Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apakah Kemudahan Informasi Justru Membunuh Kita?

30 November 2018   20:21 Diperbarui: 30 November 2018   23:34 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: http://dwijuniastuti.blogspot.com/2012/11/kelebihan-dan-kelemahan-mesin-ketik-1.html)

Mata saya tertuju pada tesis dan disertasi yang telah dicetak sangat tebal. "Masyaallah, orang-orang dulu memang hebat dalam menghasilkan karya ilmiah" Batin saya dengan penuh kekaguman.

Disertasi dengan hampir 1000 halaman, di perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Disertasi dengan hampir 1000 halaman, di perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebuah Disertasi dikerjakan sekitar tahun 1980-an akhir. Penelitian dengan ketebalan hampir 1000 (seribu) halaman. Padahal tahun itu belum ada komputer dan belum ada internet. Disertasi ditulis dengan ketikan manual. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya menyelesaikan 1000 halaman. Bagaimana juga sang penulis mencari referensi sebanyak itu. Padahal waktu itu belum ada pdf dan waktu itu belum ada yang namanya jurnal online.

Sekarang kita bisa dengan mudah mendapatkan jurnal melalui perpustakaan online. Tidak perlu lagi harus jalan ke perpustakaan jauh. Hanya dengan hitungan detik, ribuan katalog buku atau jurnal sudah di hadapan kita. Semua kemudahan itu, justru membunuh kualitas pemikiran kita.

Gagal Memanfaatkan Limpahan Informasi

Karakter sesuatu yang instan, mungkin itulah yang membunuh keilmuan kita. Berbagai kemudahan sumber bacaan, kemudahan alat misal laptop, justru tidak membuat kita produktif menghasilkan tulisan sekelas Hamka dan Pram. Ketersediaan informasi yang melimpah justru membuat produktivitas tulisan kita secara kuantitas dan kualitas belum bisa melebihi buku-buku yang dituliskan oleh Hamka dan Pram.

Tulisan ini bukan hendak mengesampingkan hasil teknologi yang telah dibuat. Segala pencapaian teknologi informasi ini sesungguhnya juga memberikan berbagai kemudahan. Tetapi, segala kemudahan itu sejalan dengan karakter kelimuan kita.

Jangan sampai dengan kemudahan yang diberikan oleh teknologi, membuat kita menjadi malas. Kita harus menjadi masyarakat yang memiliki budaya etos kerja yang tinggi. Membaca, memahami, menganalisis, mensintesis, kemudian menuliskan hasil penelitian kita, itulah ciri peradaban yang telah dicontohkan oleh Hamka dan Pram.

Bangsa yang besar adalah jika masyarakatnya memiliki semangat kerja dan belajar yang tinggi. Tanpa kerja dan belajar dengan disiplin, bangsa kita masih akan tertinggal dengan bangsa lain. Kekayaan alam kita tidak dapat kita oleh sendiri. Yang kemudian diolah oleh bangsa lain dan merekalah yang menikmatinya.

Selamatkan keadaban budaya ketimuran Indonesia dengan terus membaca dan menulis.

Salam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun