Hari itu saya mulai bingung hendak menulis apa. Rasa-rasanya otak saya benar-benar buntu. Tadinya saya ingin menulis fiksi, tapi otak serasa buntu. Agar tidak menjadi pesakitan sebab tidak menulis maka saya hidupkan laptop. Saya gerakkan jari-jari saya, mudah-mudahan ada ilham bersama gerakan jari-jemari.
Sebelum mendekam di kamar dan menggerakkan jemari, baru saja saya pulang dari warteg. Tempat yang sungguh populer bagi saya, sebab warteg adalah penyelamat hidup saya. Saat harga restoran tidak terjangkau dengan kantong saya, warteg adalah penolong.
Jika tidak ada warteg mungkin hidup saya tidak akan selamat. Tempat itu juga kadang saya bisa utang. Semenjak saya kuliah S1 hingga saat ini hendak mencoba masuk kuliah Doktoral, warteg adalah penolong.
Hanya di sinilah saya bisa kredit makan (utang, red). Tidak mungkin saya makan di KFC atau CFC atau rumah makan yang mewah, sebab saya tidak punya uang cukup. Saat semua harga kebutuhan pokok naik, hanya warteg yang mampu bertahan.
Warteg adalah rumah makan rakyat yang tidak goyah meskipun di hantam krisis moneter. Warteg merupakan usaha mikro penyumbang pendapatan negara. Meskipun secara ekonomis warteg sering luput dari perhatian pemerintah. Warteg adalah industri makanan yang menjadi sumber devisa bagi bangsa Indonesia.
Menurut pendapat saya, ada keberkahan di warteg itu. Ada sesuatu hal tidak kasat mata yang tidak dimiliki oleh restoran besar yaitu menolong orang yang kelaparan. Allah akan memudahkan orang yang memudahkan orang lain, ini janji yang pasti. Di Warteg itulah kami orang-orang penghasilan rendahan bisa hutang.
Kenapa bisa warteg itu penuh keberkahan? Pemilik warteg itu orang biasa bahkan sangat biasa, malahan kadang hanya tamat SD atau maksimal SMA. Mereka tidak hafal dengan apa yang disebut teori-teori ekonomi.
"Boleh hutang mas..." Tanya seorang dengan lelaki berpakain kumal.
"Boleh saja mas, di sini silakan hutang. Tapi khusus bagi orang biasa seperti biasa" Lelaki paruh baya itu tersenyum.
"Orek sama telur dadar Mang. Es teh manis satu..."
Makanan yang menjadi favorit orang-orang pinggiran ini adalah orek tempe dan telur dadar ditambah sayur asem. Bukan sayur asem sebenarnya, sebab sayurnya sedikit dan lebih banyak kuahnya. Meskipun begitu, sudah cukup membuat kenyang perut kami orang-orang miskin.
Pengelola Warteg di Bangka Pela Mampang itu dipanggil Mamang. Penulis saat kuliah S1 sering hutang di warteg ini. Hutang menghutangpun masih dilaksanakan di warung mamang ini. Maklumlah, mayoritas pelanggannya penjual gas keliling pakai gerobak, tukang ojek, dan pekerja kasar lainnya.
Warung Mamang ini menjadi oase di tengah himpitan ekonomi yang menggganas di tengah Jakarta. Bagi orang kecil penjual gagas keliling dan tukang ojek keliling, dan buruh kasar, tidak mempedulikan mengenai kebersihan makanan. Yang mereka inginkan hanyalah makan murah, mengenyangkan, dan bisa hutang.
Mamang dan pengeloa warteg lainya, mungkin tidak berpendidikan tinggi. Maka mereka memilih mendirikan warteg. Dalam pemikiran mereka mana mengerti tentang marketing ekonomi yang rumit. Mereka hanya tahu bagaimana menjual. Tidak perlu teori langsung prakti saja begitu.
Mereka hanya mengerti jualan orang goblok yang layaknya pengusaha kaya Bob Sadino. Pemilik warteg itu juga tidak mengerti tentang akuntansi keuangan atau manajemen bisnis. Tetapi, toh mereka masih bisa berjualan, saat krisis moneter pun mereka berdiri kokoh.
Di warteg ini kalau kita sudah kenal orangnya atau kita berlangganan, maka kita bisa ngutang. Jika kepepet tidak punya uang, hutang saja, maka pemilik warteg pasti ikhlas. Hutang di sini tidak perlu bunga atau apalah artinya itu yang disebut pengglembungan nilai uang kertas.
Pokoknya warteg adalah tempat ngutang sekaligus bersosialisai dengan orang-orang kecil marginal dan kumal. Kita bisa nongkrong sambil ngopi tanpa takut diusir. Kelak saya pun akan setia di tempat ini, sebab warteg adalah tempat kami orang-orang kecil menyambung hidup.
Sekarang Bulan Juli  2018
Tulisan di atas di tulis pada tanggal 18 Mei 2017, saat penulis sedang mengejar untuk menyelesaikan pendidikan Magister di UIN Jakarta. Hingga saat ini setelah selesai menyelesikan kuliah Magister, penulis masih setia dengan Warteg. Tulisan lama bisa dikunjungi di blog saya www.dosenbaper.wordpress.com.
Saat sekarang hendak melanjutkan kuliah doktor, saya masih setia dengan warteg. Warteg Mamang di Bangka 3 A Pela Mampang adalah tempat nongkrong saya. Setelah beberapa tahun berlalu dari saya kuliah S1 kondisi warung Mamang tidak banyak berubah.
Lauk pauk yang dijual pun tidak berubah. Hanya lauk pauk sederhana murah meriah yang cukup untuk mengganjal perut yang lapar. Pelanggan yang dulu ada beberapa orang sudah pulang kampung ke Tegal dan Pekalongan.
"Kemana teman-teman Mang...?"
Saya tanyakan kabar tentang penjual gas keliling yang dulu menjadi langganan Mamang. Mamang nampak kaget dengan kehadiran saya.
"Kamu Jang, bagaimana kabar? Mereka sudah pulang kampung ke Pekalongan dan Tegal"
Mamang menjawab dengan logat Jawa Ngapak khas Tegal. Dan, orang-orang yang langganan Mamang memilih hengkang dari Jakarta. Mereka kembali ke kampung halaman sebagian di Tegal, Pekalongan, Tegal, dan beberapa kota lain di Jawa Tengah.
Rezim Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan sekarang yang katanya gegap gempita masa transisi, warteg Mamang dan warteg-warteg lainnya di Jakarta adalah bagian hidup saya. Di warteg itulah saya bebas makan dengan harga yang cukup dengan kantong kami yang miskin. Bila tidak uang saya bisa ngutang dulu pada Mamang.
Bangka 3 A, 07 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H