Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Permata Biru dari "Penunggu" Atu Belah

31 Januari 2015   18:05 Diperbarui: 13 September 2016   14:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Makanlah ini bu, sepertinya iu juga sangat lapar”, perempuan itu mengururkan tangannya mengambil roti itu dari tanganku, dia pun mulai makan roti itu pelan-pelan tidak selahap anaknya tadi, tanpa terasa mataku ulai basah melihat pemandangan memilukan di hdapanku, seorang perempuan dalam keadaan lapar dan terluka dengan seorang anak kecilnya yang lapar.

 

Kubiarkan perempuan itu menikmati makananya, aku sedikit beringsut dari tempat itu, kuampil handpone ku untuk mengabadikan pemandangan langka itu, perempuan itu tidak bereaksi apapun ketika aku mencoba mengembil gambarnya. Usai memetik beerapa gambar perempuan itu, aku kembali mendekati perempuan itu, dia sedang mengelap mulutnya dengan ujung selendang penggendong anaknya,

 

“Terima kasih bang” tiba-tiba perempuan itu berkata lirih, nyaris tidak terdengar, aku juma mengangguk sambil tersenyum, ternyata perempuan ini tidak bisu, gumanku dalam hati.

 

Perempuan itu menjulurkan tangannya ke arahku, sepertinya akan memberikan sesuatu,

 

“Ambil ini bang, mungkin nanti ada gunanya buat abang”, perempuan itu menyerahkan sebentuk batu cincin kepadaku, batu cincin itu berwarna biru dan seperti mengeluarkan cahaya, aku jadi teringat ketika menyaksikan pameran batu mulia di Jakarta, kalo tidak salah para pecinta batu mulia menyeut batu seperti itu Blue Safir, konon harganya sangat mahal. Sebenarnya aku tidak tega mengambil batu itu, tapi aku tidak ingin mengecewakan perempuan itu,

 

“Terima kasih bu”, hanya itu yang mampu ku ucapkan.

 

“Bang, boleh saya minta tolong” kudengar perempuan itu kembali berkata lirih, aku langsung mengangguk, perempuan itu melanjutkan permintaannya “kalo sewaktu-waktu abang melewati daerah ini, tolong abang tinggalkan sedikit makanan dan air di dekat batu itu” perempuan itu kembali menunjuk batu besar itu “aku nggak tega melihat anakku kelaparan” lanjut perempauan itu. Tiba-tiba angin bertiup sangat keras, pohon-pohon pinus bergoyang-goyang, beberapa cabang kayu mulai patah dan berjatuhan, aku coba menghindar. Tapi angin besar itu hanya datang sebentar, suasana kembali hening, aku kembali ke tempat perempuan tadi, tapi perempuan itu sudah tidak ada disana, aku mencoba mencari kesana kemari tapi sia-sia saja, perempuan dan anaknya itu seperti lenyap di telan bumi, akhirnya aku meutuskan kebali ke mobil.

 

Kulihat Hendra dan Anton terlihat kesal, rupanya mobil itu belum bisa hidup.

 

“Darimana saja bro, aku sama anton sudah putus asa nih” kata Hendra menyambut kedatanganku.

 

“Tadi perutku sakit, jadi aku cari sungai ke bawah sana” aku berbohong “memangnya mobilnya belum mau hidup ya?”

 

“Semua sudah ku periksa, tidak ada yang rusak, tapi anehnya mobil nggak mau hidup juga, jangan-jangan ini ulah penunggu tempat ini” Anton menimpali, kata-kata Anton yang terakhir tadi mengingatkan aku pada prempuan dan anak kecilnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun