“Pak Lik kan sudah lima kali ikut Qurban disini. Apa Pak Lik masih ingin ikut lagi tahun depan?” kulihat tidak ada perubahan pada mimik wajahnya yang lugu itu, dia hanya tersenyum,
“Mas, selama Allah masih memberikan umur padaku, Insya Allah saya tidak akan berhenti, lagian saya kan sudah tua, sementara bekal ibadahku masih sangat kurang, lha kalo saya berhenti berqurban, berarti jatah pahalaku akan berkurang,” aku bergidik mendengar jawaban yang diluar dugaanku itu, tapi aku masih mencoba “memancing”nya.
“Lho, memangnya apa sekarang kebutuhan Pak Lik sudah berkurang?”
“Walah mas, kalo di ikuti kebutuhan ya nggak pernah ada cukupnya to, tapi aku sudah merasakan mas, selama ikut qurban ini, hidupku jadi sangat tenang dan aku nggak pernah merasakan kesusahan gara-gara menyisihkan gajiku untuk qurban,” jawaban tidak terduga lagi, aku semakin merinding mendengarnya.
Aku merasa mendapatkan pelajaran berharga dari sosok lelaki tua yang sederhana ini, jawaban-jawaban spontan atas pertanyaanku itu, semakin membuatku kagum terhadap sosok bersahaja ini. Dibalik keedrhanaan hidupnya, ternyata Pak Giman adalah sosok inspiratif yang begitu menyadari posisinya sebagai hamba yang harus selalu mensyukuri nikmat yang diberikan oleh-Nya. Di balik keterbatasan ekonomi keluarganya, dia masih mampu menyisihkan sebagian rejekinya untuk memenuhi perintah-ya. Kalo dia itu seorang kyai atau ulama, mungkin aku nggak perlu heran dengan falsafah hidupnya, tapi Pak Giman hanyalah sosok “awam” yang pengetahuan agamanya terbatas, tapi pemahamanan tentang agamanya begitu luar biasa, seorang sosok “langka” yang pantas menjadi “guru” bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H