Gambar 1, Ksim Mahmud, mengajari petani membiakkan trichoderma (Doc. FMT)
Trichoderma (Trichoderma sp) merupakan salah satu jenis jamur atau cendawan yang sudah lama dikenal sebagai jamur antagonis, yaitu sejenis jamur yang meiliki fungsi untuk menghambat pertumbuhan jenis jamur lainnya, khususnya jamur yang bersifat patogen (merugikan/merusak/mematikan tanaman lainnya). Karena sifat antagonisnya, trichoderma kemudian dijadikan sebagai agens hayati untuk membasmi berbagai jenis jamur yang selama ini sering menjadi pengganggu atau penyakit pada tanaman budidaya baik tanaman perkebunan seperti Kopi, Kakao, Karet dan sebagainya maupun tanaman hortikultura seperti Cabe, Tomat, Kentang, Bawang Merah, Alpukat, Jeruk dan lain-lainnya.
Selama ini, para petani cenderung lebih suka menggunakan pestisida (fungisida, bakterisida) kimia untuk menanggulangi serangan penyakit yang disebabkan oleh jamur maupun bakteri. Namun ketergantungan terhadap pestisida kimia tersebut justru berakibat fatal, selain penyakit menjadi lebih kebal dan susah dibasmi, struktur tanah dan lingkungan juga ikut rusak akibat penggunaan material kimia tersebut. Itulah sebabnya, penggunaan agens hayati seperti trichoderma ini merupakan langkah bijak untuk mengendalikan penyakit tanaman dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian maupun berbagai perguruan tinggi, trichoderma terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan dan perkemabng biakan berbagai jamur pathogen yang sering menyerang tanaman budidaya seperti Rigdiphorus lignosus, Ridigophorus microporus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Fusarium monilifome dan Sclerotum rolfsil. Jamur pathogen tersebut sering menyerang berbagai tanaman baik tanaman berkayu maupun tanaman semusim, dan jika tidak dikendalikan dengan baik bisa berakibat fatal yaitu matinya tanaman budidaya tersebut, tentunya ini akan sangat merugikan petani.
Sejak tahun 1990an, Direktorat Jenderal Perkebunan bahkan telah merekomendasikan penggunaan trichoderma ini untuk pengendalian penyakit jamur akar (Rigdiphorus lignosus) dan jamur akar putih (Rigdiphorus microporus) yang menyerang tanaman Kopi, Kakao dan Karet. Pada waktu itu Ditjen Perkebunan membagikan ribuan ton trichoderma yang sudah dibiakkan dalam media dedak maupun sekam padi. Namun karena petani menerima bantuan tersebut dalam bentuk trichoderma jadi atau siap pakai, petani akhirnya tidak memiliki pengetahuan bagaiman cara membiakkan trichoderma sendiri. Sehingga ketika stok trichoderma bantuan pemerintah tersebut habis, petani kebingungan untuk memperoleh trichoderma, karena tidak ada dijual di pasaran.
Aplikasi trichoderma kemudian semakin meluas bukan terbatas pada tanaman perkebunan saja, tapi ternyata juga efektif untuk pengendalian penyakit tanaman pada komoditi hortikultura, terutama penyakit yang disebabkan oleh jens jamur fusarium yang banyak menyerang tanaman semusim. Namun lagi-lagi petani mengalami kesulitan untuk mendapatkan trichoderma, karena memang belum beredar di pasaran, petani hanya mengandalkan bantuan trichoderma dari pemerintah yang tentu saja jumlahnya sangat terbatas, sementara kebutuhan petani akan agens hayati ini cukup banyak, seiring dengan terus bertambahnya luas areal tanam berbagai komoditi pertanian.
Kembangkan trichoderma sendiri
Prihatin dengan kondisi tersebut, seorang penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah, Kasim Mahmud, kemudian mencari jalan keluar sendiri untuk bisa membantu petani memperoleh trichoderma secara mudah. Berbekal referensi dari berbagai buku yang dia baca, Kasim mulai melakukan percobaan untuk membiakkan trichoderma sendiri. Biang atau bibit trichoderma sejatinya bisa didapatkan dari alam, khususnya pada kawasan yang masih terjaga kelestarian hutannya, jamur ini biasa tumbuh dalam tanah di pinggiran hutan yang memiliki kelembaban tinggi, pada tunggul-tunggul kayu atau bambu yang sudah mati.
Mulailah Kasim , penyuluh yang bertugas di BPP Lut Tawar ini melakukan “perburuan” trichoderma ke hutan-hutan yang ada di sekitar kecamatan Lut Tawar, kebetulan hampir 80 persen wilayah kecamatan yang berada di pinggiran Danau Laut Tawar ini memang masih berupa kawasan hutan. Untuk “menangkap” bibit trichoderma, Kasim menggunakan nasi basi yang diletakkan pada potongan-potongan bambu, kemudian diletakkan di pinggiran hutan yang dia tengarai sebagai tempat tumbuhnya jenis jamur ini. Nasi basi, menurut Kasim merupakan media tumbuh yang sangat baik bagi trichoderma, karena memiliki kandungan karbohidrat dan glokosa yang sebagian telah terurai. Butuh waktu 3 sampai 4 hari untuk “memerangkap” bibit trichoderma ini dalam wadah bambu berisi nasi basi tersebut, ketika dipermukaan nasi tersebut kemudian tumbuh spora berwarna putih ke abu-abuan, itu pertanda bibit trichoderma sudah terbentuk dalam media tersebut.
Bibit trichoderma tersebut sebenarnya sudah bisa diaplikasikan langsung pada tanaman, tapi karena jumlahnya sangat sedikit, tentu saja tidak efektif, karena hanya akan mencukupi pada areal tanam yang sangat terbatas, kalau sekedar memenuhi kebutuhan lahan miliknya, mungkin jumlah itu sudah mencukupi. Namun banyaknya petani yang membutuhkan trichoderma, kemudian menginpirasi Kasim untuk mengembang biakkan trichoderma tersebut sehingga mampu mencukupi permintaan petani yang membutuhkannya. Karena selain dapat mengurangi serangan penyakit, trichoderma juga memiliki sifat pengurai yang mampu membantu proses penguraian material organic sehingga mudah diserap oleh tanaman. Dengan kata lain, trichoderma selain sebagai agens hayati pengganti pestisida kimia, juga berperan sebagai activator dan stimulant pupuk organik yang diaplikasikan pada tanaman, sehingga juga berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Kasim tau, bahwa untuk membiakkan trichoderma dibutuhkan media tumbuh yang memiliki kandungan karbohidrat dan glukosa yang cukup, tapi dia juga harus mempertimbangkan bahwa media tumbuh yang dibutuhkan tersebut mudah didapatkan dengan harga murah, sehingga tidak membebani petani. Maka dipilihnya dedak halus yang kebetulan sangat mudah dia dapatkan dari mesin-mesin penggilingan padi yang ada disana.
Untuk proses pengembang biakan trichoderma ini, Kasim langsung mengajak petani untuk mempraketekkan cara pembiakan tersebut, dia berharap, nantinya petani akan bisa membiakkan trichoderma sendiri, yang tentu saja akan menghemat biaya produksi dari usaha tani yang merke lakukan. Setelah media tumbuh disterilkan dengan cara direbuh sampai mendidih, bibit trichoderma yang dia peroleh dari hutan kemudian dicampurkan pada media tumbuh tersebut dan dimasukkan dalam kantong-kantong plastik atau yang sering disebut baglog, sama seperti membudidayakan jamur tiram atau jamur konsumsi. Baglog tersebut kemudian disimpan pada ruangan kedap cahaya, sampai cebdawan-cendawan trichoderma tersebut tumbuh merata, butuh waktu sekitar sepuluh hari untuk membiakkan trichoderma tersebut.
Setelah berhasil membiakkan trichoderma tersebut, kemudian Kasim membagikan secara cuma-cuma kepada petani untuk diaplikasikan pada tanaman mereka. Tidak lupa penyuluh ini juga mengaplikasikan pada tanamanyang dia budidayakan di lahan miliknya. Tak mengherankan jika kemudian lahan pertanian miliknya, kemudian sering menjadi percontohan bagi para petani maupun para penyuluh, tidak hanya yang berasal dari dalam daerah, tapi juga dari luar daerah. Bahkan keberhasilannya, membiakkan trichoderma ini, telah diakui oleh Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Aceh yang berpusat di Keumala, Pidie. Selama ini, trichoderma memang hanya dikembangkan di laboratorium oleh peneliti maupun praktisi pengendalian hama dan penyakit tanaman, tapi ternyata dengan cara sederhana pun, trichoderma bisa dikembangkan oleh penyuluh pertanian yang dkenal kreatif ini.
Tentu saja keberhasilan Kasim membiakkan trichoderma tidak datang begitu saja, butuh proses lama dan memerlukan ketelitian dan kecermatan, tapi kemauan keras didukung minatnya untuk mengetahui berbagai hala dengan membaca bermacam referensi, membuat Kasim mampu melakukan sesuatu yang mungkin belum pernah dilakukan oleh penyuluh pertanian lainnya. Tak hanya bermanfaat, hasil temuan Kasim ini juga lagsung menyentuk kebutuhan petani, dan terbukti mampu mneidongkrap produktivitas berbagai komoditi pertanian seperti bawang merah, cabe, mentimun, kol, sawi, tomat bahkan padi. Tak banyak yang tau kiprah penyuluh inovatif ini, karena sosok penyuluh yang satu ini memang tidak suka menonjolkan diri, tapi hampir semua petani I wilayah kecamatan Lut Tawar. Aceh Tengah dan sekitarnya, mengenal sangat baik penyuluh ini. Bagi mereka, Kasim tidak hanya sekedar seorang penyuluh tapi lebih dari seorang guru, dimana petani bisa bertanya tentang apa saja yang terkait dengan pertanian kepadanya. Berkat kemampuannya membikakan trichoderma, kini Kasim juga sering diundang sebagai nara sumber maupun pemateri dalam berbagai pelatihan, bukan hanya di tingkat kabupaten bahkan sampai ke tingkat provinsi Aceh. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh dan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Keumala, adalah dua lembaga pemerintah yang selama ini sering meminta bantuan Kasim untuk menjadi nara sumber maupun pemateri dalam berbagai pelatihan petani yang mereka laksanakan.
Tak Cuma berhasil membiakkan trichoderma yang ternyata sangat bermanfaat bagi petani di wilayah binaannya, Kasim juga mampu melahirkan karya inovatif lainya, seperti menciptakan likat kuning sederhana sebagai perangkap serangga pengganggu tanaman, membuat alat caplak tanam padi jajar legowo sederhana, dan di kecamatan Lut Tawar, dia dikenal sebagai pelopor pengembangan varietas padi unggul Inpari 28.
Itulah sosok Kasim Mahmud, penyuluh bersahaja yang selalu tampil sederhana, namun dibalik kesederhanaannya, tersimpan kearifan seorang penyuluh yang begitu menyadari perannya sebagai pendamping dan pembina bagi petani. Baginya, memberi manfaatk kepada petani adalah sebuah keharusan, dan dia telah membuktikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H