Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Penyebaran Covid-19 Bukan Faktor Cuaca dan Iklim, tapi Kebijakan dan Perilaku

29 April 2020   12:08 Diperbarui: 29 April 2020   20:02 1948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah warga mengenakan masker untuk mengantisipasi penyebaran virus corona (COVID-19) di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan (Foto: KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)

Beberapa waktu yang lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta telah melakukan penelitian, pengkajian dan analisis tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim terhadap Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). 

Penelitian yang diprakarsai para pakar Klimatologi dari BMKG ini juga melibatkan 11 orang doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi, dan Matematika, serta didukung oleh guru besar dan doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.

Dengan komposisi tim seperti itu, tentu hasil kajian dan analisis yang dihasilkan tidak diragukan lagi akurasinya karena sudah melalui analisis dan kajian ilmiah serta literasi yang sangat valid dan akurat.

Hasil analisis Tim BMKG - UGM  menunjukkan bahwa sebaran kasus covid-19 pada saat outbreak (penyebaran) gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama dengan pusat penyebaran Covid di Wuhan, China, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis. 

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi dan memiliki kemiripan dengan kondisi agroklimat di negara China. cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.

Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona berkisar pada temperatur 8-10 C dan kelembaban udara antara 60-90%. 

Gambar Ilustrasi, Ruang Simulasi Cuaca dan Iklim BMKG (Doc. FMT)
Gambar Ilustrasi, Ruang Simulasi Cuaca dan Iklim BMKG (Doc. FMT)
Dengan analisis tersebut sebenarnya wilayah-wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi lingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19. 

Para peneliti itu juga menyimpulkan bahwa virus corona memiliki tingkat penyebaran maksimum pada suhu yang sangat rendah, ini terbukti, negara-negara Eropa dan Amerika yang memiliki suhu rata-rata rendah, penyebarannya sangat cepat, seperti di Italia dan Amerika Serikat.

Namun kemudian timbul pertanyaan, kenapa Covid-19 juga menyebar sampai ke semua wilayah Indonesia?

Kalau dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia yang berada di daerah tropis koordinat lintang rendah, dengan suhu udara rata-rata relatif tinggi, mestinya wabah Covid tidak menyebar di negara kita. 

Tapi realitanya, saat ini pemerintah pusat maupun daerah kemudian disibukkan dengan upaya pencegahan dan penanganan covid ini, karena sejak awal Maret 2020 lalu, kasus positif covid sudah ditemukan di Indonesia pada outbreak gelombang kedua. 

Hal ini sebenarnya di luar dugaan para ahli, namun kalau kajian ilmiah ini kemudian dikaitkan dengan regulasi dan perilaku manusia, maka penyebaran virus di Indonesia memang bukan sebuah kemustahilan.

Oke, dari aspek cuaca dan iklim, Indonesia memang bukan wilayah yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya virus corona, tapi coba kita lihat bagaimana regulasi pemerintah serta perilaku warga masyarakat menyikapi pandemi ini?

Ternyata kajian oleh Tim Gabungan BMKG-UGM ini juga menyimpulkan bahwa untuk kasus di Indonesia, faktor cuaca dan iklim bukanlah penentu utama penyebaran covid di negara kita.

Meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia ditengarai lebih dipengaruhi oleh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial.

Coba kita runut ke belakang, ketika virus corona pertama muncul di China, kemudian menyebar ke Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang pada akhir tahun 2019 yang lalu. 

Pemerintah nyaris tidak melakukan alangkah antisipatif apapun maupun mengeluarkan regulasi yang sifatnya perventif. Malah yang terjadi adalah adanya kebijakan kontraproduktif yang pada akhirnya 'mengundang' covid masuk ke Indonesia.

Arus migrasi orang asing, khususnya dari China ke Indonesia tidak dibatasi, bahkan ada kebijakan diskon pariwisata, dan ini menyebabkan kunjungan turis China membludak. 

Alasannya pun nyaris tidak masuk akal, ingin menyelamatkan investasi katanya. Padahal secara logika, kalau pandemi ini sudah menyebar ke semua negara, tidak ada satu investasipun yang tidak terimbas.

Seperti ada standar ganda dari pemerintah dalam menyikapi wabah yang mulai merebak ke seluruh penjuru dunia ini. Di satu sisi semua WNI yang baru pulang dari luar negeri di karantina, tapi di sisi lain ada pembiaran bahkan terkesan difasilitasi masuknya turis maupun Tenaga Kerja Asing asal China. 

Dan tidak satu penjelasanpun yang masuk akal mengapa para TKA China itu dibiarkan terus masuk, bahkan ketika pemerintah sudah menerbitkan larangan masuknya orang asing pun, masih ada TKA China yang masuk ke negara kita, sungguh ironis.

Dari fakta tersebut, akhirnya kita bisa melihat bahwa penyebaran Covid di Indonesia, nyaris bukan karena faktor cuaca dan iklim tapi lebih kepada regeluasi yang memberi peluang mobilitas orang dari luar negeri yang nyaris tanpa kontrol. 

Begitu juga dengan perilaku abai yang ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat yang masih terbiasa berkerumun di tempat keramaian tanpa pelindung, masih adanya interaksi dengan orang luar dan ketidak jujuran dalam memberikan keterangan riwayat perjalanan. 

Ini yang akhirnya memnyebabkan pandemi covid ini kemudian menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Perilaku abai masyarakat itu sejatinya sedikit banyak juga terpengaruh oleh statemen-statemen para pejabat negara yang terkesan meremehkan covid ini. 

Kita masih ingat, Menteri Perhubungan , Budi Karya Sumadi, sebelum dinyatakan positif covid, juga pernah memngeluarkan statemen kontroversial tentang ini.

Juga sangat terkesan bahwa pemerintah terlambat melakukan langkah antisipasi, penutupan pintu masuk orang asing baru dilakukan setelah ada kasus positif covid.

Penerapan social distancing dan physical distancing juga baru sebatas imbauan, sementara lockdown sama sekali tidak bisa dilaksanakan karena kemampuan ekonomi negara saat ini sangat minim dan ketahanan pangan masyarakat juga rendah. 

Begitu juga dengan pemerintah daerah, yang sepertinya kebingunan dalam mengambil sikap dan membuat kebijakan. Rata-rata pemerintah daerah nyaris tanpa inisiatif, terkesan 'latah' hanya mengikuti kebijakan pusat, padahal kondisi daerah sangat beragam. 

Harusnya pimpinan daerah punya inisiatif sendiri untuk memikirkan cara melindungi warganya dari pandemi covid ini. Beberapa pemimpin daerah memang sudah menunjukkan inisiatifnya dengan mengeluarkan regulasi skala daerah, tapi masih lebih banyak yang hanya 'menunggu arahan'.

Meski begitu, imbauan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah juga tetap harus kita patuhi, karena kita berada di tengah komunitas sosial yang sangat besar di mana peluang terjadinya penyebaran covid juga menjadi sangat terbuka.

Kembali kepada faktor cuaca dan iklim, perlu diwaspadai pula bahwa memasuki bulan April s/d Mei ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim (dari musim penghujan ke musim kemarau). 

Pada masa pancaroba atau pergantian musim ini, biasanya cuaca menjadi tidak menentu dan sulit diprediksi, ini bisa berpotensi munculnya berbagai penyakit seperti flu, batuk, dan sebagainya yang tentunya bisa menurunkan daya tahan tubuh.

Untuk itu masyarakat harus terus melakukan self defense dengan menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh dengan mengonsumsi makanan yang bergizi dan berimbang, minum vitamin, beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat.

Dari aspek cuaca, April-Agustus nanti adalah musim kemarau, di mana suhu udara rata-rata menurut BMKG akan meningkat yaitu berkisar antara 28-32 derajat Celcius dan kelembaban udara berkisar 60-80 persen. Dalam kondisi seperti ini penyebaran covid akan mengalami pelambatan.

Namun juga perlu diingat, bahwa pada musim kemarau juga akan terjadi kesulitan air bersih, ini tentu tidak baik untuk upaya pencegahan covid.

Terlepas dari faktor cuaca dan iklim yang pengaturannya di luar kekuasaan kita, tentunya kita harus lebih bijak dalam bersikap dan bertindak menghadapi kondisi yang kita tidak tau kapan akan berakhir ini. 

Dengan menerapkan "physical distancing" yang ketat dan pembatasan mobilitas orang ataupun dengan "Tinggal di Rumah", disertai intervensi kesehatan masyarakat, merupakan upaya mitigasi yang tepat untuk mengurangi penyebaran wabah covid-19 secara masif. 

Karena faktor cuaca pada saat musim kemarau yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif. Allah sudah mengkondisikan (iklim dan cuaca), mari kita sikapi secara bijak dengan menjaga diri, keluarga dan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun