Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berbagi, Melepaskan Seorang Pedagang Kecil dari “Jeratan” Rentenir

14 September 2016   13:08 Diperbarui: 14 September 2016   13:20 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya agak sungkan berbagi pengalaman ini, karena saya tidak ingin dianggap “riya” atau mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah saya lakukan kepada orang lain. Tapi tidak ada salahnya saya men share pengalaman ini, siapa tau ini bisa menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama, tapi sebelumnya saya mohon maaf, tidak ada sedikitpun maksud untuk menggurui apalagi membanggakan diri.

Kisah ini terjadi pada pertengahan tahun 2011 yang lalu, waktu itu putra sulung kami baru saja menyelesaikan pendidikan SLTAnya di sebuah Pondok Pesantren Terpadu. Alhamdulilah, putra pertama kami mendapatkan peluang beasiswa penuh dari Kementerian Agama melalui Program Beasiswa Satri Berprestasi (PBSB) setelah melalui seleksi yang sangat ketat di tingkat Provinsi Aceh. Dari sekitar 600an peserta seleksi dari semua pondok pesantren se Aceh, hanya 5 orang santri saja yang lolos seleksi beasiswa ke berbagai perguruan tinggi ternama di negeri ini. Putra sulung kami, Arief Rahman Hakim, kebetulan diterima di Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya pada program study Kimia.

Meski sudah dipastikan bisa kuliah dengan fasiltas beasiswa penuh, kami sebagai orang tuanya tentu tidak bisa begitu saja “lepas tangan”. Ya minimal meski menyiapkan anggaran untuk mengantar keberangkatan anak kami itu serta mencarikan rumah kos baginya di Surabaya. Tentunya butuh biaya yang tidak sedikit, dan bagi pegawai kecil seperti saya, lumayan membebani, tapi Alhamdulillah, semuanya bisa teratasi berkat kemudahan yang diberikan Allah SWT. Tidak tega melepaskan anak sendirian ke Surabaya, akhirnya saya “turun tangan” untuk mengantarkannya untuk daftar ulang sekaligus mencarikan rumah kos untuk anak kami itu. Tidak melulu untuk mengantarkan anak, momentum itu sekaligus saya mamfaatkan untuk silaturrahmi kepada sanak famili yang ada di Jawa dan Madura, karena kebetulan saya sudah cukup lama tidak mengunjungi mereka., ibaratnya “sambil menyelam minum air”.

Karena memang ada rencana mengunjungi sanak famili, tentunya harus saya siapkan sekedar oleh-oleh buat mereka, dan Kopi Gayo menjadi pilihan oleh-oleh yang cukup berkesan, karena kopi Gayo memang sudah terkenal dimana-mana. Memang setiap kali saya berkunjung ke Jawa, kopi Gayo seolah sudah menjadi oleh-oleh “wajib”, karena familiku di Bangkalan, Magelang, Jogja, Wonosobu dan beberapa kota di Jawa Tengah sangat suka dengan aroma dan rasa kopi yang sangat khas itu.

Dua hari menjelang keberangkatan ke Surabaya, saya menemani isteri untuk mencari oleh-oleh buat sanak famili yang rencananya akan saya kunjungi selepas menyelesaikan urusan perkuliahan anak kami. Di pasar, kami bertemu dengan bu Hadijah, perempuan setengah baya yang sehari-hari berjualan sayuran di pasar itu, kebetulan kami sudah lama mengenal perempuan itu karena salah satu putra bu Hadijah adalah teman anak kami di pesantren. Seperti biasa kami bertegur sapa, tapi hari itu ada yang terlihat berbeda dengan perempuan itu, wajahnya murung, seperti ada sesuatu yang membebani fikirannya. Kami memang tau persis keadaan ekonomi keluarga bu Hadijah, suaminya yang bernama Sulaiman hanyalah seorang petani kecil yang juga merangkap sebagai nelayan pencari ikan di Danau Laut Tawar yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Sementara ibu Hadijah sendiri, membantu suaminya mencari nafkah dengan berjaualan sayur-sayuran kecil-kecilan di pasar. Melihat wajahnya yang tidak ceria seperti biasanya, akhirnya saya memberanikan diri bertanya,

“Kak, sepertinya ada yang sedang kakak fikirkan”, pancingku, saya biasa memanggilnya kakak, meskipun usianya masih dibawahku, tapi raut wajahnya terlihat lebih tua dariku, mungkin karena beban hidupnya yang cukup berat, dia tidak segera menjawab, sepertinya dia agak risih kalau harus bercerita di keramaian pasar itu, saya segera memakluminya. Saya menyuruh isteri saya mengajak bu Hadijah ke warung lontong yang tak jauh dari tempat itu, kulihat bu Hadijah mengangguk tanda menyetujuinya, saya segera memesan tiga piring lontong sayur dan tiga es cendol,

Bu Hadijah sudah terlihat agak santai, saya kembali bertanya padanya,

“Kak, kalau ada masalah coba ceritakan sama kami, barangkali saja kami bisa membantu” begitu kataku membuka pembicaraan,

“Begini bang, kak, selama ini aku jaualan sayur ini kan ngambil modal dari rentenir, jadi setiap hari keuntunganku berjualan hanya habis untuk menutup bunga dari uang yang kupinjam” Kak Ijah, begitu kami biasa memanggilnya memulai curhatnya, saya merasa trenyuh mendengarnya begitu juga isteriku.

“Memangnya berapa utang kakak sama rentenir itu” tanyaku ingin tau,

“Sejuta bang, tapi aku belum bisa mengembalikan pokoknya, jadi tiap hari aku harus membayar bunganya” jawabnya lirih, saya jadi semakin trenyuh. Kudekati isteriku, kubisikkan sesuatu padanya, dia mengangguk setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun