Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Seperti Kisah Simbokku

25 September 2018   05:45 Diperbarui: 25 September 2018   12:04 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini juga pernah saya tuliskan di blog saya. Hari-hari ini saya sedang kesulitan menemukan ide untuk menulis. Kesibukkan pekerjaan membuat jadwal membaca buku berkurang. Kondisi seperti itu terkadang tidak satupun ide yang bisa saya tuliskan.

Membuka PC saya temukan tulisan ini. Meskipun mungkin isinya tidak terlalu penting. Biarlah saya terbitkan di sini. Bilapun hanya satu atau dua orang yang membacanya, semoga tulisan ini bermanfaat.

Hidup manusia memang kadang tidak mudah. Dalam setiap kemudahan justru menjadi sebuah kesulitan. Tetapi, dalam setiap kesulitan justru hadir berbagai kemudahan. Sebab dengan kesulitan, kita akan ditatih menjadi dewasa dalam menentukan jalan hidup.

Orang yang tidak pernah mengalami kesulitan, tak mudah untuk menerima sebuah kemudahan. Pada dirinya hanya ingin berbagai kemudahan. Maka ia tidak pernah mau menerima sebuah ujian kesulitan.

Banyak kisah berharga yang hilang begitu saja jika tidak ditulis. Ada beragam kisah menarik dari hidup orang lain yang perlu dituliskan ulang. Agar kelak menjadi hikmah bagi orang lain yang membacanya.

Hari ini ini istri saya yang sedang puasa sunnah. Puasa kali ini memang sangat berat sebab istri saya sedang mengandung kurang lebih 4 bulan. Saat hamil itu sungguh berat, ditambah puasa untuk melunasi hutang puasa Ramadhan tahun kemarin.

"Mas adek sakit perut..." Begitu keluh istri saya siang tadi. Tubuhnya tepar di lantai kontrakkan.

"Kalau lelah istirahat yah dek..." Saya tatap wajahnya yang memelas. Saya belai rambutnya yang berkeringat. Hampir menetes air mata dari pelupuk mata ini.

Harus saya akui, dalam hal ketabahan istri jauh lebih unggul. Meskipun sifat manja itu juga sering dibawanya. Seorang wanita itu memang selalu saja hadir dengan kemanjaanya. Dan, lelaki harus memamahi sifat kemanjaan perempuannya.

Lelah istri saya ini juga tidak hanya berasal dari puasa. Tadi pagi, setelah selesai memasak, istri sibuk membersihkan kamar mandi. Saya tidak ingin menganggunya, sebab istri saya paling tidak mau diganggu saat ia mengerjakan pekerjaan rumah. Saat istri meminta bantuan, saat itulah saya akan sedia membantunya.

Kisah puasa istri saya ini mengingatkan tentang kisah hidup simbok. Jika hari ini istri saya lapar dan lelah, simbok juga pernah berada dalam posisi itu. Saya sering mengatakan, ada sosok simbok dalam wajah istri saya. Saat marah dan juga ngambek, istri saya justru nampak seperti simbok saya.

Lapar dan lelah istri saya ini lebih ringan jika dibandingkan dengan kisah lapar dan lelah simbok. Istri, hanya cukup menahan lapar hingga shalat Maghrib. Setelah itu ia bisa makan dengan sepuasnya. Ia bisa meminum jus sepuasnya. Walaupun belum kaya, setidaknya saya bisa memenuhi kebutuhan istri, apalagi hanya untuk sekedar berbuka puasa.

Jalan hidup simbok saya sangat memprihatinkan. Jika istri harus menahan lapar dan lelah seharian, simbok menahan lapar dan lelah seumur hidup. Kemiskinan sudah menjadi bagian hidupnya. Jika lapar, simbok tidak tahu apakah sore nanti ada makanan untuk mengganjal perut.

Hari-harinya penuh dengan ketidak pastian. Lapar dan lelah merupakan dua kata yang tidak lekang dari hidupnya. Tapi, simbok selalu saja menemukan bahan makanan untuk diolah agar anak-anaknya bisa tetap bertahan hidup.

Satu hal yang tidak lekang tentang simbok adalah visinya tentang pendidikan. Meskipun hanya lulus kelas 3 SD simbok ingin anaknya tetap sekolah. Meskipun pada akhirnya simbok hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai di tingkat SMK. Pendidikan bagi simbok merupakan misi yang harus diterjemahkan dalam hidup.

Tanpa pendidikan, kondisi hidup akan tetap miskin, itu prinsip hidup simbok. Maka, meskipun harus hutang sana sini, simbok berusaha menyekolahkan anak-anaknya. Dan, saya telah berhutang jasa besar pada almarhumah simbok. Jika tanpa didikan simbok, tidak mungkin saya menyelesaikan studi tingkat Magister.

"Mas, dek mau beli buah yahh. Biar bisa buat jus lebih banyak..." Menjelang Magrib istri meminta ijin untuk membeli buah. Wajahnya sumringah, lapar dan lelah hari ini akan selesai.

Saya tuliskan kisah ini. Semoga istri saya dan orang lain membacanya. Bahwa, wanita harus kuat menahan lapar dan lelah. Kelak, ia akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Ia harus menjadi simbok yang mengajarkan anak-anaknya tentang ketabahan menjalani hidup. Meskipun itu dalam kondisi yang mungkin paling miskin.

****

Pada saat tulisan ini saya terbitkan kembali anak putri kecil saya sudah lahir. Harapan saya kelak putri saya juga membaca tulisan ini. Meskipun ayahnya mungkin sudah tiada. Tidak ada salahanya mewariskan semangat menulis pada anak-anak.

Semoga kelak di tubuh bangsa ini lahir penulis sekelas Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer

Bangka 3 A, 25 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun