Seorang wanita penjaga warteg tersenyum. Setiap pagi saya mampir ke sebuah warteg untuk sarapan pagi.
"Jangan mbak, Koran ini mau saya baca..."
Pagi itu saya membeli Koran Kompas, Media Indonesia, dan Jawapos. Koran saya letakkan di meja. Di samping piring saya makan dengan nasi rames.
"Lha buat apa to mas, tiap pagi beli koran. Ndak sayang duitnya...?"
Mbak penjaga warteg bertanya dengan dialek Jawa Tegal medok. Sepengetahuan saya orang yang bekerja di warteg ini berasal dari Tegal atau Brebes Jawa Tengah.
"Buat saya baca to mbak. Kan saya suka baca..."
Saya kemudian menjawab dengan logat Jawa Yogyakarta yang lebih halus. Sambil melanjutkan makan pagi. Pagi itu Jakarta masih basah oleh dingin air hujan.
"Nanti kalau ada koran bekas buat saya mas. Saya butuh buat bungkus tempe..."
Mendengar permintaan mbak penjaga warteg, saya hanya tersenyum. Melanjutkan makan pagi sembari memikirkan kondisi politik di negeri ini yang sedang memanas. Meminjam pendapat Yudi Latif pada sebuah artikel di Koran Kompas, telah terjadi "Politik Trivalitas".
Sehari sebelumnya, saat saya sedang membeli koran di Jalan Bangka Raya, cerita tentang cara pandang koran ini telah terjadi. Saat sedang memilih koran untuk dibeli, tiba-tiba datang seorang wanita menggunakan sepeda motor. Ia membawa beberapa karung sayuran di motor maticnya.
"Ibu ada koran bekas tidak...?" Ia berdiri di samping saya. Motor diparkir sebelah lapak koran.