Mohon tunggu...
Masduri
Masduri Mohon Tunggu... Penulis -

Masduri, lahir di pedalaman Sumenep Madura. Seorang anak desa yang sedang belajar menulis untuk menciptakan mimpi-mimpi di masa depan. Bertempat tinggal di www.masduri.wordpress.com\r\ndan beralamat di masduri_as@yahoo.co.id.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Keadaban Mahasiswa: Tanggapan atas Tulisan Sahabat Musolli 4 April 2013

12 April 2013   13:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:19 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Melihat postingan sahabat saya di kampus, Musolli, Mahasiswa Penulis Opini Media yang “Sok Pinter” dan Mahasiswa Aktifis Pendemo yang “Sok Idealis”, di Kompasiana dan salah satu group facebook, membuat saya penasaran ingin membacanya. Mungkin ikatan emosi saya dengan dunia kepenulisan yang membuat saya begitu penasaran. Sehingga saya pun tergerak memberikan tanggapan atas tulisan tersebut.

Sebagai anak muda yang sama-sama mengenyam pendidikan tinggi. Masing-masing kita pasti memiliki pandangan dan pengalaman yang mungkin sama-mungkin juga beda. Tetapi selama saya melihat aktivitas kedua tipe mahasiswa yang mendapat tanggapan sahabat Musolli, ada beberapa hal yang perlu saya klarifikasi kembali.

Pertama, paparan sahabat Musolli tentang hujatan “sok-sok-an” antara mahasiswa penulis opini dan aktivis demonstrasi saya nilai terlalu mendramatisir. Kenyataanya tidak separah seperti yang diungkapkan sahabat Musolli. Sahabat-sahabat yang suka menulis sebenarnya biasa saja. Meski kadang-kadang teman-teman guyon, tentang idealisme dan aksi anarkisme dalam demonstrasi, sebenarnya biasa saja. Bahkan selama saya menjadi mahasiswa, belum pernah melihat perseturuan ataupun debat sengit antara mahasiswa penulis dan aktivis demonstrasi.

Kalimat kutipan langsung yang dibuat sahabat Musolli “alah, mahasiswa kok gitu sih, apa gak capek, apagunanya sih demo-demo gitu, gak ada kan. Mending dengan cara yang baik-baik, gak usah pakek cara kekerasan gitu kan bisa” dan “alah, bisanya nulis, ya kalau dibaca, wonk belum tentu yang dikritik baca opininya, apalagi Cuma masuk di Koran-koran lokal, hadewhhhhhh. Mending bergerak daripada diammengeram di tempat tidurnya saja, ini menyuarak suara rakyat”. Kalimat ini saya yakin bahasa buatan. Saya cukup banyak memiliki teman aktivis, bahkan saya juga menjadi bagian dari anggota organisasi ekstra kampus yang biasanya melakukan demonstrasi, meskipun saya memang kurang menyukai dunia demonstrasi, tapi saya tetap menjaga komunikasi yang baik dengan sahabat saya. Tidak ada saling hujat di antara kami. Karena kami memiliki dunia sendiri-sendiri.

Satu hal lagi, jangan mengira koran lokal sedikit pembacanya, sekarang kita hidup di era digital, siapaun bisa mengakses informasi atau opini koran dari webnya. Untuk memembus opini koran lokal pun, saya kira bukan hal mudah. Meskipun memang tidak semunya sulit, tetapi koran lokal yang sudah bagus, biasanya juga sulit menembusnya, jika tidak percaya dicoba saja.

Kedua, menurut sahabat Musolli sebagian mahasiswa yang suka menulis opini tidak suka mendiskusikan hasil bacaannya dengan orang lain, bahkan lebih ditegaskan lagi pengetahuan yang mereka miliki hanya untuk konsumsi pribadinya.Pandangan ini saya kira hanya sangkaan saja. Coba lebih dekat lagi dengan teman-teman mahasiswa yang suka menulis opini. Mereka tidak tertutup, selalu berbagi, dan siap mendapat tanggapan atau kritik jika pengetahuan yang dibangun olehnya keliru.

Hal lain yang mungkin belum terbaca oleh sahabat Musolli, seorang penulis opini di media massa, ketika tulisannya sudah dimuat berarti dia telah berbagi dengan banyak orang, serta mendialogkan pengertahuan yang dimilikinya, sehingga jika dalam tulisan tersebut ada pandangan yang keliru atau kurang disetujui oleh pembacanya, biasanya mendapat tanggapan dari penulis lain. Karena itu, seorang penulis bagi saya tidak tertutup, selalu berbagi, dan siap mendapat tanggapan atau kritik atas tulisannya.

Ketiga, sahabat Musolli menganggap lucu mahasiswa yang suka menulis opini dan yang suka demonstrasi. Ini kutipan bahasa sahabat Musolli “Aku menilai sangat lucu keadaan dua jenis mahasiswa tersebut, karena sama-sama tidak tahu apa maksud yang di perjuangkannya, tidak tahu konsep pekerjaannya dan kadang harus saling menghujat walaupun hanya dibelakang tembok setebal baja 5 M”.

Mahasiswa penulis atau aktivis demontrasi tidak main-main dalam melakukan pekerjaannya. Mereka paham maskud yang hendak diperjuangankannya. Serta tahu konsep yang baik seperti apa. Seorang penulis sebelum menorehkan gagasannya dalam bentuk tulisan mereka pasti mendalami persoalan yang hendak ditulisnya. Begitupun dengan mahasiswa aktivis demosntrasi, mereka pasti dikusi dulu sebelum melakukan aksi demonstrasi sehingga arah perjuangan mereka jelas dan benar. Dengan demikian, klaim “sok pinter” terhadap mahasiswa penulis opini dan "sok idealis” kepada mahasiswa aktivis demonstrasi hanya apologi yang tidak berdasar. Bagi saya, (mohon maaf bukan maskud saling menjjelekkan) justru yang sangat lucu dan“sok-sok-an” adalah mahasiswa yang tidak melakukan apa-apa. Sudah tidak menulis, ada aksi demonstrasi juga apatis.

Dalam tulisan tersebut sahabat Musolli hanya bisa mengeritik kedua tipe mahasiswa (meskipun hanya kritik tanpa dasar), namun tidak memberikan jawaban, seperti apa mahasiswa yang ideal menurut sahabat Musolli. Tetapi bagi saya, seperti apapaun tipe mahasiswa yang melekat pada masing-masing kita, lebih baik kita saling menghargai dan tidak usah saling menjelek-jelekkan. Karena kita memiliki dunia sendiri-sendiri.

Keempat,sahabat Musolli juga menanggapi honor penulis media massa. Bagi saya, honor adalah hak seorang penulis. Apalagi memang disediakan oleh media yang bersangkutan. Karena itu, wajar bila mahasiswa yang suka menulis kadang-kadang bicara soal honor. Belum lagi honor bisa menjadi penyemangat seseorang menulis opini. Justru honor sangat baik sekali agar produktifitas seorang penulis terus meningkat. Persoalan keikhlasan dalam menulis, itu bagi saya urusan pribadi masing-masing. Jangan dikira orang yang selalu bicara honor, mereka tidak ikhlas dalam menulis. Ikhlas itu urusan hati. Hanya diri kita dan Tuhan yang tahu. Dengan demikian, penulis yang selalu berharap honor bagi saya bukan sesuatu yang salah, karena honor adalah hak seorang penulis dan sudah disediakan oleh media. Masak hendak ditolak. Sedangkan uang merupakan kebutuhan sehari-hari manusia. Saya menganggap honor sebagai berkah dari Tuhan atas usaha yang dilakukan oleh seorang penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun