta yang lebih sempurna. Seputih cinta Mawar Anisa bukanlah takdirku. Cintanya telah menjadi takdir orang lain. Bayang wajah Mawar Anisa lamat-lamat aku lupakan.

The End

Cerpen pernah diterbit diblog pribadi: www.dosenbaper.wordress.com  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun