Pada umur 3 tahun ke atas, asaupan nutrisi NPK yang dibutuhkan adalah 450 kg/hektar atau 0,3 kg per batang untuk 4 kali pemupukan alias 75 gram per batang setiap 3 bulan sekali. Selain pemupukan secara intensif, pemangkasan pada cabang-cabang liar juga harus dilakukan secara rutin dan jumlah cabang yang dipertahankan juga dibatasi, sehingga buah yang dihasilkan benar-benar memenuhi standar mutu. Pemberian nutrisi berimbang pada tanaman kopi, menurut Pak Nur juga bisa menimimalisir pengaruh perubahan iklim dan cuaca (global climate change), karena dengan nutrisi hara yang cukup, tanaman akan lebih tahan menghadapi berbagai kondisi cuaca.
Untuk menghambat pertumbuhan gulma atau tumbuhan pengganggu, Pak Nur menggunakan rumput Pinto (Arachis pintoi) sebagai tanaman penutup lahan, tanaman ini selain mampu menghambat tumbuhan pengganggu, juga berfungsi sebagai pemasok nitrogen bagi tanaman kopi dan berfungsi sebagai bahan untuk pupuk organic yan cepat diserap oleh tanaman karena cepat terurai dalam tanah.
Penggunaan rumput Pinto sebagai tanaman penutup lahan juga bisa menghemat biaya produksi, karena tidak perlu lagi melakukan pembersiahan gulma setiap saat, hanya sesekali saja rumput Pinto yang sudah meninggi dipotong dan dirapikan, dan potongan rumput itupun tidak perlu dibuang, karena akan segera berubah menjadi pupuk organik yang kaya unsur Nitrogen.
Sementara untuk tanaman pelindung, pak Nur menggunakan kayu Afrika atau Sembung/Beluntas (Blumea balsamifera) sejenis tanaman berdaun lebar yang dapat tumbuh sampai setinggi 6 meter, menurutnya pohon pelindung ini punya kelebihan dibanding jenis lainnya, karena selain tumbuhnya cepat, tanaman ini juga tidak disukai hama, jadi tanaman kopi pun akan jauh dari serangan hama.
Satu hal yang juga sangat penting dalam budidaya kopi arabika, adalah kejelian memilih jenis atau varietas kopi yang sesuai dengan ketinggian diatas permukaan laut, karena menurut pengamatan beliau setiap jenis atau varietas kopi arabika memiliki persyaratan ketinggian tertentu. Dia mencontohkan, kopi arabika yang cocok ditanam pada ketinggian 1.000 mdpl belum tentu cocok ditanam pada ketinggian 1.500 mdpl. Tapi saat ini petani kopi di Gayo tidak sulit untuk memilih bibit yang sesuai, karena sudah banyak jenis atau varietas kopi Gayo yang sudah berkembang disini..
Dengan perlakuan seperti itu, tanaman kopi milik Pak Nur dengan jenis Ateng Pucuk Hijau yang baru berumur kurang lebih 3 tahun, sudah mampu berproduksi 4 kilogram gelondong merah per batang atau 6 ton per hektarnya. Dengan konversi gelondong ke green bean 1 berbanding 0,2 saja, produktivitas sudah bisa mencapai 1,2 ton green bean per hektarnya. Produktivitas tersebut akan terus meningkat seiring dengan betambahnya umur tanaman.
Pak Nur memprediksi, pada umur 5 samai 7 tahun, kopi arabika Gayo akan mampu menghasilkan produksi tidak kurang dari 10 tong gelondong atau setara dengan 2 ton green bean. Produktivitas tersebut sudah bisa menyamai produktivitas kopi Vietnam yang kini juga menjadi salah satu pesaing kopi Gayo di pasar dunia. Dengan asumsi produksi demikian, Pak Nur merasa yakin bahwa pendapatan dan kesejahteraan petani kopi Gayo akan mengalami peningkatan signifikan.
“Dengan produksi saat ini 720 kilogram dengan harga Rp 60.000 per kilogram, petani hanya akan memperoleh penghasilan kotor 43.200.000,- setelah dikurangi biaya produksi, maksimal petani hanya memperoleh penghasilan 30 juta per hektar setiap tahunnya, atau 2,5 juta per bulan, jumlah ini tentu belum mampu membuat hidup mereka sejahtera” ungkap M Nur “ Kalau produktivitas bisa dinaikkan menjadi 2 ton per hektar, berarti petani akan punya penghasilan tidak kurang dari 120 juta per tahun, atau 10 juta per bulan, tentu itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hidup petani sejahtera” sambungnya.
Selain fokus kepada kopi yang sudah menjadi tanaman “budaya” di tanah kelahirannya, M Nur Gaybita, putra asal Bintang, Aceh Tengah ini juga memperkenalkan Mix Farming di lahan miliknya yang lumayan luas itu. Budidaya markisa yang dipadukan dengan budidaya ikan air tawar, menurutnya juga punya prospek ekonomi sangat bagus.
Tapi ada satu “penyakit” yang kata Pak Nur masih melekat pada petani di daerahnya yaitu penyakit “malas”, itu yang menurutnya jadi penyebap pertanian di daerahnya sulit untuk maju. Malas yang diamksudkan oleh Pak Nur adalah malas menggali potensi, malas menambah penegtahuan dan wawasan serta malas membuat terobosan atau inovasi.