Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cara Pandang Penjaga Warteg terhadap Koran

30 November 2018   14:58 Diperbarui: 30 November 2018   15:59 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca Koran Tiap Pagi

Seperti biasa, setiap pagi saya membeli koran pagi di Jalan Bangka Raya Mampang Jakarta Selatan. Jenis koran yang saya beli misalnya Kompas, Jawapos, Media Indonesia, Tempo, Republika, dan lain-lain. Hari-hari ini, membeli koran sepertinya sudah tidak mudah seperti dulu lagi. Koran Media Indonesia atau Koran Sindo misalnya, saya harus memesan terlebih dahulu sehari sebelumnya agar bisa mendapatkannya.

"Sekarang koran ini harus pesan dulu mas. Kalau tidak laku ndak boleh dibalikkin lagi..." Keluhan penjual langganan koran saya. Wanita berusia 50 tahunan yang masih setia membuka lapak kecil berisi koran-koran. Kisah hidupnya seakan ditentukan olah koran-koran yang digelarnya. 

Kondisi industri media cetak (koran) yang hampir mati penyebabnya adalah karena orang sudah tidak lagi membaca koran. Sejak jaman dahulu, hanya orang-orang tertentu saja yang mau membeli koran kemudian membacanya. 

Pada jaman millenial ini, kondisinya semakin memprihatinkan. Orang yang dulu setia membaca koran cetak, saat ini mulai bergeser membaca berita online. Kondisi buruknya, menyebabkan industri koran harian terancam gulung tikar. Hari-hari ini nampaknya menjadi waktu yang sulit bagi industri media cetak.

Contoh kasus, di Amerika Serikat, beberapa media cetak terutama yang terbit regional sudah menghentikan penerbitan cetak mereka dan beralih diri sepenuhnya menggunakan Internet (https://www.bbc.com). Penyebab Industri media cetak hampir mati Indonesia sebenarnya bukan saja dipengaruhi oleh kehadiran media online. 

Salah satu faktor penyebab utamanya adalah beberapa orang Indonesia yang tidak mau membeli informasi, apalagi koran. Bagi sebagian orang membaca koran merupakan kegiatan tidak penting dan membuang waktu. Ada sebagian lagi yang beranggapan membeli koran hanya buang-buang uang saja.

Tetapi, membeli rokok yang harganya Rp 15.000,- akan terasa lebih murah dibandingkan membeli koran Kompas atau Media Indonesia yang harganya hanya Rp 4.500,- Rendahnya minat baca orang Indonesia menyebabkan koran bukan menjadi barang kebutuhan primer. Hanya orang-orang tertentu saja yang bersedia membeli Koran kemudian membacanya. Kebutuhan membeli koran atau buku bukan menjadi kebutuhan paling mendasar bagi masyarakat Indonesia.

Koran Sebagai Pembungkus Tempe

Dalam budaya masyarakat Indonesia, koran sering kali hanya dimanfaatkan sebagai pembungkus tempe, pembungkus ikan teri atau pembungkus pengiriman barang. Lihat saja para pencari barang bekas, koran menjadi barang yang tidak ada harganya. Satu Kg koran yang menumpuk hanya dihargai dengan kisaran Rp 3.000,-. Tulisan orang-orang hebat dalam koran tersebut sepertinya hanya dianggap sebagai sampah. 

"Mas buat saya yah korannya"

Seorang wanita penjaga warteg tersenyum. Setiap pagi saya mampir ke sebuah warteg untuk sarapan pagi.

"Jangan mbak, Koran ini mau saya baca..."

Pagi itu saya membeli Koran Kompas, Media Indonesia, dan Jawapos. Koran saya letakkan di meja. Di samping piring saya makan dengan nasi rames.

"Lha buat apa to mas, tiap pagi beli koran. Ndak sayang duitnya...?"

Mbak penjaga warteg bertanya dengan dialek Jawa Tegal medok. Sepengetahuan saya orang yang bekerja di warteg ini berasal dari Tegal atau Brebes Jawa Tengah.

"Buat saya baca to mbak. Kan saya suka baca..."

Saya kemudian menjawab dengan logat Jawa Yogyakarta yang lebih halus. Sambil melanjutkan makan pagi. Pagi itu Jakarta masih basah oleh dingin air hujan.

"Nanti kalau ada koran bekas buat saya mas. Saya butuh buat bungkus tempe..."

Mendengar permintaan mbak penjaga warteg, saya hanya tersenyum. Melanjutkan makan pagi sembari memikirkan kondisi politik di negeri ini yang sedang memanas. Meminjam pendapat Yudi Latif pada sebuah artikel di Koran Kompas, telah terjadi "Politik Trivalitas".

Sehari sebelumnya, saat saya sedang membeli koran di Jalan Bangka Raya, cerita tentang cara pandang koran ini telah terjadi. Saat sedang memilih koran untuk dibeli, tiba-tiba datang seorang wanita menggunakan sepeda motor. Ia membawa beberapa karung sayuran di motor maticnya.

"Ibu ada koran bekas tidak...?" Ia berdiri di samping saya. Motor diparkir sebelah lapak koran.

"Tidak ada mbak. Buat apa sih koran bekas?" Ibu penjual koran dengan ramah menjawab. Sembari menata koran dagangannya.

"Buat bungkus tempe dan sayuran..." Ia melihat saya kemudian tersenyum.

"Nanti kalau ada saya kasih tau mbak.." Ibu penjual koran memberikan informasi. Nanti akan dicarikan koran bekas yang diperlukan tersebut. 

Saya hanya memperhatikan perbincangan mereka. Malang nian nasib penulis di koran-koran. Hasil pemikiran mereka hanya digunakan sebagai pembungkus tempe. Begitulah realitas budaya baca masyarakat Indonesia. Tulisan bukan menjadi barang yang berharga. Apalagi tulisan dalam koran, dianggap tidak ada manfaatnya.

Menuju Masyarakat Literasi

Sejak saya kecil hingga sekarang, Koran bukan menjadi barang berharga. Koran hanya digunakan sebagai kertas pembungkus tempe. Padahal, jika kita suka membacanya, tentu sangat bermanfaat tulisan dalam koran tersebut. Misalnya ada tajuk rencana, editorial, opini, dan berbagai analisis yang dituliskan oleh para ahli dari yang bergelar Doktor hingga Professor.

Keberadaan Koran, sejatinya bisa menjadi bukti kegairahan masyarakat Indonesia dalam membaca. Selain itu, Koran juga menjadi representasi kegairahan intelektualisme masyarakat sebuah bangsa. Masyarakat yang tidak gemar membaca, tentu mengganggap koran hanya bermanfaat sebagai pembungkus tempe.

Apakah ini menjadi indikasi rendahnya minat baca orang Indonesia atau masih rendahnya pendidikan orang Indonesia, saya tidak tahu. Menurut laporan (https://republika.co.id), motivasi membaca di Indonesia masih sangat rendah, yaitu menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.

Membaca merupakan ciri ketinggian adab sebuah bangsa dan negara. Saya sendiri sebagai umat Islam, mengetahui bahwa perintah pertama dalam Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah keharusan untuk membaca. Sebab, tanpa membaca kita tidak akan mampu mengungkapkan rahasia ilmu pengetahuan yang tersembunyi dalam alam semesta ini. 

Pada hari-hari ini saat politik sedang memanas dan hoaks menjadi hantu, saatnya kita bergerak menuju masyarakat literasi (membaca). Masyarakat literasi inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia keluar dari ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika tidak mau membaca koran bisa juga membaca buku atau informasi-informasi lain yang bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun