“Booming” harga cabai sekitar 3 bulan yang lalu telah membuat animo petani untuk menanam komoditas ini melonjak drastis. Prinsip “latah” dalam melakukan aktivitas usaha tani masih saja melekat pada diri petani, di mana harga komoditas melonjak, di situ petani ramai-ramai menanam komoditas tersebut. Kondisi seperti ini juga terjadi di Kabupaten Aceh Tengah. Harga cabai yang sangat fantastis beberapa waktu yang lalu, membuat para petani di Gayo juga seakan berlomba menanam komoditas “pedas” ini.
Berdasarkan data statistik pertanian yang penulis peroleh dari Koordinator Sattistik Pertanian pada Dinas Pertanian, Adam Kamil, SP, dalam tiga bulan terakhir telah terjadi lonjakan tajam luas tanam cabai di Kabupaten Aceh Tengah. Kalau pada Desember 2016 yang lalu, luas tanam cabai di kabupaten ini hanya 140 hektar, sampai dengan akhir bulan Maret 2017 ini, luas tanam cabai melonjak drastis menjadi 307 hektar.
Akibatnya, ketika memasuki masa panen pada April ini, terjadi over product panen cabai di daerah ini. Kondisi tersebut langsung berdampak pada penurunan harga komoditas ini, bukan hanya turun harga, tapi langsung “terjun bebas”. Cabai merah yang pada Desember 2016 sampai Januari 2017 masih bertahan pada kisaran 40 sampai 50 ribu per kilogram di tingkat petani, kini merosot tajam menjadi hanya 5 ribu rupiah per kilogram. Sementara cabai rawit atau caplak yang semula bertengger pada level 50 sampai 60 ribu per kilogram, sekarang juga ikut terdevisiasi harga yang sangat tajam menjadi hanya 5 ribu per kilogram. Yang lebih parah tentu saja cabai hijau, tiga bulan lalu harganya masih bertahan pada kisaran 20 ribu rupiah per kilogramnya, sekarang di tingkat petani hanya dihargai seribu sampai dua ribu rupiah saja per kilogram, itu pun sangat sulit mencari pembeli.
Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, karena sampai saat ini pasar tetap menganut hukum supply and demand. Ketika produk berkurang, sementara permintaan meningkat, secara otomatis harga akan melonjak. Begitu juga sebaliknya, ketika produk berlimpah tapi permintaan justru menurun, harga juga akan terkoreksi dengan sendirinya. Dan kondisi seperti inilah yang sedang terjadi pada petani cabai di Dataran Tinggi Gayo, meningkatnya luas tanam tanam akibat tergiur harga tinggi beberapa waktu yang lalu, menyebabkan produksi saat ini mengalami kelebihan sehingga tidak mampu tertampung oleh pasar. Tentu saja ini langsung berdampak pada anjloknya harga komoditas ini.
Simalakama bagi penyuluh pertanian
Melonjaknya luas tanam cabai yang berdampak terjadinya over product cabai, mulai dikeluhkan oleh para petani. Dengan harga jual seperti saat ini, para petani nyaris tidak mampu menutup modal atau biaya produksi yang sudah dikeluarkannya, karena untuk melakukan usaha tani cabai, modal yang dibutuhkan cukup besar, mulai dari biaya pengolahan lahan, pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan serta mulsa, biaya perawatan sampai pengendalian hama dan penyakit tanaman membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tapi dengan kondisi harga seperti saat ini, jangankan berharap untung, untuk bisa kembali modal saja terasa sulit.
Kondisi seperti ini akhirnya menjadi beban psikologis bagi para penyuluh pertanian yang bertugas di daerah ini. Di satu sisi, mereka dituntut untuk membina petani agar dapat meningkatkan produksi, tapi di sisi lain penyuluh selalu mendengar keluhan petani ketika harga cabai merosot seperti sekarang ini. Sesuai tugas dan fungsinya, para penyuluh memang dituntut untuk membina petani agar mampu meningkatkan produktivitas usaha tani mereka, apalagi komoditas cabai juga merupakan komoditas prioritas dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian.
Seperti diketahui, sejak awal tahun 2016 yang lalu, Kementerian Pertanian telah meluncurkan program peningkatan swasembada pangan melalui upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung, kedele, bawang merah, cabai, sapid an tebu (Upsus Pajale Babe Sate) di mana cabai merupakan salah satu dari 7 komoditas pertanian priroritas dalam program pemerintah tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Ismail, SP, penyuluh pertanian yang bertugas di BPP Pegasing. Hampir setiap hari dia menerima keluhan petani yang mengeluhkan turunnya harga cabai, padahal saat ini sebagian dari lahan cabai mereka sedang memasuki masa panen. Ismail tidak mampu berbuat apa-apa karena masalah harga komoditas sampai dengan saat ini memang masih dikendalikan oleh pedagang.
“Hampir setiap hari, saya dan teman-teman penyuluh menerima keluhan petani, rata-rata mereka mengeluhkan harga cabai yang merosot drastis ini, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena harga memang ditentukan oleh pasar, sementara kami tidak punya kewenangan untuk mengintervensi pasar,” ungkap Ismail. “Dari segi produksi, kami telah berhasil memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitas hasil cabai mereka, tapi ketika harga jatuh seperti saat ini, kami jadi serbasalah, kondisi saat ini kami seperti sedang makan buah simalakama,” lanjutnya.
Ungkapan serupa juga diungkapkan oleh Sadarmi, penyuluh yang juga Kepala BPP Celala. Kalau Ismail hanya menerima keluhan petani, Sadrami bahkan ikut merasakan dampak merosotnya harga cabai ini. Sambil melakukan kegiatan penyuluhan kepada petani, Sadarmi juga ikut menanam cabai di lahan miliknya, nggak tanggung-tanggung, dia menanam cabai sekitar setengah hektar pada pertengahan Januari 2017 lalu. Tapi begitu memasuki masa panen pada pertengahan Maret lalu, harga cabai mulai turun secara drastis, bahkan sekarang semakin anjlok.