"Ibu setuju jika maling uang rakyat dijadikan anggota legislatif..?"
Pertanyaan saya membuat ibu penjual sayur itu tersenyum. Antara mengerti dan tidak mengerti dengan pertanyaan saya.
"Tidak setujulah mas..."
Ibu penjual sayur tersenyum. Tangannya bergerak memasukkan sayuran ke dalam kantong plastik hitam. Sesekali membersihkan debu didahinya. Ia perempuan penjual sayur yang  mecintai bangsa ini meski sering kali ia dikhianati oleh bangsanya sendiri.
Tulisan ini lahir, sebab kegelisahan saya tentang masalah korupsi di Indonesia yang justru semakin menggila. Kasus BLBI yang merugikan negara Trilyunan juga tidak pernah selesai. Kasus yang lain misalnya projek Hambalang yang juga merugikan negara trilyunan rupiah. Belum lagi kasus-kasus mega korupsi yang jika tidak segera diselesaikan, bisa menyebabkan negara ini bangkrut.
Selama ini KPK juga telah bekerja dengan baik menangkap koruptor tapi hanya pejabat daerah. Nilai yang dikorupsi juga belum sampai angka trilyunan rupiah. Saya tidak mengerti kenapa KPK hanya mampu menangkap para pejabat daerah. Sepertinya KPK belum mampu menangkap buaya yang mengkorup uang rakyat hingga trilyunan rupiah.
Pertanyaannya, layakkah seorang koruptor menjadi anggota legislatif? Jangan-jangan setelah peraturan ini sahkan, akan muncul peraturan perundangan yang membolehkan terpidana korupsi menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Menyoal Bacaleg Terpidana Korupsi
Artikel ini saya elaborasi dari headline Koran Republika 6 Juli 2018 dengan judul "Parpol Bisa Daftarkan Terpidana Korups" dan obrolan saya di Pasar Kecil Pela Mampang dengan seorang ibu penjual sayuran.
Headline Koran Republika menjelaskan, "Perwakilan Partai-Partai Politik (Parpol) di DPR berhasil mendapatkan kesepakatan boleh mendaftarkan terpidana kasus korupsi sebagai bakal calon legislatif (bacaleg). Kesepakatan terkait diundangkannya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pecalonan Anggota Legislatif ang memuat norma larangan mantan terpidana korupsi menjadi caleg" (Repulika, 6 Juli 2018).
Soal pengajuan terpidana korupsi ini menambah permasalahan bangsa Indonesia. Secara logika sederhana, pejabat yang memakan ruang rakyat tentu saja sudah cacat moral. Mereka akan dicap buruk di masyarakat sosial. Lalu masih bisakah menjadi seorang pejabat legislatif?