Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sembilan Kartini dan Kita

21 April 2016   10:42 Diperbarui: 21 April 2016   10:48 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kepada 9 Kartini dan untuk semua yang peduli, 

Ada tangis akhir episode republik ini. Setelah Bertahun berjuang dalam sunyi dan dalam kegalauan Ibu Ibu rembang, akhirnya Edisi membelenggu kaki dengan cor semen di monas~tugu kemerdekaan yang justru menghadirkan belenggu. Pertanda, Kita belum merdeka. Rezim rezim yang Tak pernah membaik.

Sajak Sajak INI adalah mantra mantra yang dikirim lewat kawat elektrik. Semoga sampai pada waktunya, pada empunya.

Door Duisternis tot Licht

Puisi untuk Perempuan yang Tak pernah padam

Zaman getir dan kejatuhan
Zaman pahit dan pemberangusan
Zaman benteng dam belenggu
Zaman kegelapan dan kekalahan

Door Duisternis tot Licht

Siapa yang dikalahkan
Oleh siapa
Siapa yang dibungkam oleh siapa
Siapa yang dibelenggu oleh siapa
Siapa yang terbelakang, Dan oleh siapa

Door Duisternis tot Licht

Siapa yang melawan, siapa yang dilawan
Siapa yang bersekutu, dengan siapa bersekutu
Siapa penuh ketakutan, takut pada APA atau siapa?

Door Duisternis tot Licht
Habis gelap terbitlah terang

Benarkah kegelapan telah sirna?
Benarkah terang telah direngkuhnya?
Benarkau belenggu telah dibuka dan rantai penindasan sirna?

Door Duisternis tot Licht
Jadilah kenyataan!

Surat ini kusempatkan kutulis sebagai panggilan rasa kemanusiaan dan keadilan juga rasa prihatin pada negara yang terus menerus abai pada anak bangsa dan penghuni sah republik ini. Saya juga merasa negara ini telah menghinakan akal sehat dan kewarasan kita semua. Polisi dan tentara sering mempertontonkan kejahatan kepada orang orang biasa dan melindungu kepentinan kapitalis serakah. 

Kami dari sudut kampung di Bantul merasakan kepahitan hidup saudara di rembang dan pati juga blora, sedulue sikep. Kami di Rumahnya manusia meninton film dan mendiskusikan serta sebagian kami ikut aliansi mahasiswa untuk rembang. Kami ingin bangkit rasanya meninju penguasa tetapi kepalan kami di sini masih seperti meninju langit. Kekuatan ibu ibu 9 kartini memprovokasi kesadaran kami semua untuk terus menyuarakan yang bisu, melawan secara simbolik, dan terus mengurus mengutuk dan menghinakan penguasa yang dzalim denan doa doa kutukan lewat sastra dan tulisan. Setiap bangun tidur, kita meludah dengan keras sambil mengutuk ketidakwarasan pejabat negara. Kami akan berada dalam semangat ibu-ibu 9 Kartini. 

Kepada negara, kamu juga ingin bersuara. Bagi kami, apa pun yang dilakukan negara dengan menyakiti rakyat sendiri adalah sebuah kejahatan mahabesar terhadap kemanusiaan. 40 tahun ke depan bangsa ini akan terpuruk sehingga muncul generasi baru tanpa dosa sejarah. Apa yang negara lakukan hari ini hanya mempercepat kehancuran. Lebih baik negara pensiun saja mulai malam ini jika tak bisa memperbaiki keadaan. Yg bisa Kita bisa lakukan adalah untuk menahan diri dari kejahatan tangan negara sampai pada pengelola negara yang baru di 40 tahun yang akan datang. Dan penguasa hari ini tak mungkin bisa memperbaiki keadaan maka jangan mempercepat kerusakan. 9 kartini adalah manusia luar biasa kiriman masa depan untuk berpesab bahwa negara ini kekayaan alam ini bukan milik penguasa tetapi milik manusia yang akan datang. Hentikan pak Jokowi segala kebohongab atas nama pembangunan, ini hanya tipuan yang maha kejam

Salam perlawanan dari kami

Bantul, 21 April 2016

Pegiat literasi di Kalibedog

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun