Muhammadiyah; Temuan Ijtihad Politiknya
Muhammadiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Zuly Qodir telah memasuki abad kedua. Tantangan abad ini tentu tak kalah rumit jika dibandingkan pada abad pertama, persoalannya Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis social kemasyarakatan di Indonesia. Tetapi kini berhadapan dengan persoalan nasional maupun internasional.
Persoalan ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Muhammadiyah untuk semakin berkiprah bagi ummat secara global. Muhammadiyah yang sejak awal tidak didesain untuk menjadi partai politik dan karenanya sering gamang  dalam berhadapan dengan dunia perpolitikan---terutama gerakan massif politik praktis yang penuh pragmatism---perlu mendapatkan perhatian serius.
Muhammadiyah tidak boleh lagi "menjadi penonton dan pembantu" Negara dengan pelbagai amal usaha yang telah dikerjakan. Muhammadiyah harus menjadi bagian penting dari Negara, dan syukur jika Muhammadiyah dapat menjadi "imam" di negeri ini yang secara kultur berislam moderat dan membutuhkan organisasi social keagamaan seperti Muhammadiyah.
Dalam bahasa Bahtiar Effendy kegamangan dan ambiguitas itu telah menyebabkan pimpinan Muhammadiyah mengambil sikap defensif yang tak pernah bakal terealisasikan dalam kehidupan dunia nyata dan akhirnya Muhammadiyah mengambil sikap berjarak dengan kekuatan-kekuatan politik. Tetapi berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah ijtihad politik Amin Rais (dan Muhammadiyah) yang awalnya diharapkan bakal mencatatkan cerita keberhasilan Muhammadiyah di dunia politik, tidak juga meyakinkan Muhammadiyah bahwa politik perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah amal usaha Persyarikatan.
Muhammadiyah dikesankan oleh Hajriyanto Y. Thohari, warga Muhammadiyah cenderung negative dan pesimis, dan tidak fair atau bersikap ambivalen dalam memandang dunia politik. Intinya politik itu tidak begitu baik/positif bagi Muhammadiyah: politik akan mengalihkan perhatian warga Muhammadiyah dari dakwah atau kerja-kerja kemanusiaan besar yang digelutinya selama ini. Sehingga menurut Syafi'i Ma'arif, pertanyaannya apakah Muhammadiyah akan tetap menjadi pembantu Negara, atau mau bergerak lebih jauh untuk juga sebagai penentu perjalanan Negara Indonesia? Pilihan bergantung kepada pemikiran dan pertimbangan warga persyarikatan.Â
Penutup
Munculnya gerakan pembaharuan di dunia Islam secara umum merupakan pengaruh dari perubahan sosial orang Barat. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu pada saat yang sama kejayaan umat Islam yang telah berabad-abad menguasai dunia semakin stagnan dan bahkan mundur. Dalam keadaan semacam ini, muncullah para tokoh pembaharu Islam yang berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam.
Muhammadiyah sebagai suatu organisasi Islam hadir dan berdiri untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadits tanpa terkontaminasi dengan budaya yang tidak ada dasarnya dalam  Al-Qur'an dan Al-Hadits. Untuk mengembangkan ide--ide pembaharuannya, Muhammadiyah melaksanakan berbagai gerakan sosial dengan mendirikan berbagai amal usaha, seperti lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain. lembaga-lembaga ini yang kemudian membuat nama Muhammadiyah semakin besar dan memiliki bergainning possition di negeri ini.Â
Paham keagamaan Muhammadiyah yang pada garis besarnya meliputi persoalan akidah, akhlak, ibadah dan muamalah itu, secara umum masih relevan dan kondusif terhadap perubahan tuntunan zaman. Â
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu