Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin Itu Melayani

31 Agustus 2022   21:11 Diperbarui: 31 Agustus 2022   21:21 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemimpin Itu Melayani

Oleh:

Masduki Duryat*)

James McGregor Burn menulis dengan elegan; krisis kepemimpinan saat ini ditandai dengan mengemukanya perilaku biasa-biasa saja atau tidak bertanggungjawab dari begitu banyak orang berkuasa, namun kepemimpinannya jarang hadir memenuhinya.

Itu yang kemudian menurut Yasraf Amir Pilialang, dinarasikannya kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau konsep tanpa realitas. Sehingga Alfan Alfian mengamini pandangan ini, jika terjadi maka otoritas kekuasaan memang ada yang dipegang pemangku kekuasaan di dalam aneka paratur negara. Tetapi ia tidak mampu menunjukkan kuasanya. 

Kekuasaan lantas menjadi "kekuasaan minimalis", yakni ketika sistem kekuasaan hanya mampu menunjukkan efek yang sangat kecil, dengan efek perubahan yang sangat minim.

Sehingga, menjadi pemimpin tidak boleh biasa-biasa saja, tetapi harus memiliki efek besar bagi kesejahteraan rakyatnya, sekaligus menginspirasi dan mampu memberikan pengaruh kepada bawahannya. Menjadi pemimpin tidak boleh berada di bawah bayang-bayang sosok lain yang lebih berpengaruh dari dirinya.

 

Pemimpin Perlu Jabatan?

Pertanyaan ini boleh jadi dijawab dengan iya dan tidak. Seperti jawaban Sanborn dalam buku Wawasan Kepemimpinan Politiknya M. Alfan Alfian.

Ia berpandangan, dalam diri semua orang bisa menjadi pemimpin. Seorang pemimpin itu bisa memimpin dengan atau tanpa jabatan. "Kita semua tahu tentang para pemimpin yang memiliki jabatan besar," pada pandangan Sanborn, "tetapi sebenarnya mereka bukan pemimpin". 

Artinya, ada seseorang jabatan formalnya tinggi, tetapi ia bukan pemimpin. Ia berada dalam bayang-bayang sosok lain yang lebih berpengaruh dari dirinya, yang mendiktekan kebijakan-kebijakan strategis kepadanya.

Kepemimpinan itu pengaruh, kata Sanborn lebih lanjut. Untuk mengembangkan pengaruh, pemimpin tidak harus memiliki jabatan---formal. Pesan McGannon, leadership is action not position. Pesannya sangat ideal, bukannya posisi tidak penting, tetapi kepemimpinan lebih banyak berurusan dengan tindakan.

Dalam konteks demikian, seringkali kita menemukan pemimpin yang hanya mampu menarasikan janji-janji manis kepada masyarakat tanpa bukti, kepemimpinan yang tidak efektif.

 

Krisis Kepemimpinan

Klaim kejelasan, kebenaran, kejujuran dan ketepatan sebagai instrumen komunikasi bukan manipulasi ada pada kepemimpinan yang efektif. Kepemimpinan yang melayani.

Pemimpin itu hakikatnya melayani, bukan dilayani. Pelayan dari mereka yang memilih atau yang tidak memilihnya.

Ia pelayan bagi masyarakatnya, tanpa pandang bulu. Konsep melayani---to servant---tidak lebih mulia ketimbang dilayani.

Karenanya, menjadi pemimpin itu tidak boleh sombong, arogan. Kata Nabi dalam sebuah perjalanan, 'pemimpin sekelompok orang adalah pelayan mereka'.

Kritik Burn menarik untuk direnungkan,  kalau kita sepakat adanya krisis kepemimpinan. Hal itu terjadi karena tidak adanya pemimpin yang menonjol---mediocrity---biasa-biasa saja.  Tidak menunjukkan kapasitas intelektual yang memadai, sehingga kita sering menemukan banyak pemimpin tanpa kepemimpinan, kekuasaan tanpa kuasa.

Yasraf Amir Pilialang kemudian memperjelas, kekuasaan tanpa kuasa merupakan sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau bahkan konsep tanpa realitas.

Jangan mengandalkan kesombongan untuk menutupi kelemahan, ingin dilayani, antikritik, bermental feodal untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara. Kalau ini yang dilakukan tidak hanya Petruk saja dalam kisah inovasi pewayangan, bisa jadi Raja. Tapi meminjam bahasa Nurcholish Madjid, karena kita telah mengalami demokrasi ... setan gundul pun, kalau jadi Presiden/gubernur/bupati/camat/kuwu pilihan rakyat, apa mau dikata.

Demokrasi telah memberi ruang---demokrasi elektoral---itu, bisa dijelaskan dari konteks benere wong akeh, kebenaran (politik) orang banyak, termasuk munculnya setan gundul---orang yang bertabiat buruk---jadi pemimpin.

 

*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun