Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Permata Biru dari "Penunggu" Atu Belah

31 Januari 2015   18:05 Diperbarui: 13 September 2016   14:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu aku bersama dua temanku Hendra dan Anton mendapat tugas dari kantor untuk melakukan survey di wilayah tengah Aceh, kali ini tujuan survey kami adalah kawasan hutan di wilayah gayo Lues, kami segera menyiapkan segala keperluan survey, tidak lupa kami juga menyiapkan bekal makanan dan minuman, karena kemungkinan kami akan berada di kawasan hutan sampai beberapa hari.

 

Setelah semua persiapan beres dan sudah masuk ke bagasi belakang double cabin, Hendra segera menjalankan mobil ke tempat tujuan survey, kami sengaja memilih jalur alternatif untuk mempersingkat jarak tempuh. Perjalanan kali ini dimulai dengan menyusuri pinggiran Danau Laut Tawar ke arah Bintang, pemandangan pagi di sekitar danau itu terlihat indah, nampak beberapa perahu nelayan berada di tengah-tengah danau, dari kejauhan hijaunya pohon pinus di sekeliling danau juga menambah indahnya pemandangan pagi di Tanoh Gayo.

 

Sekitar 20 kilometer jalan di pinggiran danau itu telah kami lewati, kni kendaraan kami mulai memasuki jalanan lebar yang masih belum beraspal, jalan itu masih dalam pengerjaan, di kanan kiri jalan jalan masih bertumpuk material dan beberapa pekerja terlihat sedang memasang balok cor parit drainase. Sekitar 30 menit kami menyusuri jalan berbatu itu, kami sampai di simpang Serule, kami mengambil jalan kanan yang sudah beraspal mulus, kami merasa makin nyaman berada di atas kendaraan, sudah sering aku melewati jalan itu, sehingga aku sudah hafal nama-nama desa-desa kecil di sepanjang jalan itu.

 

Tiba di sebuah tikungan di kawasan hutan pinus, menjelang masuk ke desa Penarun, mendadak mobil yang kami tumpangi mogok, mesin mati tiba-tiba. Kami keluar dari mobil, Hendra dan Anton yang memang tau tentang mesin segera memeriksa kondisi mobil, Hendra membuka kap mobil dan Anton mengeluarkan tool kit dari dalam mobil, sementara aku yang nggak tau urusan mesin memilih menyingkir ke pinggir jalan. Tak jauh dari tempat mobil kami mogok, aku melihat sebuah batu besar yang terbelah ditengahnya, “mungkin ini yang sering diceritakan orang sebagai Batu Belah atau atau yang sering disebut teman-temanku sebagai Atu Belah” pikirku, aku berjalan mendekati batu itu, tidak lupa aku menenteng tas kecilku yang berisi botol air mineral dan beberapa bungkus roti, aku juga memasukkan sebungkus nasi kedalam tasku. Tiba di dekat batu itu, aku segera teringat tentang legenda Atu Belah yang pernah aku baca dari buku cerita dan juga pernah aku dengar dari cerita orang-orang tua di Gayo, tapi ingatan itu tak membuat aku lantas percaya dengan semua cerita itu, aku menganggap itu hanya legenda rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut tanpa penah bisa dibuktikan kebenarannya.

 

Foto Ilustrasi Atu Belah, di Desa Penarun

 

Baru saja aku akan duduk di dekat batu itu, aku seperti mendengar tangisan seorang anak kecil, aku celingukan kesana kemari mencari arah suara itu, tapi aku nggak melihat siapa siapa. Karena penasaran, akupun berusaha mencari asal suara itu, kulangkahkan kakiku memasuki hutan pinus sambil memasang telingaku. Suara tangis itu terasa semakin dekat, akupun berusaha mendekati arah suara itu. Ternyata benar, dibawah sebuah pohon pinus besar yang umurnya mungkin sudah ratusan tahun, kulihat seorang perempuan muda menggendong anak perempuan kecil yang kutaksir umurnya sekitar dua tahun. Perempuan itu terlihat pucat, di dada kanannya seperti ada bercak darah, aku mencoba mendekat, perempuan itu tidak beringsut dari tempatnya, begitu juga anak kecil digendongannya yang masih terus menangis, tangisnya begitu memilukan, “mungkin dia lapar” pikirku, aku mengeluarkan air munum dan beberapa bungkus roti dan menyerahkannya kepada perempuan itu,

 

“Mungkin anak ibu lapar, coba berikan ini”, perempuan itu menerima pemberianku tanpa berkata sepatah katapun lalu segera memberikan minum kepada anaknya, usai meneguk air itu kulihat anak kecil itu mulai agak tenang, perempuan itu membuka plastik bungkus roti kemudian memberikan roti itu kepada anak yang ada di gendongannya, dia menyuapkan roti itu ke mulut anaknya, aku semakin merasa treyuh melihat pemandangan itu, anak kecil itu begitu lahap memakan roti pemberianku, sepertinya dia memang sangat kelaparan. Hanya dalam sekejap, roti=roti itu hanya tinggal bungkusnya, tapi anak itu masih kelihatan lapar, aku tidak tega melihatnya, kuambil nasi bungkus dari tasku dan kembali kuserahkan kepada perempuan itu, dan seperti tadi perempuan itu menerima pemberianku tanpa berkata sepatahpun. Dia segera membuka bungkus nasi dan kembali menyuapi anaknya. Usai menghabiskan setengah bungkus nasi, anak kecil itu mulai terlihat menguap dan tidak lama kemudian tertidur di gendongan ibunya.

