Seperti sudah saya singgung di awal tulisan, gadis pilihan putra kami yang akan jadi menantu kami berasal dari etnis Aceh. Mau tidak mau, serangkaian adat Aceh juga harus kami ikuti. Ini juga merupakan bentuk penghormatan kami kepada keluarga calon besan kami dan menghilangkan ganjalan-ganjalan psikologis antara besan dengan besan dikemudian hari.
Gambar 4, Hantaran adat Aceh mengiringi acara mengantar mempelai (Doc. FMT)
Mulai dari acara lamaran, kami sudah menggunakan adat Aceh, diikuti dengan permintaan mahar yang lumayan “
wah”. Emas seberat 45 gram ditambah dengan berbagai hantaran yang nilainya bisa mencapai belasan juta rupiah, juga kami ikuti demi kelancaran rencana pernikahan putra sulung kami ini. Begitu juga dengan hidangan istimewa bagi keluarga besan yang di Aceh disebut “
idang meulapieh” (hidangan berlapis), juga kami siapkan untuk menyambut kedatangan menantu dan keluarga besan.
Gambar 5, Hidangan berlapis, penghormatan untuk keluarga besan (Doc. FMT)
Alhamdulillah, berkat dukungan dan bantuan dari para tetangga, semua pernik adat Aceh yang cukup menyita tenaga dan dana itupun dapat terlaksana tanpa kendala. Kami juga bersyukur, sudah bisa memberikan pelayanan dan penghormatan kepada keluarga besan dan rombongannya yang berjumlah ratusan orang itu.
Acara Temon dengan Adat Jawa
Meskipun etnis Jawa yang melekat pada diri kami hanyalah sekedar identitas geografis semata, namun kami juga tidak bisa juga harus mendengar pendapat dari orang-orang tua kami yang menghendaki acara pernikahan putra kami juga tidak meninggalkan adat Jawa. It’s oke, bagi kami itu juga bukan masalah, karena kebetulan di Tanah Gayo ini juga banyak berdomisili masyarakat dari etnis Jawa, temasuk beberapa sanak famili kami. Jadi tidak ada masalah ketika harus menggelar ritual adat Jawa dalam hajatan kami ini, meski hanya kami ambil bagian terpentingnya saja.
Gambar 6, Awal prosesi Temon Penganten (Doc. FMT)
Akhirnya kami sepakat, adat Jawa yang kami gunakan dalam hajatan ini adalah acara “
Temon Manten” (Temu Pengantin). Diawali dengan menyiapkan “
ubo rampe” berupa sepasang
Gagar Mayang, yang terbuat dari rangkaian hiasan dari janur, bunga kelapa (mayang) dan pernik lainnya. Kalau untuk acara orang lain, saya sih sebenarnya biasa membantu membuat gagar mayang ini, tapi kali ini karena kami yang punya hajat, akhirnya para paman dan adik-adik serta beerapa orang tetangga kami yang harus turun tangan membuatnya.
Suasana sakral dengan sedikit aroma mistis dari dukun penganten yang khusus dipesan untuk acara ini, mulai terasa saat rombongan penganten memasuki lokasi resepsi. Diawali dengan acara sungkem kedua mempelai kepada kami selaku orang tua, kemudian dilanjutkan dengan acara basuh kaki kedua orang tua. Lagi-lagi kami tak mampu membentung air mata kami yang secara spontan mengucur deras saat kedua tangan anak dan menantu kami mulai menyentuk kaki kami dengan basuhan air bunga.
Para tetangga san saudara yang menyaksikan ritual ini dari dekat, juga terlihat tidak mampu menahan air mata mereka, sebuah keharuan luar biasa yang tidak perbnah kami rasakan sebelumnya. Begini rupanya rasanya jadi orang tua yang anaknya memasuki ranah pernikahan, sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Iringan musik gamelan dari orgen tunggal, seperti semakin mengentalkan keharuan itu.
Gambar 7, Kedua mempelai mendapata arahan dari dukun pengantin (Doc. FMT)
Meski menjadi acara sakral yang penuh keharuan, tapi tak ayal ritual ini juga jadi tontonan menarik bagi warga setempat, karena mereka jarang melihat langsung acara seperti ini. Ya, selain menghormati leluhur kami, sekaligus kami juga telah meperkenalkan keragaman adat yang ada di negeri ini, dan ini bisa menjadi cakrawala baru bagi tetangga-tetangga kami.
Adat Jawa kemudian berlanjut dengan ritual suap-suapan kedua mempelai dengan “nasi pune” dilanjutkan dengan sungkem kedua. Keharuan mulai mereda saat kedua mempelai akhirnya duduk dipelaminan, saya dan isteri yang duduk disampingnya, merasakan kebahgiaan yang luar biasa saat melihat putra kami menatap masa depannya bersama gadis pilihannya.
Gambar 8, Kedua mempelai membasuh kaki kedua orang tua (Doc. FMT)
Kalau biasanya satu keluarga hanya menjalankan satu adat perkawinan saja, tapi pernikahan putra kami ini segaligus telah menyatukan tiga adat secara beriringan. Satau hal yang mungkin bisa saya petik dari hajatan kami ini, bahwa semua adat yang ada sejatinya bisa disatukan, tentu saja dengan cara bijak tanpa membenturkan perbendaan satu dengan lainnya.
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya