[caption caption="poster "Gerakan Membunuh Jogja" (dwiyogaarya/rags, atas izin pencipta)"][/caption]Sama sekali saya tak bermaksud mengajar perang siapa pun. Justru tulisan ini didambakan untuk membangun rasa empati dan emansipati antar warga Jogjakarta. Siapa pun yang bernafas di bumi DI Yogyakarta adalah mutlak sebagai warga Yogyakarta dalam hal ini. Pandangan ini justru saya belajar dari banyak upaya pimpinan Daerah Istimewa ini seperti perlunya YOgyakarta sebagai kota pusat kebudayaan, kota toleransi, kota ramah anak, kota ramah pendatang, kota rama wisatawan, dan segala hal lain-lainnya yang positif yang disimbolkan sebagai suasana "Jogja Istimewa", jogja yang berhati nyaman. Kenyamanan, kedamaian, kebahagiaan warga adalah suatu keinginan bersama. Ini adalah wajah salah satu baik yang diimajinasikan maupun wajah yang diperjuangkan.
Jikalau ada istilah "jogja berhenti nyaman", "JOgja istimewa hotelnya", Jogja ilang dalane, kebak hotell-le, barangkali adalah wajah lain dari DIY ini. Wajah yang didramatisir, wajah yang mungkin kenyataan, atau wajah buruk yang sebaiknya dihindarkan sebagai ekspresi bahwa tak ada kerelaan sedikitpun. Sebagai daerah diistimewakan, perlu diingat daerah ini memikul tanggung jawab sebesar gunung merapi yaitu menjaga kesetimbangan jagat kecil dan jagat besar, dalam dan luar keraton, penguasa dan kawulo-nya yang termaktub dalam gagasan hamemangku hayuning bawono.
Wajah apalagi yang kita perlu tahu. Dalam kesempatan ini, wajah ganda yang terlihat buruk rupa adalah kekerasan dan intoleransi sipil yang luar biasa represif. Hal ini terlihat dari banyaknya kekerasan berbau agama, sara, orientasi seksual, dan kadang tindakan sepela saja bisa menimbulkan kekerasan maha mengerikan sehingga jogja bisa saja menjadi malam yang sangat gawat.Â
Masih ingat kenal Florence Sihombing? Mahasiswi S-2 Universitas Gadjah Mada (UGM) itu berhasil menyedot perhatian nasional akibat serapahnya di media sosial, yang berbuntut penahanan dirinya oleh kepolisian Jogjakarta. Mula peristiwanya ketika ia menyerobot antrean di pom bensin, yang kemudian diteriaki oleh massa antrean yang sebagian besar terdiri dari borjuis kecil. Ia pun pergi, malu. Sumpah serapah berlanjut di media sosial seperti terjadio huru hara.Â
di satu sisi, adalah benar bahwa Jogja adalah kota ‘adiluhung’ yang halus berbudi pekerti baik. Kota yang mengaku kemanusiaannya didasari oleh tatakrama dan unggah-ungguh. Lihatlah kehalusan mereka bercakap, ketakziman mereka menghargai orang yang lebih tua, kesantunan mereka bertingkahlaku.
Namun sebagaimana catatan Made Supriatma, "tidak terlalu sulit untuk mengingat bahwa kota ini juga ladang kekerasan. Geng-geng anak-anak muda beranak-pinak dan langgeng hingga beberapa generasi. Premanisme juga marak. Tahun 1982, Suharto (orang Jogja!) melakukan sesuatu yang drastis. Secara diam-diam dia melakukan operasi militer menembaki preman-preman ini dan meletakkan mayatnya di tempat-tempat umum. ‘Untuk shock therapy,’ ujarnya ketika itu. Koran-koran sibuk memberitakan mayat-mayat bertato atau mayat dalam karung yang ditemukan di jalanan. Puluhan ribu orang yang dituduh preman didor." (. INDOPROGRESS, 01 September 2014).Â
wajah teduh untuk pasar modern
bagaimana dengan tatkalah Yogyakarta digempur kapitalisme? lebih sedikit yang turun gunung untuk menyatakan perlawanan. Dodok dan Elanto adalah sedikit sekali dibanding jumlah manusia yang mengklaim dirinya 'native jogja'? Iya kan? Semoga saya tidak benar saja. Sehingga banyak manusia, ribuan anggota kelompok ormas berbasis agama, berbasis online seperti ICJ perlu kiranya habis-habisan membela alam, lingkungan, tanah, air yang dibabat, divandal habis oleh pelaku fundamental pasar (kapitalisme).Â
Perumahan elit, hotel mewah (jual beli hotel), bank yang pro orang kaya, swalayan modern yang membunuh warga jogja pelan tapi pasti,dan ratusan masalah lainnya. Nampaknya, orang jogja lebih ganas melawan ethnis atau agama lain ketimbang sesuatu yang berdaya ledak mematikan sepanjang zaman. Badai kapitalisme ini yang akan mengirimkan jogja ke musium sejarah, setidaknya akan membunuh keitsimewaan sebagai wajah utama kota ini.Â
Faktanya, politisi lokal yang merancang proyek-proyek ini tahu persis bagaimana melayani wisatawan dan settlers ini. Mereka juga tahu persis bagaimana mendapatkan legitimasi untuk terus berkuasa, yakni dengan menaikkan sentimen-sentimen parochialism yang memang akan tumbuh subur di dalam situasi seperti yang dialami para natives Jogja. Cara bodoh politisi lokal yang hanya untuk kepentingan sendiri ini juga menjadikan wajah 'kalah' jogja semakin ketinggalan. Nyaris tak ada politisi lokal yang meneriakkan perang melawan pasar, melawan ekspansi kapitalisme seperti swalayan berjejaring.Â
wajah beda jogja
Sekilas kisah janusisme di atas memperlihatkan, bahwa radikalisme kaum muda YOgyakarta lebih tersulit karena sentimen etnis dan agama ketimbang subtansi bagaimana menjaga hasanah kebudayaan dari pertempuran pasar kapitalisme. Orang jogja pada umumnya diam, tak berpendapat, teduh menghadapi para perusak ekonomi dan lingkungan yang dikendalikan dari muara uang besar, tetapi keras pada sipil. teror sipil versus sipil ini menjadikan kapitalisme semakin berjingkrak. Bagaimana orang jogja merespon broadcast yang saya sebar beberapa bulan lalu sebagaimana saya kutip disini:
Fakta Perkembangan Hotel di Yogyakarta yang Mengejutkan
Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Data ini dipaparkan pada diskusi santai di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo.
