Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inspirasi Berqurban dari Seorang Pensiunan

25 September 2015   10:40 Diperbarui: 25 September 2015   11:36 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mas, apa aku boleh ikut berqurban berasma warga di sini?” tanyanya waktu itu. Sekitar lima tahun yang lalu saat dia ku ajak menyaksikan pemotongan hewan qurban pada tahun 2009, aku agak terkejut mendengarnya, tapi aku langsung mengiyakannya.

“Kenapa tidak Pak Lik, semua boleh bergabung di sini,” aku mencoba mebesarkan hatinya, dia nampak bersemangat.

“Tapi aku nggak sanggup membayarnya sekaligus mas, apa boleh aku mencicilnya setiap bulan? Mas kan tau berapa gaji pensiunku,” aku benar-benar kagum atas niat  mulianya itu. Di balik keterbatasan finasial yang melekat padanya, ternyata dia menyimpan niat luhur untuk bisa berqurban,

“Tentu saja boleh Pak Lik,” sebenarnya aku nggak tega juga melihat dia seperti “memaksakan diri”. Tapi aku sangat menghargai spirit berqurban yang begitu tinggi darinya, jarang-jarang ada orang dengan kondisi ekonomi seperi dia punya tekat yang begitu besar untuk bisa berqurban.

Sebulan berlalu sejak perbincangan itu, kulihat pak Giman datang ke rumahku dengan sepeda ontelnya, seperti biasa aku dan isteriku menyambutnya dengan ramah. Aku sempat terkejut ketika dia menyodorkan uang 200 ribu rupiah padaku,

“Mas, tolong ini dipegangkan. Nanti kalo sudah cukup, aku kepingin ikut qurban bersama mas di sini,” aku sempat menitikkan air mata, saking terharunya. Kulihat sorot matanya yang tulus menyiratkan keinginan yang kuat untuk ikut berqurban.

“Baiklah Pak Lik, tapi kalo sewaktu-waktu Pak lik butuh uang ini, silahkan pak Lik ambil lagi,” kulihat Pak Gimen menggeleng,

“Tidak mas, ini memang sudah saya niatkan,” jawabnya yang membuat dadaku bergemuruh menahan rasa haruku.

Dan bulan-bulan selanjutnya, pak Giman secara rutin “menyetorkan” uang dua ratus ribu rupiah padaku, padahal aku tau persis, gaji pensiunnya sebagai pegawai negeri dengan pangkat terakhir II/a itu tidaklah seberapa dibanding kebutuhan sehari-harinya.

Setahun sudah, pak Giman “menabungkan” uangnya di tempatku, sampai akhirnya terwujud “mimpinya” ikut berqurban pada tahun 2010 yang lalu bersama kelompok di komplek tempat tinggalku. Ada raut kebahagiaan di wajahnya, ketika namanya disebut pada saat penyembelihan hewan qurban, ada titik air mata bahagia menetes dari matanya, aku jadi ikut terharu.

Awalnya aku mengira kalo itu qurban pertama dan terakhirnya, tapi dugaanku meleset, karena sebulan setelah qurban pertamanya, Pak Giman kembali mulai “meyetorkan” sebagian gaji pensiunnya untuk qurban pada tahun berikutnya, aku semakin kagum dengan semangat berqurbannya, sementara di sekitarku masih banyak orang-orang yang lebih mampu tapi masih enggan untuk berqurban. Dan tanpa terasa, tahun ini adalah tahun kelima Pak Giman berqurban untuk dirinya dan keluarganya, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda dia untuk “berhenti”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun