Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Kita Bicara Kemudian Kita Kehilangan Budaya Menulis

18 Oktober 2018   12:35 Diperbarui: 18 Oktober 2018   12:48 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya ingin menuliskan kembali tentang budaya kita yang lebih menghargai ceramah dibandingkan dengan tulisan. Budaya menulis merupakan pekerjaan yang tidak menghasilkan uang. Justru budaya omongan/ceramah itulah pekerjaan yang bisa menghasilkan uang jutaan rupiah.

Pada sebuah kesempatan yang tidak sengaja mendengar para senior sedang berbicara di sebuah ruangan. Senior saya ini merupakan lulusan Doktoral sebuah kampus Timur Tengah. 

Pendidikan S1 hingga S3 diselesaikan di Timur Tengah. Pada sebuah siang selepas Jumat mereka terlibat diskusi tentang angka rupiah yang dihasilkan dari 20 menit selepas khutbah Jumat.

"Kalau di sekitaran rumah biasanya saya dapat Rp 300.000". Senior saya mulai membuka pembicaraan. Sembari menyantap hidangan makan siang.

"Masih adakah yang memberikan Rp 300.000?" Salah seorang lagi bertanya. Dia kaget kok hari ini masih ada yang hanya memberikan transport khutbah Jumat sekecil itu.

"Iya ada sejumlah itu. Jumlah ratusan ribu itu biasanya yang memberikan jamaah masjid di perkampungan..."

Sang senior saya masih terus berbicara. Sesekali diselingi dengan candaan riuh. Kami berada di sebuah ruangan yang menggunakan AC. Jadi, meskipun di luar panas full, kami merasa dingin.

"Minggu lalu saya dapat di Kantor KP. Jumlah yang ditransfer ke rekening saya Rp. 1.000.000,-" Sambil tersenyum dia menjelaskan tentang uang yang didapatkan dari ceramah.

"Wah, itu sudah dipotong oleh panitia. Kalau di Kantor itu seharusnya kita mendapatkan Rp 1.500.000,"

Beberapa senior terperangah mendengar tuturan tersebut. Kekagetan itu disebabkan oleh ulah oknum yang memotong uang khutbah sebesar Rp 500.000,-

Kemudian saya pernah bertanya pada seorang senior yang lulusan S3 sebuah kampus Timur Tengah. Kenapa dia tidak menulis buku atau jurnal ilmiah. Jawaban yang saya terima sungguh menggelikan.

"Kenapa harus lelah-lelah menulis. Sekali ceramah saja saya bisa mendapatkan uang Rp 3.000.000,-"

Dari kisah di atas, wajar jika budaya akademik kita lebih menghargai budaya bicara. Menulis dengan tingkat kelelahan yang tinggi malahan tidak mendapatkan nilai uang yang lebih. Menulis dalam masyarakat kita tidak akan pernah mendapatkan materi.

Akhirnya kita menjadi bangsa yang mudah disusupi oleh budaya hoax. Masyarakat tidak mendapatkan literasi yang memadai sebab masyarakat tidak gemar menulis. Kalau pun menulis buat apa, sudah jelas tidak menghasilkan uang.

Mungkin itu yang akhirnya menyebabkan masyarakat akademik Indonesia tidak menghasilkan penelitian yang diakui di tingkat internasional. Indeks jurnal ilmiah internasional kita sungguh sangat memprihatinkan. Masyarakat akademik di Indonesia lemah dalam menghasilkan tulisan ilmiah yang berbobot.

Akhirnya, kita harus kembali membudayakan menulis. Dengan menulis itulah bangsa kita akan meninggalkan catatan sejarah. Tulisan akan menjadi jejak sejarah yang akan dibaca oleh anak cucu kita di masa depan. Budaya bicara, tidak akan meninggalkan jejak sejarah. Budaya bicara memang menghasilkan uang tetapi tidak akan menghasilkan catatan sejarah maupun ilmu pengetahuan.

Pada era milenal ini, kita harus mengkampanyekan budaya menulis. Pilihan menulis itu sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya. Setiap orang bebas menulis sesuai dengan alur pikirannya. Tentu menulis untuk membangun peradaban bangsa Indonesia. Menulis untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain.

Salam Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun