Dalam aktivitas usaha tani hortikultura, pupuk merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam kegiatan budidaya tersebut. Namun sampai saat ini masih banyak petani yang mengeluhkan kelangkaan dan mahalnya pupuk kimia di pasaran, sehingga biya prouksi menjadi tinggi.
Kebergantungan para petani terhadap penggunaan pupuk kimia yang selama ini dilakukan dalam kegiatan usaha tani, sebenarnya dapat merugikan petani sendiri, karena selain harganya mahal, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan terus menerus, justru dapat menurunkan tingkat kesuburan dan daya dukung tanah.
Penggunaan pupuk kimia dalam dosis tinggi dan dilakukan dalam jangka waktu lama, akan membuat tekstur tanah menjadi keras, padat dan kering, sementara tanaman hortikultura seperti cabe, bawang merah, kentang, kol, tomat dan sebagianya membutuhkan tekstur yang gembur sehingga pertumbuhannya bisa optimal dan produktivitasnya bisa maksimal.
Pola pikir petani yang menginginkan cara praktis dan tidak banyak membuang tenaga, semakin memicu penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dalam berusaha tani. Padahal selain merupakan pemborosan, karena tidak semua pupuk kimia yang diaplikasikan dapat terserap oleh tanaman, sisa pupuk kimia yang tertinggal dalam tanah, lambat laun akan “meracuni” tanah.
Pupuk kimia memang dapat menyediakan unsure hara yang dibutuhkan tanaman dalam waktu cepat, tapi pemberian dosis yang tidak tepat, justru akan membuat pertumbuhan tanaman terganggu, dan produktivitasnya tidak maksimal. Selain itu, penggunaan pupuk kimia melebihi dosis yang dibutuhkan tanaman, membuat biaya produksi bertambah dan pendapatan petani berkurang.
Era globalisasi pertanian yang menghendaki produk-produk pertanian organik yang kini sudah diberlakukan di hampir semua negara, membuat para petani harus mulai berfikir untuk mengurangi penggunaan pupuk dan bahan kimia lainya dalam aktivitas usaha tani mereka.
Tanpa menerapkan pola organik dalam budidaya tanaman, bukan tidak mungkin produk pertanian yang dihasilkan petani kita akan kalah bersaing dan “tergilas” oleh produk-produk pertanian negara lain yang sudah menerapkan pola organik dalam usaha tani mereka. Tuntutan konsumen akan produk pertanian yang aman dikonsumsi dan bebas dari kandungan zat kimia berbahya, menuntut petani mulai beralih kepada budidaya pertanian organik.
Sebenarnya banyak sekali keuntungan budidaya pertanian secara organik ini, selain bisa menekan biaya produksi, juga dapat memertahankan tingkat kesuburan dan daya dukung lahan, karena struktur tanah akan terus diperbaharui dengan penggunaan bahan-bahan organik dalam kegiatan usaha tani.
Di samping itu produk yang dihasilkan juga merupakan produk pertanian organik yang benar-benar aman untuk dikonsumsi karena faktor keamanan pangan ini kini sudah menjadi tuntutan dari para konsumen di seluruh dunia. Dari aspek pasca panen, produk pertanian organik juga memilki daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan produk non organik, ini sangat berpengaruh terhadap pemasaran hasil pertanian, karena produk yang lebih tahan disimpan, tentu akan menjadi pilihan utama bagi para konsumen.
Upaya untuk memasyarakatkan pola pertanian organik ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para penyuluh pertanian, termasuk para penyuluh pertanian yang ada di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Mereka tidak sekadar menganjurkan kepada petani untuk menggunakan bahan-bahan organik dalam kegiatan usaha tani, namun mereka juga telah mempraktekkan sendiri penggunaan bahan organik tersebut melalui demplot atau lahan percontohan di wilayah kerja mereka masing-masing.
Dengan cara seperti ini, akan menjadi lebih mudah meyakinkan para petani, bahwa bertani secara organik itu jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola yang diterapkan oleh para petani selama ini yaitu dengan menggunakan pupuk dan bahan kimia secara berlebihan dan terus menerus.
Geliat Penyuluh Pertanian di BPP Linge
Seperti yang dicontohkan oleh seorang penyuluh pertanian, Safrin Zailani bersama teman-temannya di BPP Linge. Penyuluh yang juga Koordinator Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Linge ini, sudah lebih dari 5 tahun menerapkan pola usaha tani organik beberapa komoditi hortikultura dan palawija seperti cabe, tomat, kentang dan kacang merah di lahan BPP Linge yang berlokasi di desa Peregen, Isaq ini.
Lahan BPP Linge awalnya bukanlah lahan yang subur, karena merupakan lahan bekas tanaman Pinus Merkusi. Kondisi tanah di lahan tersebut, semula terlihat kering dan tandus, ini yang memicu Safrin dan kawan kawan-kawan untuk kembali “menghidupkan” lahan itu supaya bisa dimanfaatkan sebagai areal budidaya pertanian atau lahan percontohan..
Menggunakan pupuk kimia untuk mendongkrak kesuburan tanah dengan kondisi seperti itu, tentu bukan tindakan bijak., Bisa jadi tindakan tersebut akan bisa membuat tanah menjadi subur sesaat, tapi akan kembali kering dan tandus setelah itu.
Satu-satunya jalan untuk menghidupkan kembali lahan tandus itu, harus dengan pupuk organik, begitu yang terfikir oleh Safrin saat itu, karena berdasarkan pengalamannya sebagai penyuluh pertanian, penggunaan pupuk organik adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Tertu bukan perkara mudah untuk mengembalikan kesuburan tanah pada lahan BPP seluas lebih dari 2 hektar tersebut, butuh kerja keras dan tentu saja biaya yang tidak sedikit Bisa saja mengambil cara praktis dengan membeli pupuk organik yang memang sudah banyak di jual di pasaran, tapi itu butuh biaya yang cukup besar, sementara waktu itu sama sekali tidak ada anggaran yang disediakan untuk BPP. Tapi Safrin bukanlah penyuluh sembarangan, dengan cerdas dia mencoba memanfaatkan potensi yang ada di sekitar lokasi BPP.
Banyaknya ternak kerbau dan sapi yang sering berkeliaran di sekitar lokasi BPP, dapat dimanfaatkan kotorannya sebagai salah satu bahan utama membuat pupuk organik. Bermodalkan karung-karung bekas, Safrin dan kawan-kawan mulai mengumpulkan kotoran ternak itu kemudian dibawa ke komplek BPP, setelah dirasa cukup, kemudian dia mulai mencari bahan lainnya seperti dedak, sekam, kulit merah kopi dan limbah pertanian lainnya untuk kemudian dicampur dengan limbah ternak tersebut dan diolah menjadi pupuk organik padat.
Setelah merasa persediaan pupuknya memadai, Safrin kemudian mulai “merukah” atau membuka lahan untuk dijadikan lahan percontohan. Sebuah traktor didatangkan dengan biaya sendiri untuk membantu mengolah lahan, dan butuh waktu beberapa bulan untuk menjadikan lahan tidur itu bisa ditanami, tentunya dengan kerja keras tak mengenal lelah dari para penyuluh itu.
Beberapa jenis bibit tanaman seperti cabe, tomat, kentang dan kacang merah kemudian juga dia usahakan secara swadaya, dengan merogoh modal dari kantongnya sendiri. Tapi ibarat pepatah “tidak ada perjuangan yang sia-sia”, begitu juga perjuangan berat dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Safrin dan kawan-kawan.
Berkat ilmu pertanian dan pengalamannya sebagai penyuluh pertanian, tahun pertama dia dipercaya untuk mengelola BPP Linge, langsung menampakkan hasilnya. Dengan mengaplikasikan pupuk organik padat yang mereka buat sendiri, para penyuluh pertanian dibawah komando Safrin sudah mampu “menyulap” lahan tandus yang selama ini hanya ditumbuhi ilalang dan tumbuhan pakis itu menjadi lahan pertanian yang subur dengan berbagai jenis tanaman yang terlihat rimbun menghijau.
Ketika masa panen tiba, hasil dari usaha tani yang mereka lakukan juga tidak mengecewakan, puluhan ton kentang dan beberapa ratus kilogram cabe, adalah bukti dari hasil kerja keras mereka. Ini yang membuat para penyuluh di Kecamatan Linge itu semakin bersemangat, karena selain hasilnya dapat mereka nikmati bersama, lahan pertanian yang subur itu juga mulai dilirik petani untuk melihat langsung dan belajar tentang budidaya pertanian organik.
Sudah lebih 5 tahun Safrin mengelola lahan BPP Linge, dan sepanjang tahun lahan ini nyaris tidak pernah kosong dari berbagai tanaman, baik yang ditanam secara bersamaan maupun yang ditanam secara bergantian atau berselang. Dan ternyata cara seperti ini, merupakan media penyuluhan yang sangat efektif, tanpa perlu banyak bicara, para petani sudah bisa melihat sendiri dan mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh para penyuluh itu. Ilmu dan pengalaman tersebut yang kemudian disebarluaskan ke semua desa atau kampung d seluruh kecamatan Linge yang menjadi wilayah binaannya.
Perkenalkan pupuk organik cair
Sukses mengaplikasikan pupuk organik padat pada lahan percontohannya, Safrin terus mengembangkan inovasi agar penggunaan pupuk bisa lebih hemat, praktis dan tidak banyak membuang tenaga. Penggunaan pupuk organik padat memang cukup efektif, namun banyak menyita waktu dan tenaga para penyuluh itu. Safrin mulai mencari cara agar lahan percontohannya tetap berjalan, tapi tidak menyita waktu dan tenaga, karena mereka juga harus berbagi waktu untuk memberikan penyuluhan ke desa-desa yang letaknya saling berjauhan satu dengan lainnya.
Mulai beredarnya berbagai merek pupuk organic cair di pasaran, kemudian menjadi inspirasi bagi Safrin untuk membuat pupuk cair sendiri, karena pupuk organik cair yang dijual di pasaran harganya cukup mahal, apalagi dia sudah punya pengetahun tentang pembuatan pupuk cair dari berbagai pelatihan yang pernah diikutinya.
Bahan-bahan untuk membuat pupuk organik cair juga mudah didapatkan dan proses pembuatannyapun tidak sulit. Satu lagi keuntungan menggunakan pupuk organik cair ini, bisa lebih menghemat pupuk dan dapat diserap langsung oleh tanaman karena bentuknya cair, berbeda dengan pupuk padat yang butuh waktu sebelum bisa diserap oleh tanaman.
Bermodal beberapa drum plastik, Safrin dan kawan-kawan mulai mencoba membuat pupuk organik cair sendiri. Bahan organik berupa kotoran ternak yang masih segar, dedak, air kelapa dan urin sapi dicampur dengan air di dalam drum, kemudian ditambahkan activator berupa gula merah. Setelah itu campuan bahan itu diaduk sampai rata lalu ditutup rapat supaya terjadi fermentasi, dan setiap 24 jam tutup dibuka dan diaduk perlahan untuk mengeluarkan gas yang tidak dibutuhkan dalam proses pembuatan pupuk cair ini.
Setelah 12 sampai 15 hari, aroma limbah sudah berubah menjadi aroma tape atau ragi, itu tandanya pupuk organik cair sudah jadi dan siap untuk digunakan. Untuk mengaplikasikannya di lapangan, cukup menambahkan air kedalam pupuk tersebut dengan perbandingan 1 berbanding 1, artinya untuk 1 liter pupuk cair, cukup ditambahkan 1 liter air kemudian dicampur rata dan siap diaplikasikan pada tanaman.
Pengaplikasiannya pada tanaman juga tidak sulit, cukup menyiramkanya di sekitar tanaman, dan kalaupun mengenai batang tanaman, juga tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman,karena sifatnya organik, berbeda dengan pupuk kima yang dalam pengaplikasiannya tidak boleh terkena tanaman langsung.
Sudah lebih 2 tahun Safrin dan kawan-kawan mengaplikasikan pupuk organik cair buatan mereka sendiri di lahan percontohan BPP, dan hasilnya pun sangat memuaskan. Bahkan dari pengalaman Safrin dan kawan-kawan, penggunaan pupuk organik cair ini juga bisa menekan pertumbuhan hama dan penyakit tanaman sehingga tanaman mereka selalu terlihat sehat dan subur.
Menururut penuturannya, penggunaan pupuk organik cair ini, juga membuat tanaman lebih resistan terhadap pengaruh cuaca ekstrim. Karena kandungan haranya yang cukup lengkap, pupuk organik cair ini bisa digunakan sebagai pupuk dasar maupun pupuk susulan, Penggunaan pupuk organik cair ini juga lebih hemat, satu drum berisi 200 liter pupuk cair, dapat diaplikasikan pada 6000 batang tanaman cabe atau tomat, 1 hektar tanaman kacang merah atau setengah hektar tanaman kentang, sementara kalau menggunakan pupuk oranik padat, bisa menghabiskan 2 - 3 ton.
Setelah membekali sekitar 30 petani melalui teori di kelas, Safrin kemudian mengajak para peserta pelatihan untuk mempraktekkan cara pembuatan pupuk organik cair itu. Para peserta pelatihanpun cukup antusias mendengarkan penjelasan dari Safrin maupun saat mempraktekkan pembuatan pupuk cair tersebut.
Dari segi biaya, mebuat pupuk organik cair sendiri juga sangat hemat, karena untuk membuat pupuk cair sebanyak 200 liter, hanya dibutuhkan biaya sekitar 100 ribu rupiah, artinya untuk setiap liter pupuk organik cair ini, hanya dibutuhkan biaya Rp 500,- saja. Tentu ini jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia atau pupuk cair buatan pabrik yang harganya tidak kurang dari Rp 20.000 sampai Rp 30.000,- per liternya.
Itulah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan bagi Safrin untuk terus mensosialisasikan dan mengajari para petani untuk bisa membuat pupuk organik sendiri, apalagi potensi bahan baku untuk membuat pupuk organik cukup melimpah di kecamatan linge yang merupakan kawasan yang memiliki potensi peternakan yang sangat besar. Begitu juga dengan bahan limbah pertanian lainnya, cukup mudah didapatkan dengan biaya yang sangat murah.
Penyuluh yang satu ini benar-benar telah mampu memberi solusi bagi para petani binaannya, tak hanya menganjurkan tapi sekaligus mengajarkan dan memberikan contoh. Kedepan dia berharap bahwa ketersediaan pupuk bukan lagi menjadi masalah yang selalu dikeluhkan oleh petani, karena mereka sudah bisa membuat pupuk sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H