Entah angin apa yang membawaku bisa “ngumpul bareng” dengan para pejabat teras di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, hari minggu (06/09/2015) kemarin, tiba-tiba saja aku yang hanya “pegawai jelata” ini bisa berada ditengah-tengah para pejabat itu., Bukan pertemuan formal memang, tapi ada rasa segan juga ketika harus berkumpul di sati tempat dengan para pejabat yang jelas-jelas levelnya jauh diatasku itu.
Ceritanya, hari minggu kemarin, seperti biasa aku menikmati hari liburku setelah sepekan disibukkan dengan berbagai urusan pekerjaan di kantor, dan seperti biasa juga, aku lebih suka menikmati hari libur itu bersama keluarga di rumah, karena selain nggak punya agenda liburan khusus, aku merasa lebih nyaman ketika berkumpul bersama keluarga di rumah. Baru saja aku selesai menikmati santap siang bersama keluargaku, pak Jauhari, ST, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah menelponku, meminta kesediaanku untuk menemaninya ke lapangan, kebetulan obyek yang akan di”tinjau” oleh bos penanggulangan bencana itu adalah alat pengukur curah hujan yang ada di halaman kantor tempatku bekerja, dan kebetulan pula aku tercatat sebagai petugas pengamat dan curah hujan dan dan sudah lebih tujuh tahun jadi “member” dari BMKG.
Karena memang nggak punya agenda khusus, akupun mengiyakan ajakan pak Jauhari, dan hanya beberapa menit setelah itu, mobil dinas pak Jauhari sudah berada di depan rumahku, tanpa buang waktu, akupun segera menuju mobil doble cabin itu. Tapi begitu membuka pintu mobil, aku sempat terkejut, karena di dalam mobil itu ternyata sudah ada dua pejabat lainnya, pak Karimansyah, SE, MM yang tidak lain Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tengah dan pak Drs. Muhammad Syukri, MPd, Staf Ahli Bidang Ekonomi Pembangunan, agak “rikuh” juga harus semobil dengan para pejabta itu, tapi karena sudah “terlanjur basah”, akhirnya aku “nekat” juga bergabung dengan mereka.
Mobil yang kami tumpangi segera meluncur menuju kantor tempatku bekerja, pintu kantor memang terkunci semua, karena memang hari itu hari libur, lagian kami memang nggak butuh masuk ke dalam kantor. Sesuai keperluan pak Jauhari, aku segera menunjukkan alat penakar curah hujan yang sudah lama terpasang di halaman kantorku, ada dua alat pengukur curah hujan disitu, yaitu ARG (Utomatic Rain Gauge) yang merupakan alat pengukur curah hujan otomatis dan alat penakar curah hujan manual yang setiap hari kupakai untuk mengamati dan mencatat data curah hujan di daerah ini.
Sesuai dengan kapasitasku sebagai petugas, akupun menjelaskan cara kerja alat-alat itu kepada ketiga pejabat itu, kebetulan pak Jauhari sebagai Kepala BPBD sangat berkepentingan dengan keberadaan alat tersebut, karena kejadian bencana seperti banjir bandang dan tanah longsor yang sudah beberapa kali terjadi di Dataran Tinggi Gayo itu, terkait dengan tingginya curah hujan di daerah itu. Sekitar setengah jam aku memberikan penjelasan, aku piker pak Jauhari akan segera mengantarku kembali pulang kerumah. Tapi dugaanku meleset, karena pak Sekda dan pak Staf Ahli ternyata sudah punya “agenda” lain, dan sebagai orang yang menumpang di mobil itu, ya apa boleh buat, aku harus mengikuti kemana mobil itu dibawa.
Ternayata mobil yang disopiri pak Jauhari mulai bergerak menuju lapangan pacuan kuda yang berada di Belang Bebangka, Pegasing, tidak begitu jauh dari kantorku, dan disana ternyata dua pejabat lainnya yaitu pak Drs. Rijaluddin, MM atau yang akrab disapa pak Rijal, yang saat ini menjabat sebagai Asisten III dan Ir. Abadi, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan setempat. Karena hujan mulai mengguyur daerah dingin itu, kami segera masuk ke rumah kecil yang berada tidak jauh dari lapangan pacuan kuda yang ada di daerah Pegasing itu. Dan seperti sudah jadi “tradisi” di Gayo, setiap ada pertemuan atau kumpul-kumpul, pasti akan segera ada kopi panas yang menyertainya, begitu juga dengan yang terjadi sore itu, Lima pejabat dan seorang “pegawai jelata” duduk bersama di ruangan agak sempit menikmati harumnya aroma ekspresso kopi arabika gayo yang terkenal nikmat itu.
Berada di tengah-tengah para pejabat itu, aku merasa seperti “kambing congek”, ya meski itu bukan pertemuan formal, tapi aku tetap merasa segan juga harus terlibat obrolan dengan para pejabat itu, tapi sikap para pejabat yang seakan tidak pernah membedakan “kasta” itu, sedikit membuat kegugupanku berkurang. Bukan apa-apa, aku cuma merasa nggak enak saja kalo sampe kebersamaanku dengan para pejabat itu diasumsikan sebagai pendekatan untuk tujuan tertentu, padahal kehadiranku disitu, sebenarnya sama sekali diluar rencanaku, karena sebenarnya aku hanya “terbawa” kesitu, aku hanya tidak ingin ada orang yang men cap ku sebagai “penjilat”.
Hujan mulai reda, satu persatu pejabat itu keluar dari rumah sederhana itu, dan sebagai “pengekor” akupun mengiti kemana mereka. Kulayangkan pandanganku ke sekiiing tempat itu, ada deretan banguan semacam rumah bedeng, tapi begitu kudekati, ternyata itu bukan tempat tinggal orang. Bermacam bangunan dari yang permanen, semi permanen sampai bangunan yang sangat sederhana yang berderet disitu ternyata dhuni para kuda yang bisa dipacu di lapangan tak jauh dari tempat itu. Rupanya para pemilik kuda sengaja membuat “komplek perumahan” bagi kuda-kuda mereka disitu, karena selain dekat dengan lapangan untuk berlatih kuda-kuda itu, komplek perkandangan itu juga agak jauh dari pemukiman warga, sehingga tidak mengganngu warga dengan “aroma” kotoran kuda yang lumayan menyengat itu. Pemilik kuda-kuda itu juga bersal dari latar belakang yang beragam, mulai dari pejabat seperti pak Rijaluddin dan pak Abadi, ada juga anggota Dewan, pengusaha sampai peternak dari kalangan “biasa”. Begitu juga dengan jenis dan model bangunan bagi kuda-kuda itu juga beragam, bagi pemilik kuda dengan “kocek” tebal, mereka bisa membangun kandang permanen yang kalo diperhatikan jauh lebih baik dari bangunan rumah RSS, sebagian pemilik kuda ada yang membuat bangunan semi permanen dan sebagian lagi membuat kandang kuda mereka dengan bangunan sederhana dari kayu dan papan.
Alasan para pemili kuda membangun “komplek perkudaan” itu karena rata-rata kuda yang di“inap”kan disitu adalah kuda-kuda mahal dan berkelas yang sudah sering memenangkan perbagai kejuaraan pacu kuda. Kuda-kuda “blasteran” antara kuda local dengan kuda Austarile itu memang terlihat gagah dan terawat dengan baik, kulit dan bulu-bulunya terlihat bersih dan mengkilap karena memang di urus secara khusus oleh pemiliknya maupun “pengasuh” kuda yang digaji khusus untuk mengurus kuda-kuda mahal itu. Menurut pak Rijaluddin, salah seorang pemilik kuda, harga kuda-kuda “penghuni” komplek itu berkisar antara 35 sampai 50 juta per ekor, wow. Pantesan, pemilik-pemilik kuda itu rela mengeluarkan duit jutaan untuk membuatkan “rumah” dan mengurus kuda-kuda itu, karena ternyata kuda-kuda itu memang asset yang begitu mahal dan berharga.
Puas mengelilingi komplek pemeliharaan kuda, akupun kembali mengikuti rombongan pejabat itu, kali ini mereka berjalan kaki menuju arena pacuan kuda. Rupanya para pejabat yang selama ini mengurusi peerintahan dan pembangunan di dataran tinggi Gayo ini ingin “uji nyali” menunggangi kuda-kuda pilihan itu. Meski sudah terbiasa mengurusi segala macam tetek bengek pemerintahan dan memang rata-rata mereka sudah punya pengalaman berpuluh tahun di pemerintahan, tapi menjajal kuda-kuda besar setinggi lebih dari 2 meter itu merupakan “pengalaman baru” sekaligus tantangan bagi nyali mereka.