Tulisan diatas telah menjabarkan misi yang dibawa oleh Ja'far bin Abu Thalib di depan Raja Najasi, yaitu ketika sebagian kaum Muslimin melakukan hijrah sebelum mereka hijrah ke Madinah. Ja'far saat itu membawa sebuah pucuk surat diri Rasulullah untuk Raja Najasi, yang isinya sebagai berikut:
Â
Dari Muhammad Rasulullah untuk Raja Abysinia, Najasi Al-Asham Salaam.
Â
Segala puji bagi Allah, Sang Raja Diraja, Yang Maha Kudus, Yang Maha Damai, Yang Pengasih, dan Yang Maha Mengetahui. Saya bersaksi bahwa Yesus adalah anak Maryam, roh Allah dan kalimat-Nya yang Dia tiupkan kepada sang perawan suci, Maryam. Allah telah menciptakannya dari ruh-Nya sebagaimana Dia menciptakan Adam dengan tangan-Nya dan dengan roh-Nya. Saya ajak anda untuk beriman pada Tuhan Yang Tunggal yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan untuk taat kepada-Nya. Saya juga mengharap anda untuk mengikuti saya dan beriman terhadap saya, beriman dengan apa yang datang kepada saya, karena saya adalah utusan Allah. Saya telah mengirim kepada anda saudara sepupu saya, Ja'far, dengan beberapa orang kaum Muslimin. Maka saat mereka datang kepadamu saya mohon agar mereka diperlakukan dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai diperlakukan dengan yang tidak patut karena sebenarnya saya sedang mengajak anda untuk beriman kepada Allah Yang Esa. Saya telah menyampaikan tugas dan kewajiban saya. Maka terimalah salam saya. Dan sesungguhnya kedamaian dan keselamatan akan selalu bersama-sama orang yang mengikuti petunjuk.
Kisah Ja'far bin Abu Thalib dan rombongan Ummat Islam itu merupakan salah satu bentuk misi diplomatik dan hubungan diplomatik yang kita kenal saat ini. Misi diplomatik dikirimkan oleh satu negara kepada negara lain untuk menjalin hubungan antara mereka. Bentuk-bentuk hubungan yang dijalin memiliki banyak dimensi sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masing-masing negara.
Hubungan diplomatik dilakukan melalui jalan damai. Negara mengirimkan utusan atau diplomat atau perwakilannya untuk membawakan dan menyampaikan pesan dari negara. Dalam penyampaian pesan itu, akan terjadi proses negosiasi dan persamaan persepsi terkait hubungan diplomatik dan kerjasama yang akan dijalin. Hubungan diplomatik yang disepakati harus saling menguntungkan kedua belah pihak dan tidak menyalahi syari'at Islam.
Menetapnya masyarakat Islam di negara lain juga menjadi cikal bakal berdirinya kedutaan besar suatu negara. Mereka mendapatkan perlindungan secara hukum dan berhak menjalankan aktifitas dengan damai tanpa ada gangguan apapun. Demikianlah praktek diplomasi Islam telah diterapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Disarikan dari Buku Diplomasi Islam (2000) karangan Dr. Afzal Iqbal yang diterbitkan dalam versi Bahasa Indonesia oleh Pustaka Al-Kautsar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H