Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media Sosial, Buzer, dan Panasbung (Perebutan Kursi DKI 1)

24 Oktober 2016   20:14 Diperbarui: 24 Oktober 2016   20:30 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan media informasi sudah memasuki apa yang disebut dengan era media siber. Menurut Nasrullah (2013), media siber adalah media yang lahir dari rahim internet beserta revolusi teknologi yang menyertainya. Media siber beserta tetek bengkeknya (jenisnya) telah menghasilkan budaya virtual. Budaya yang bisa jadi sangat berkaitan dengan peta politik yang terjadi saat ini. Budaya yang dihasilkan oleh media siber merupakan budaya realitas yang dikonstruksi (Nasrullah, 2013).

Perkembangan budaya siber saat ini nampaknya tidak diimbangi dengan budaya literasi yang tinggi dari netizen (masyarakat). Menurut laporan Republika “budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar” (http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/12/15/ngm3g840-literasi-indonesia-sangat-rendah).

Jika kondisi ini masih bertahan maka masyarakat tidak akan pernah memiliki pikiran kritis terhadap sebuah masalah. Artinya, masyarakat belum terbiasa dengan budaya membaca meskipun teknologi informasi telah berkembang. Masyarakat menggunakan media sosial bukan untuk keperluan edukasi tetapi hanya memanfaatkan sebagai sarana mencari informasi dan hiburan.

Penulis baru saja mendengarkan pendapat Hanta Yuda di TV One tentang peta politik sebelum pilkada bulan Februari nanti. Hanta Yuda mengungkapkan bahwa media sosial memilik peran besar dalam perebutan kursi DKI 1. Hanta Yuda malahan menyebutkan warga Jakarta sudah cerdas, sehingga politik uang tidak akan mempengaruhi pemilihan calon.

Penulis mempunyai hipotesis bahwa perang ketiga kandidat melalui media sosial (facebook, twitter, instgram, dan media sosial lain) sudah dimulai. Sebagai contoh adalah perang melalui buzer-buzer bayaran menggunakan facebook. Kondisi seperti ini justru sangat rawan menimbulkan konflik yang besar. Jika membaca status facebook, terkadang akan ditemui saling hujat dan saling caci maki dengan menggunakan kata-kata kotor.

Pada sebuah status fanpage facebook, admin teman Ahok membuat sebuah status penjualan baju dengan lambang Ahok, “Yuk, tunjukan partisipasi kamu untuk Jakarta melalui pembelian merchandise resmi dari toko.temanahok.com Dengan membeli merchandise resmi ini, artinya kamu telah berkontribusi untuk memastikan kelanjutan perubahan Jakarta bersama Ahok” (https://www.facebook.com/temanahok/?fref=ts). Status tersebut dikomentari dengan berbagai macam narasi teks. Beberapa di antaranya adalah dengan bahasa yang kasar.

Akun facebook bernama Zaqi Aullya membuat komentar status dengan gambar Ahok dan Setyo Novanto yang menggunakan baju Golkar.  Narasi teks oleh Setya Novanto adalah “Hok...tolong pecat aja jongos elu yg dulu suka ngebully gue”. Kemudian Ahok digambarkan dengan narasi teks “Papa jangan kwatir gak usah pake pecat gini aje, entar mereka gue suruh muji muji papa, beres kan? Tenang papa, anjingku mudah diatur”.

Gambar lihat di bawah ini:

ahoook-580e08bcbf22bd2427a3642e.jpg
ahoook-580e08bcbf22bd2427a3642e.jpg
Kemudian ada lagi yang membalas dengan membuat komentar yang kasar. Akun facebook dengan nama Ernawati Erna menulis “ogah mengandung minyak babi..”

Penulis mencoba untuk mencari narasi lain yaitu di fanepage Anis-Sandi. Kondisinya sama saja, banyak komentar-komentar kasar melalui buzer-buzer anonim. Pada status yang dibuat oleh admin dengan tulisan “Membantu para korban kebakaran Simprug, Jakarta Selatan. Senang melihat mereka masih bisa tersenyum dan tertawa dibalik semua bencana yang mereka harus hadapi. #SalamBersama”. (https://www.facebook.com/SandiSUno/?fref=ts). 

Lihat gambar lihat di bawah ini:

sandi-uno-2-580e090a6d7a6150281faab5.jpg
sandi-uno-2-580e090a6d7a6150281faab5.jpg
Sebuah akun yang menggunakan nama Hardi Lionel Suarez “pak anis jd mentri aja dilempar..hduh..pak sandiaaga uno ngemis2 minta suara di tv. biar deh gua telanjang leliling ibu kota jakarta bila sampai .aniss onu..bisa menang”. Kemudian ada sebuah akun dengan nama Den Dani, menulis “kamu jgn ikut2an guoblok kaya si ahok ya, masa depanmu masih panjang. Belajar yg bener, buat orang tuamu bangga dgn prestasimu ya..”. Lihat pada akun yang menggunakan nama Rydho Dtanzoenk yang menuliskan, “Wah anjing nya ahok menggonggong kelaparan....hadehhh...dasar binatang nya kafir”.

Penjelasan di atas merupakan dua contoh dari ribuan akun yang menggunakan teks-teks kasar dan provokatif dengan gaya teks hujatan caci-maki. Ada beberapa akun yang coba penulis telusuri, ternyata tanpa identitas jelas. Akun-akun tersebut berfisat anonim tanpa dapat diketahui siapa pemiliknya. Menurut penulis akun-akun anonim tersebut robot (akun dengan mesin) yang digunakan untuk buzer.

Buzer yang dimaksud oleh penulis adalah akun yang dikelola oleh orang-orang bayaran. Netizen sering menyebut pasukan bayaran tersebut dengan istilah Panasbung “Pasukan Nasi Bungkus”. Istilah pasukan nasi bungkus juga tidak dapat ditelusuri dengan jelas kapan mulai muncul dan siapa penggagas pertama kali, menjadi misteri.

Penulis menyimpulkan sementera istilah pasukan nasi bungkus mulai muncul sejak pemilu tahun 2014. Artinya, pada pelaksanaan pemilu tahun 2014 itulah media sosial menjadi mesin partai politik yang baru. Hampir seluruh partai politik memanfaatkan media sosial sebagai alat kampanye yang massif. Kemungkinan dari sini muncul apa yang disebut dengan pasukan nasi bungkus.

Pendapat penulis di atas masih dapat dibantah dengan penelusuran yang lebih ilmiah (objektif). Sebab pendapat di atas hanya hipotesis sementara yang masih harus dibuktikan lewat riset ilmiah. Masih harus ditelusuri lebih lanjut motif-motif penggunaan pasukan nasi bungkus tersebut. Penulis memberikan asumi, kemunculan pasukan nasi bungkus tersebut dapat menimbulkan konflik sara yang lebih besar.

Kesimpulan sementara penulis, buzer-buzer dengan akun anonim tersebut memang digunakan sebagai alat perang di media sosial. Semacam dimanfaatkan untuk counter issue masing-masing tokoh (calon gubernur). Kemunculan akun anonim (pasukan nasi bungkus) sebenarnya melanggar etika di ruang media siber. Jika tidak segera diberi payung hukum (aturan) bukan tidak mungkin malah akan menimbulkan konflik sara yang jauh lebih besar.

Wallahu a’lam bis shawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun