Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menyatukan Tiga Adat dalam Sebuah Acara Pernikahan

23 Maret 2017   15:02 Diperbarui: 24 Maret 2017   00:00 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1, Resepsi pernikahan putra sulung kami 14 Maret 2017 (Doc. FMT)

Bulan Maret 2017 ini, kami sekeluarga punya hajatan besar yaitu menikahkan putra sulung kami, tentu nya kami harus menyiapkan segala sesuatunya agar acara tersebut bisa berjalana sukses dan lancar. Kalau soal persiapan materiil, mungkin tidak begitu menjadi masalah bagi kami sekeluarga, karena jauh hari sebelumnya kami memang sudah mempersiapkannya, selain itu kami juga sudah sejak lama “menitipkan” berbagai keperluan kepada tetangga atau saudara dekat, dan kami tinggal manariknya kembali pada saat kami membutuhkannya. Bantuan dari teman dan sanak famili, Alhamdulillah juga mengalir lancar untuk meringankan beban kami, jadi meski kami bukan termasuk keluarga mampu, tapi nyaris tidak ada kendala untuk persiapan materi.

Yang kemudian membuat sedikit “ribet”, adalah masalah adat perkawinan yang harus kami pakai dalam hajatan kami ini. Secara historis, baik saya maupun isteri saya memang berdarah Jawa, tapi sudah puluhan tahun kami berdomisili di daerah Gayo dan bergaul serta berinteraksi dengan masyarakat Gayo, sementara calon menantu dan besan kami berasal dari etnis Aceh. Disinilah kemudian perlu kearifan untuk memilih prosesi adat yang akan kami jalani dalam hajatan keluarga ini. Mempertahankan adat Jawa yang menjadi warisan leluhur kami, mungkin sebuah keharusan, sementara menjunjung adat dimana kami bertempat tinggal juga tidak boleh

di abaikan, begitu juga dengan adat dari calon menantu dan besan kami, juga tidak boleh ditinggalkan.

Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya saya bersama isteri memutuskan untuk mengaplikasikan ketiga adat yang berbeda tersebut dalam hajatan yang akan kami gelar. Pepatah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” benar-benar ingin kami terapkan dalam acara keluarga kami, meski sebenarnya tidak ada keharusan bagi kami, tapi kami merasa harus menghormati semua adat yang ad dalam kehidupan dan lingkungan kami.

“Berguru” dengan Adat Gayo

Di Wilayah Dataran Tinggi Gayo, setiap ritual pernikahan selalu diawali dengan acara “berguru”. Acara yang sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat Gayo ini, akhirnya juga menjadi bagian awal dari prosesi hajatan pernikahan putra kami. Berguru sendiri merupakan adat untuk memberikan pembelajaran atau memberi pengajaran kepada calon mempelai, agar dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya kelak bisa berjalan tenteram dan bahagia. 

Disaksikan oleh sanak famili dan seluruh tetangga, acara berguru dimulai dengan penyerahan “buet” (pekerjaan selama hajatan) dari pihak keluarga kepada aparat desa yang terdiri dari Reje(Kepala Kampung), Imam Kampung dan Petue (Sesepuh Kampung). Selanjutnya aparat kampung yang diwakili oleh Reje, akan menerima pekerjaan selama hajatan tersebut kemudian menyerahkannya kepada seluruh warga untuk membantu tuan rumah sampai dengan selesainya hajatan nanti.

Gambar 2, Salah seoarng anggota keluarga memberikan pengajaran (ejer muarah) kepada calon mempelai (Doc. FMT)
Gambar 2, Salah seoarng anggota keluarga memberikan pengajaran (ejer muarah) kepada calon mempelai (Doc. FMT)
Acara inti berguru sendiri adalah memberikan pengajaran (dalam bahasa Gayo disebut Ejer Muarah) kepada calon mempelai, pengajaran ini biasanya disampaikan oleh salah seorang yang dituakan dalam keluarga, ada kalanya pengajaran ini disampaikan oleh Kepala Kampung atau Imam Kampung. Berbagai petuah penting dalam menjalani kehidupan berumah tangga disampaikan oleh sang pengajar. Calon mempelai yang tidak lain putra sulung kami, mendengarkan dengan khidmat diatas Ampang (tikar pandan yang diberi ornament khas Gayo), mengenakan pakaian putih dan berselimut Upuh Ulen-Ulen (Kain berbentuk persegi panjang dengan ukiran jahitan Kerawang Gayo). 

Tiga serangkai aparat kampung yang terdiri dari  Reje, Imam dan Petue, sebagai orang yang dituakan dan dihormati  di desa/kampung, juga didudukkan secara khusus diatas ampang, itu sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Acara ini menjadi penting, karena berisi nasehat berharga tentang bagaimana seseorang akan mengarungi kehidupan baru dalam biduk rumah tangga.Dan untuk mendo’akan keselamatan bagi calon mempelai, Imam Kampung kemudian melanjutkan acara dengan memimpin do’a.

Gambar 3, Pesejuk/Tepung Tawar bagi calon mempelai dalam acara Berguru (Doc. FMT)
Gambar 3, Pesejuk/Tepung Tawar bagi calon mempelai dalam acara Berguru (Doc. FMT)
Suasana haru biru dalam acara berguru ini terjadi ketika ibu Imam (Isteri dari Imam Kampung) mempesejuk/menepung tawari calon mempelai. Ketika memasuki session ini, biasanya kaum perempuan yang hadir dalam acara berguru ini mulai tidak mampu menahan air mata haru mereka. Keharuan semakin menyeruak ketika kemudian putra kami “sungkem” kepada kami, saya dan isteri juga tak mampu menahan air mata kami saat menyalami dan memeluk putra kami, begitu juga dengan sanak family dan para tetangga yang hadir. Isak tangis yang mengiringi acara sungkeman itu, dalam adat Gayo disebut “pepongoten”, terinspirasi kisah tentang orang tua yang begitu berat harus berpisah dengan anak kandungnya karena sesaat lagi akan memasuki kehidupan rumah tangga.

Alhamdulillah, acara bergurupun berjalan lancar, dan satu adat Gayo telah kami jalani sebagai penghormatan kami kepada masyarakat Gayo yang menjadi bagian dari kehidupan kami.

Mengikuti Adat Aceh

Seperti sudah saya singgung di awal tulisan, gadis pilihan putra kami yang akan jadi menantu kami berasal dari etnis Aceh. Mau tidak mau, serangkaian adat Aceh juga harus kami ikuti. Ini juga merupakan bentuk penghormatan kami kepada keluarga calon besan kami dan menghilangkan ganjalan-ganjalan psikologis antara besan dengan besan dikemudian hari.

Gambar 4, Hantaran adat Aceh mengiringi acara mengantar mempelai (Doc. FMT)
Gambar 4, Hantaran adat Aceh mengiringi acara mengantar mempelai (Doc. FMT)
Mulai dari acara lamaran, kami sudah menggunakan adat Aceh, diikuti dengan permintaan mahar yang lumayan “wah”. Emas seberat 45 gram ditambah dengan berbagai hantaran yang nilainya bisa mencapai belasan juta rupiah, juga kami ikuti demi kelancaran rencana pernikahan putra sulung kami ini. Begitu juga dengan hidangan istimewa bagi keluarga besan yang di Aceh disebut “idang meulapieh” (hidangan berlapis), juga kami siapkan untuk menyambut kedatangan menantu dan keluarga besan.

Gambar 5, Hidangan berlapis, penghormatan untuk keluarga besan (Doc. FMT)
Gambar 5, Hidangan berlapis, penghormatan untuk keluarga besan (Doc. FMT)
Alhamdulillah, berkat dukungan dan bantuan dari para tetangga, semua pernik adat Aceh yang cukup menyita tenaga dan dana itupun dapat terlaksana tanpa kendala. Kami juga bersyukur, sudah bisa memberikan pelayanan dan penghormatan kepada keluarga besan dan rombongannya yang berjumlah ratusan orang itu.

Acara Temon dengan Adat Jawa

Meskipun etnis Jawa yang melekat pada diri kami hanyalah sekedar identitas geografis semata, namun kami juga tidak bisa juga harus mendengar pendapat dari orang-orang tua kami yang menghendaki acara pernikahan putra kami juga tidak meninggalkan adat Jawa. It’s oke, bagi kami itu juga bukan masalah, karena kebetulan di Tanah Gayo ini juga banyak berdomisili masyarakat dari etnis Jawa, temasuk beberapa sanak famili kami. Jadi tidak ada masalah ketika harus menggelar ritual adat Jawa dalam hajatan kami ini, meski hanya kami ambil bagian terpentingnya saja.

Gambar 6, Awal prosesi Temon Penganten (Doc. FMT)
Gambar 6, Awal prosesi Temon Penganten (Doc. FMT)
Akhirnya kami sepakat, adat Jawa yang kami gunakan dalam hajatan ini adalah acara “Temon Manten” (Temu Pengantin). Diawali dengan menyiapkan “ubo rampe” berupa sepasang Gagar Mayang, yang terbuat dari rangkaian hiasan dari janur, bunga kelapa (mayang) dan pernik lainnya. Kalau untuk acara orang lain, saya sih sebenarnya biasa membantu membuat gagar mayang ini, tapi kali ini karena kami  yang punya hajat, akhirnya para paman dan adik-adik serta beerapa orang tetangga kami yang harus turun tangan membuatnya.

Suasana sakral dengan sedikit aroma mistis dari dukun penganten yang khusus dipesan untuk acara ini, mulai terasa saat rombongan penganten memasuki lokasi resepsi. Diawali dengan acara sungkem kedua mempelai kepada kami selaku orang tua, kemudian dilanjutkan dengan acara basuh kaki kedua orang tua. Lagi-lagi kami tak mampu membentung air mata kami yang secara spontan mengucur deras saat kedua tangan anak dan menantu kami mulai menyentuk kaki kami dengan basuhan air bunga.

Para tetangga san saudara yang menyaksikan ritual ini dari dekat, juga terlihat tidak mampu menahan air mata mereka, sebuah keharuan luar biasa yang tidak perbnah kami rasakan sebelumnya.   Begini rupanya rasanya jadi orang tua yang anaknya memasuki ranah pernikahan, sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.  Iringan musik gamelan dari orgen tunggal, seperti semakin mengentalkan keharuan itu.

Gambar 7, Kedua mempelai mendapata arahan dari dukun pengantin (Doc. FMT)
Gambar 7, Kedua mempelai mendapata arahan dari dukun pengantin (Doc. FMT)
Meski menjadi acara sakral yang penuh keharuan, tapi tak ayal ritual ini juga jadi tontonan menarik bagi warga setempat, karena mereka jarang melihat langsung acara seperti ini. Ya, selain menghormati leluhur kami, sekaligus kami juga telah meperkenalkan keragaman adat yang ada di negeri ini, dan ini bisa menjadi cakrawala baru bagi tetangga-tetangga kami.

Adat Jawa kemudian berlanjut dengan ritual suap-suapan kedua mempelai dengan “nasi pune” dilanjutkan dengan sungkem kedua. Keharuan mulai mereda saat kedua mempelai akhirnya duduk dipelaminan, saya dan isteri yang duduk disampingnya, merasakan kebahgiaan yang luar biasa saat melihat putra kami menatap masa depannya bersama gadis pilihannya.

Gambar 8, Kedua mempelai membasuh kaki kedua orang tua (Doc. FMT)
Gambar 8, Kedua mempelai membasuh kaki kedua orang tua (Doc. FMT)
Kalau biasanya satu keluarga hanya menjalankan satu adat perkawinan saja, tapi pernikahan putra kami ini segaligus telah menyatukan tiga adat secara beriringan. Satau hal yang mungkin bisa saya petik dari hajatan kami ini, bahwa semua adat yang ada sejatinya bisa disatukan, tentu saja dengan cara bijak tanpa membenturkan perbendaan satu dengan lainnya.

Lebih sepekan acara pernikahan putra kami telah berlalu, tapi kenangan itu masih terus melekat dalam ingatan kami. Sebuah resepsi pernikahan yang bagi sebagian orang mungkin terasa unik, dan Alhamdulillah kami dapat menjaninya dengan baik. Kami antar putra kami dengan tiga adat sekaligus, tentu dengan juga harapan pula, semoga kehidupan berkeluarga putra kami bisa Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun