Alhamdulillah, tahun 2017 ini adalah 'kesempatan kedua' bagi saya diberi kepercayaan untuk mengampu materi diklat di Balai Diklat Pertanian Aceh, Saree. Sebelumnya, pada tahun 2016 yang lalu, tanpa dinyana, saya mendapat undangan menjadi narasumber dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyusunan Angka Kredit Bagi Penyuluh Pertanian Aceh.Â
Meski materi yang saya sampaikan dalam Bimtek tersebut memang sudah jadi 'makanan' saya sehari-hari yaitu terkait dengan teknis menulis karya tulis ilmiah populer atau yang lebih dikenal dengan menulis artikel di media, awalnya saya sempat nerveus juga. Bagaimana tidak, saya yang cuma lulusan SMA, harus menyajikan materi dihadapan para penyuluh pertanian senior dari seluruh wilayah Aceh yang rata-rata bergelar S-1 bahkan S-2.
Namun dilandasi niat untuk berbagi sedikit pengalaman yang saya miliki, Â tanpa sedikitpun ada keinginan untuk mengajari atau menggurui para peserta bimtek, akhirnya semuanya bisa berjalan lancar nyaris tanpa kendala berarti. Bahkan yang kemudian terasa ada kepuasan batin, ternyata beberapa peserta bimtek yang berasal dari Aceh Besar, Sabang dan Aceh Timur, kemudian mulai muncul tulisannya di media. Artinya apa yang saya sampaikan dalam bimtek tersebut tidaklah sia-sia.
"Lulus" dari 'tantangan pertama' tahun lalu, rupanya aktifitas saya di Balai Diklat ini kemudian berlanjut pada tahun ini. Bahkan bukan hanya sekali, tapi sampai beberapa kali. Beban yang diberikan pihak Balai Diklat Pertanian Aceh kepada saya pun bertambah. Kalau sebelumnya saya hanya diminta mengampu satu materi, tapi tahun ini saya diberi 'PR' 2 materi sekaligus.Â
Agendanya juga berubah, bukan lagi bimtek tapi dalam bentuk Diklat Peningkatan Kompetensi Penyuluh. Selama periode Agustus sampai Oktober 2017 ini saja, sudah 4 kali saya diserahi tugas untuk menjadi fasilitator /pemateri dalam diklat yang diikuti oleh para penyuluh senior dari seluruh kabupaten/kota di Aceh yang lagi-lagi rata-rata penyandang gelar S-1 dan S-2.
Tapi Alhamdulillah, masih dengan niat sama yaitu untuk sekedar berbagi pengalaman menulis, bukan untuk mengajari atau menggurui, 12 jam pelajaran pada setiap angkatan, dapat saya 'lahap' dengan mulus. Bahkan saya mulai merasakan dari satu angkatan ke angakatan lainnya, antusias peserta untuk menyimak materi yang saya sampaikan semakin besar, itu yang membuat saya menjadi lebih termotivasi.
Ada 'penyusup' dalam diklat.
Ada pengalaman yang rada unik ketika saya akhirnya bisa 'tampil' sebagai pemateri pada balai diklat berskala provinsi ini. Ini terjadi pada angkatan kedua pada akhir bulan Agustus 2017 yang lalu. Ketika saya akan masuk kelas untuk menyampaikan materi kedua dengan tema 'Teknik Menulis Karya Ilmiah Populer', di pintu masuk saya 'dihadang' oleh seseorang. Â
Seorang pria yang menurutku usianya masih sekitar empat puluh tahunan, agak jauh dari usaiku yang sudah berkepala 5, penampilan sangat  rapi. Kemudian dia memperkenalkan diri sebagai salah seorang Widya Iswara (WI) pada balai diklat ini. Mukhlis, nama 'penghadang' itu, keudian menyatakan keinginannya untuk ikut bergabung menyimak materi yang akan saya sampaikan.
Awalnya agak jengah juga mendapat permintaan itu, apalagi setelah saya tahu bahwa dia penyandang gelar sarjana peternakan dan magister ekonomi pembangunan. Posisinya sebagai Widya Iswara yang biasanya berdiri di depan peserta diklat untuk menyajikan materi, kok tiba-tiba kepingin masuk bersama peserta diklat, tepat ketika saya akan menyampaikan materi. Sempat terfikir juga, jangan-jangan kehadirannya di kelas adalah untuk me'mata-matai' bagaimana cara saya menyampaikan materi.Â
Namun 'praduga tak bersalah' itu kemudian sirna setelah saya melihat sorot matanya yang seolah mengatakan bahwa dia benar-benar ingin menyimak materi yang akan saya sampaikan. Apalagi setelah dia menyatakan punya keinginan yang kuat untuk bisa menulis, tapi masih belum percaya diri sepenuhnya untuk 'masuk' ke media. Seperti pegawai fungsional di lingkup kementerian pertanian lainnya, WI pada lingkup balai diklat pertanian juga punya kewajibat membuat karya tulis ilmiah untuk menunjang karirnya.
Melihat ketulusannya itu, meski agak sedikit sungkat akhirnya saya mempersilahkannya untuk bergabung dengan 30 peserta diklat angkatan II tersebut. Â Sambil 'melaksanakan tugas' menyajikan materi diklat, sesekali saya 'melirik' ke arah Mukhlis yang mengambil posisi duduk tak begitu jauh dari tempat saya berdiri. Terlihat dia sangat serius menyimak materi yang saya sampaikan, tak ketinggalan tangannya yang memegang ballpoint terus 'menari' diatas buku hariannya, mencatat point-point yang dianggapnya penting dari materi yang saya sajikan.
Tak puas hanya menyimak materi yang saya sampaikan di kelas, Mukhlispun masih 'mengejar' saya ketika waktu yang disediakan bagi saya habis. Tentu setelah melihat I'tikad baiknya, sayapun dengan senang hati melayani pertanyaan-pertanyaan yang dia layangkan seputar bagimana teknik 'meloloskan' tulisan ke media. Sekilas saya melihat, dia mencatat semua jawaban yang saya sampaikan, padahal saat itu sebenarnya bukan sedang menjawab pertanyaan=pertanyaaannya, tapi hanya sekedar sharing sedikit pengalaman saya 'bermain' di media selama ini.Â
Disitulah aku bisa merasakan kalau dia benar-benar serius untuk 'menimba' pengalaman menulis dari saya. Tanpa menghiraukan latar pendikan formal saya yang hanya 'pas-pasan' ternyata penyandang gelar S-2 ini tanpa sungkan terus bertanya ini dan itu yang terkait dengan aktifitas menulis yang eksis saya jalani dalam beberapa tahun terakhir ini..
Seperti pada angkatan sebelumnya, jadwal saya untuk menyampaikan materi hanya satu hari lebih sedikit, dan setelahnya sayapun harus kembali untuk menjalankan aktifitas rutin di tempat sya bertugas di Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah. Namun 'rasa haus' Mukhlis belum terpuaskan dengan pertemuan singkat itu. Komunikasipun berlanjut melalui telepon dan WA, bahkan dia mengirimkan beberapa artikel yang sudah ditulisnya ke email saya.Â
Dalam pengantar emailnya, dia meminta saya untuk mengkoreksi tulisannya, saya jadi serba salah menyikapinya. Tapi kembali kepada niat awal saya yang hanya ingin berbagi sedikit pengalaman menulis, akhirnya saya penuhi juga permintaannya. Saya sama sekali tidak 'mengganggu' apalagi mengkoreksi tulisannya, saya hanya memberikan catatan-catan kecil  yang mungkin bisa dijadikan masukan baginya untuk 'mempertajam' tulisannya supaya layak tampil di media. Tidak lupa saya menyelipkan pesan penyemangat bahwa tulisan yang dia buat sudah layak untuk 'naik' ke media.
Hasilnya, luar biasa, hanya beberapa hari sesudah itu, tulisan perdanyanya sudah mucul di sebuah media online. Ini yang membuat semangat menulisnya mulai timbul bahkan mulai terlihat 'menggebu'. Hanya dalam tempo kurang lebih sebulan, 16 artikel, sukses dia 'ekspor' ke berbagai media online. Bahkan belakangan  akhirnya sayapun tau, beberapa tulisan Mukhlis juga lolos di salah satu media cetak terbitan Jakarta, media yang juga sering memuat tulisan-tulisan saya.Â
Mukhlis makin bersemangat setelah tau tentang hal ini, kerena kemudian saya juga mengirimkan print out dari tulisannya yang sudah terbit di media cetak itu, berkali-kali dia mayampaikan rasa terima kasihnya atas 'bimbingan' yang saya berikan selama ini. Saya hanya bisa tersenyum kecut, karena saya merasa tidak pernah memberikan bimbingan kepadanya, yang saya lakukan tidak lebih hanyalah sekedar sharing pengalaman semata. Kan tidak mungkin dan tidak logis kalu seorang lulusan SMA seperti saya dikatakan membimbing seorang Widya Iswara bertitel S-2.
"Alhamdulillah, berkat bimbingan bapak, dalam belum sampai dua bulan saya sudah bisa mengumpulkan 25 angka kredit dari menulis" begitu 'lapor'nya dengan raut bahagia dan sebuah kebanggaan jelas terpancar di matanya. Dia juga menyatakan masih menyimpan beberapa tulisan yang sudah terbit di media sebagai 'tabungan' untuk pengajuan angka kredit berikutnya.
Alhamdulillah, hanya itu yang bisa terucap dari mulutku, rasa syukur tak terhingga kupanjatkan kehadiratNya, ternyata kiprah seorang 'pegawai renul' yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan tidak punya gelar akademis apapun ini, masih bisa memberi manfaat bagi orang lain. Bahkan bukan hanya kepada peserta diklat, tapi juga kepada seorang WI yang sejatinya levelnya adalah level pengajar pada balai diklat tersebut.
Sekelumit pengalaman itu akhirnya dapat memberikan sebuah pelajaran berharga bagi saya. 'Kalau ingin bisa, kita tidak boleh malu apalagi gengsi bertanya atau belajar dari siapapun', itulah pelajaran yang bisa aku petik dari pertemuanku dengan Mukhlis. Seorang Widya Iswara dengan segudang pengetahuan yang tidak malu-malu bertanya dan belajar kepada seseorang yang dari segi pendidikan formal sangat jauh dibawahnya.Â
Tapi dengan mengesampingkan 'gengsi' tersebut, akhirnya Mukhlis, S Pt, M Ec Dev, begitu nama dan gelar lengkapnya telah membuktikan, akhirnya dia bisa eksis menulis berbagai artikel di beberapa media, termasuk di media ini. Sebuah aktifitas yang  sangat mendukung karir kepangkatannya sebagai seroarng pegawai fungsional yang kenaikan pangkatnya sangat bergantung dengan capaian angka kredit yang mampu didapatkannya. Â
Dan aktifitas menulis bagi pejabat fungsional seperti Mukhlis, adalah 'tambang emas' untuk mendulang angka kredit, dan itu bisa menjadi jalan 'tol' baginya untuk menapaki jenjang kepangkatan berikutnya. Dibandingkan dengan aktifitas rutinnya mengajar diklat, point angka kredit yang bisa didapatkan jauh lebih 'gemuk', apalagi kalu bisa 'masuk' ke media berskala nasional, sekali menulis artikel, angka kreditnya bisa setara dengan erpuluh kali mengajar diklat.
Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja, Â bagiamana yang seorang Mukhlis mampu 'menanggalkan' gengsi dan gelar akademiknya, untuk belajar kepada siapa saja, tak peduli harus belajar pada seorang 'fasilitator renul' seperti saya. 'Tak malu untuk bertanya, akhirnya dia bisa', itu kata-kata yang mungkin bisa mewakili kegigihan Mukhlis dalam menuntut ilmu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H