 

Aku yang dari tadi menyaksikan pemandangan meilukan itu seperti terpana dan tak mampu berkata-kata, aku mencoba menenangkan diriku, aku mulai berfikir siapa perempuan dan anak kecil itu, dari mana asal mereka dan kenapa ada di tempat itu, kuberanikan diri untuk bertanya,

 

“Maaf bu, dimana rumah ibu?”, perempuan itu tidak menjawab dia hanya menunjuk kesatu arah, aku memperhatikan arah telunjukkanya, aku agak terkejut arah yang ditunjuk perempuan itu adalah batu besar di pinggir jalan itu, tapi aku tidak begitu memikirkannya, mungkin di seberang batu sana ada sebuah perkampungan dimana perempuan itu tinggal.

 

Kuperhatikan kembali tubuh perempuan dengan seksama, wajahnya masih tetap pucat, bercak darah juga masih terlihat menempel di bagian dadanya, aku merasa iba melihatnya,

 

“Sepertinya ibu terluka, apa ibu mau ikut saya biar nanti di obati”, kembali perempuan itu menggeleng, aku tidak bisa memaksa, aku kembali memeriksa tasku, masih ada beberapa bungkus roti, aku kembali menyerahkan roti itu,

 

“Makanlah ini bu, sepertinya iu juga sangat lapar”, perempuan itu mengururkan tangannya mengambil roti itu dari tanganku, dia pun mulai makan roti itu pelan-pelan tidak selahap anaknya tadi, tanpa terasa mataku ulai basah melihat pemandangan memilukan di hdapanku, seorang perempuan dalam keadaan lapar dan terluka dengan seorang anak kecilnya yang lapar.

 

Kubiarkan perempuan itu menikmati makananya, aku sedikit beringsut dari tempat itu, kuampil handpone ku untuk mengabadikan pemandangan langka itu, perempuan itu tidak bereaksi apapun ketika aku mencoba mengembil gambarnya. Usai memetik beerapa gambar perempuan itu, aku kembali mendekati perempuan itu, dia sedang mengelap mulutnya dengan ujung selendang penggendong anaknya,

 

“Terima kasih bang” tiba-tiba perempuan itu berkata lirih, nyaris tidak terdengar, aku juma mengangguk sambil tersenyum, ternyata perempuan ini tidak bisu, gumanku dalam hati.

 

Perempuan itu menjulurkan tangannya ke arahku, sepertinya akan memberikan sesuatu,

 

“Ambil ini bang, mungkin nanti ada gunanya buat abang”, perempuan itu menyerahkan sebentuk batu cincin kepadaku, batu cincin itu berwarna biru dan seperti mengeluarkan cahaya, aku jadi teringat ketika menyaksikan pameran batu mulia di Jakarta, kalo tidak salah para pecinta batu mulia menyeut batu seperti itu Blue Safir, konon harganya sangat mahal. Sebenarnya aku tidak tega mengambil batu itu, tapi aku tidak ingin mengecewakan perempuan itu,

 

“Terima kasih bu”, hanya itu yang mampu ku ucapkan.

 

“Bang, boleh saya minta tolong” kudengar perempuan itu kembali berkata lirih, aku langsung mengangguk, perempuan itu melanjutkan permintaannya “kalo sewaktu-waktu abang melewati daerah ini, tolong abang tinggalkan sedikit makanan dan air di dekat batu itu” perempuan itu kembali menunjuk batu besar itu “aku nggak tega melihat anakku kelaparan” lanjut perempauan itu. Tiba-tiba angin bertiup sangat keras, pohon-pohon pinus bergoyang-goyang, beberapa cabang kayu mulai patah dan berjatuhan, aku coba menghindar. Tapi angin besar itu hanya datang sebentar, suasana kembali hening, aku kembali ke tempat perempuan tadi, tapi perempuan itu sudah tidak ada disana, aku mencoba mencari kesana kemari tapi sia-sia saja, perempuan dan anaknya itu seperti lenyap di telan bumi, akhirnya aku meutuskan kebali ke mobil.

 

Kulihat Hendra dan Anton terlihat kesal, rupanya mobil itu belum bisa hidup.

 

“Darimana saja bro, aku sama anton sudah putus asa nih” kata Hendra menyambut kedatanganku.

 

“Tadi perutku sakit, jadi aku cari sungai ke bawah sana” aku berbohong “memangnya mobilnya belum mau hidup ya?”

 

“Semua sudah ku periksa, tidak ada yang rusak, tapi anehnya mobil nggak mau hidup juga, jangan-jangan ini ulah penunggu tempat ini” Anton menimpali, kata-kata Anton yang terakhir tadi mengingatkan aku pada prempuan dan anak kecilnya itu.

 

Aku mendekati steur lalu mengambil kunci kontak yang masih tergantung ditempatnya, aku merogoh kantong celanaku, kuambil batu pemeberian perempaun tadi. Antara percaya dan tidak, kugosokkan batu itu pada kunci kontak, dan keajaiban pun terjadi, begitu kunci kontak itu kepasang kembali lalu ku start, mobil kami langsung hidup, Hendra dan Anton terkejut, melihat itu semua, tapi aku tetap merahasiakan apa yang baru saja aku lakukan, kalopun keceritakan yang sebenarnya pasti mereka nggak bakalan percaya.

 

“Ayo naik, mobilnya sudah hidup” kataku pada kedua temanku, aku sudah akan menjalankan mobil ketika aku teringat sesuatu, aku teringat permintaan perempuan tadi sebelum dia “lenyap”, kubuka pintu mobil lalu kuambil semua bekal makanan yang ada di mobil, aku melangkah ke arah batu besar itu, meletakkan makanan dan minuman disana lalu kembali ke mobil, kulihat Hendra dan Anton seperti bengong melihat apa yang kulakukan,

 

“Apa-apaan yang kamu lakukan itu bro, itu kan bekal makanan dn minuman kita, terus nanti kita makan apa” Anton agak protes

 

“Sudahlah, nanti di perbatasan ada warung makan, kita bisa makan disana, sudah nggak jauh dari sini” jawabku

 

“Terus apa tujuan kamu meletakkan makanan itu disana” Hendra rupanya penasaran juga, tapi aku nggak mungkin menjelaskan yang sebenarnya,

 

“Gini lo Hen, kita disini nggak Cuma bertiga, ada orang lain yang juga butuh makan dan minum seperti kita” aku coba mengalihkan penjelasanku.

 

“Tapi dari tadi aku nggak melihat siapa-siapa” protes Hendra,

 

“Sudahlah , nggak usah dibahas lagi, kita harus segera berangkat, ntar kesorean” aku memotong kepenasaran mereka, dan kamipun segera melanjutkan perjalanan.

 

Nggak sampe satu jam dari tempat tadi, kamipun sampai di Ise-ise, sebuah desa kecil yang merupakan merupakan perbatasan dua kabupaten di Gayo, disitu ada sebuah warung makan yang lumayan besar, kami berhenti untuk mengisi perut yang memang sudah terasa keroncongan. Kebetulan menu siang itu cukup istimewa, ada gulai asam pedas ikan Pedih atau Gegaring, sejenis ikan yang hidup di sungai-sungai, kalo di daerah lain, orang menyebutnya ikan Hampala, ada juga dendeng rusa, tidak ketinggalan sayur daun ubi dan sambal tersainya, kamipun segera makan dengan lahap, rata-rata kami sampe nambah dua kali, saking enaknya masakan itu, apalagi kami memang sedang sangat lapar.

 

Selesai menghabiskan hampir semua hidangan di meja, seperti biasa kami memesan kopi Gayo sebagai “pelengkap” makan siang kami, dibawah sepoi angin yang menembus rumah makan terbuka itu, secangkir kopi gayo tersa nikmat sekali. Sambil menikmati kopi, aku membuka hp ku, aku ingin melihat gambar perempuan “misterius” yang sempat kufoto tadi, tapi aku kembali terkejut, tidak ada gambar perempuan dan anaknya di foto itu, hanya ada gambar pohon pinus tua dan serakan bungkus nasi dan roti, aku kembali memeriksa kembali foto-foto itu, tapi hasilnya sama saja, foto perempuan itu tidak terekam di hp ku. Sebenarnya kau sangat heran dengan kejadian itu, tapi aku berusaha menyembunyikan keherananku didepan kedua temanku yang sedang asyik dengan permainan asap rokok mereka. Aku meraba saku celanaku, batu pemeberian perempuan itu masaih ada, aku meminta plastic kecil kepada pemilik warung untuk membungkus batu “aneh” itu, dan sebelum Hendra dan Anton melihatnya, aku sudah “mengamankan” batu itu di dompetku. Aku seenarnya nggak percaya kepada cerita atau legenda yang berdear tentang Atu Belah, tapi kejadian yang tadi ku alami, seperti “memaksa” nalarku untuk mempercayai bahwa perempuan itu “penunggu” Atu Belah, meski tidak ada sedikitpun ketakutan dalam diriku, tapi “permintaan” perempuan misterius itu akan selalu aku ingat.

 

Secangkir kopi Gayo telah kembali “menyegarkan” kepalaku, aku segera mengajak kedua temanku untuk melanjutkan perjalanan, kuserahkan kunci kontak pada Hendra, aku kepingin tidur di mobil, aku ingin melupakan Atu Belah dan perempuan itu, meski kusadari, akan begitu sulit aku melupakan kejadian itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun