Lapar dan lelah istri saya ini lebih ringan jika dibandingkan dengan kisah lapar dan lelah simbok. Istri, hanya cukup menahan lapar hingga shalat Maghrib. Setelah itu ia bisa makan dengan sepuasnya. Ia bisa meminum jus sepuasnya. Walaupun belum kaya, setidaknya saya bisa memenuhi kebutuhan istri, apalagi hanya untuk sekedar berbuka puasa.
Jalan hidup simbok saya sangat memprihatinkan. Jika istri harus menahan lapar dan lelah seharian, simbok menahan lapar dan lelah seumur hidup. Kemiskinan sudah menjadi bagian hidupnya. Jika lapar, simbok tidak tahu apakah sore nanti ada makanan untuk mengganjal perut.
Hari-harinya penuh dengan ketidak pastian. Lapar dan lelah merupakan dua kata yang tidak lekang dari hidupnya. Tapi, simbok selalu saja menemukan bahan makanan untuk diolah agar anak-anaknya bisa tetap bertahan hidup.
Satu hal yang tidak lekang tentang simbok adalah visinya tentang pendidikan. Meskipun hanya lulus kelas 3 SD simbok ingin anaknya tetap sekolah. Meskipun pada akhirnya simbok hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai di tingkat SMK. Pendidikan bagi simbok merupakan misi yang harus diterjemahkan dalam hidup.
Tanpa pendidikan, kondisi hidup akan tetap miskin, itu prinsip hidup simbok. Maka, meskipun harus hutang sana sini, simbok berusaha menyekolahkan anak-anaknya. Dan, saya telah berhutang jasa besar pada almarhumah simbok. Jika tanpa didikan simbok, tidak mungkin saya menyelesaikan studi tingkat Magister.
"Mas, dek mau beli buah yahh. Biar bisa buat jus lebih banyak..." Menjelang Magrib istri meminta ijin untuk membeli buah. Wajahnya sumringah, lapar dan lelah hari ini akan selesai.
Saya tuliskan kisah ini. Semoga istri saya dan orang lain membacanya. Bahwa, wanita harus kuat menahan lapar dan lelah. Kelak, ia akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Ia harus menjadi simbok yang mengajarkan anak-anaknya tentang ketabahan menjalani hidup. Meskipun itu dalam kondisi yang mungkin paling miskin.
****
Pada saat tulisan ini saya terbitkan kembali anak putri kecil saya sudah lahir. Harapan saya kelak putri saya juga membaca tulisan ini. Meskipun ayahnya mungkin sudah tiada. Tidak ada salahanya mewariskan semangat menulis pada anak-anak.
Semoga kelak di tubuh bangsa ini lahir penulis sekelas Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer
Bangka 3 A, 25 September 2018