1. Hotel JW Marriot yang sedang project pada tahun 2015 di daerah ring road utara akan memiliki kamar sekitar 750, ini setara dengan kurang lebih menggabungkan Hotel Melia Purosani (280 Kamar), Royal Ambarrukmo (247 Kamar) dan Hotel Tentrem (275). Kebayang kan gedenya?
2. Itu sama dengan menyumbang hampir separuh dari total hotel yang running di Jogja sekarang, yaitu 1.603 kamar. Ditambah dengan Sahid Jogja Life Style City dengan 319 kamar, untuk hotel bintang 5 pada tahun 2015 ini mengalami kenaikan terbesar yaitu 66.69% menjadi 2.672 Kamar hotel.
3. Di tahun 2009, jumlah hotel bintang 5 di Jogja hanya 4 saja yaitu Hyatt, Sheraton, Melia, dan The Phoenix dengan jumlah kamar hanya 939. Di tahun 2014 menjadi 7 hotel dengan jumlah kamar 1.603 yakni dari hotel Royal Ambarrukmo, Grand Aston, dan Tentrem.
4. Dari pada tahun 2015 ini ditambah yang sedang project, Jogja akan memiliki 9 Hotel berbintang 5 dengan total kamar 2.672. Berikut Presentasenya.
5. Pada tahun 2009 dan 2013 presentase pertumbuhan hotel bintang 5 adalah 0%, 2011 ada 41.32%, tahun 2012 7.54%, tahun 2013 12.33% dan yang terbesar di 2015, 66.69%.
6. Untuk bintang 4, di tahun 2009 hanya ada 10 hotel saja, di tahun 2015 yang running ada 22 hotel, ditambah dengan yang sedang project ada 8 hotel, jadi di tahun 2015 ini Jogja akan memiliki 30 hotel bintang 4.
7. Tahun 2009, Jogja hanya memiliki 1.385 kamar bintang 4, di tahun 2015 ini, ditambah jumlah kamar yang dedang project, jogja akan memiliki 4.448 kamar. Hitung sendiri pertumbuhan kamar dalam 5 tahun terakhir ini untuk bintang 4 deh.
8. Pertumbuhan tertinggi kamar hotel ada pada tahun 2015 ini yakni 45.69% dari 3.053 kamar di 2014 menjadi 4.448 kamar, bertambah 1.395 kamar.
9. Hotel bintang 4 dengan kamar terbanya adalah Insight Hotel (Melia Group) yang masih project di Maguwo, dengan 258 kamar, sedangkan yang paling sedikit adalah The Cangkringan, yakni 16 kamar saja.
10. Untuk bintang 3, pertumbuhannya sepertinya yang tertinggi, di tahun 2009, di Jogja hanya ada 11 hotel, di tahun 2015 ini ditambah yang project, jogja akan memiliki 40 hotel bintang 3, hitung sendiri deh pertumbuhannya di 5 tahun terakhir.
11. Tahun 2009 Jogja hanya memiliki 952 kamar bintang 3, di tahun 2015 ditambah yang project, Jogja akan memiliki 4.115 kamar hotel bintang 3. Berapa persen pertumbuhannya dalam 6 tahun ini? hitung sendiri.
12. Pertumbuhan terbesar ada di tahun 2012 yakni 46.70% dari 1.347 kamar di 2011 menjadi 1.976 di 2012. Di tahun 2015 ada di posisi kedua, yakni mengalami kenaikan 42.19% dari 3.188% kamar menjadi 4.115 kamar.
13. Budget hotel, bintang 1, dan bintang 2 Juga mengalami kenaikan, di tahun 2009 hanya ada 10 hotel, di tahun 2015 ditambah yang sedang project, Jogja akan memiliki 37 hotel.
14. Tahun 2009 Jogja hanya memiliki 371 kamar, di tahun 2015 ini, akan menjadi 1.712 kamar.
15. Pertumbuhan tertinggi pada tahun 2010 yakni 44.74%, dari 371 kamar menjadi 537. Tetapi jika dilihat dari bertambahnya unit hotel, tertinggi pada tahun 2014, dari 26 hotel di 2013, menjadi 34 hotrl di tahun 2014.
16. Jika dilihat secara general, dari hotel budget, bintang 1 sampai bintang 5, sekarang jumlah hotel di jogja (yang terdata PHRI) adalah 117 hotel.
17. Padahal di tahun 2009, jumlah total hotel di jogja hanya 35 hotel. Tertinggi pada tahun 2014, Jogja bertambah 17 Hotel dan di tahun 2012 jogja menambah 15 hotel dalam 1 tahun.
18. Jumlah kamar total dijogja tahun 2015, termasuk hotel yang sedang project ada di angka 12.947. Tetapi yang running baru 9.316 Kamar, berarti akan ada tambahan 3.631kamar di 2015 ini.
19. Dilihat dari jumlah kamarnya, hotel bintang 4 menempati peringkat pertama, dengan 4.448 kamar, selanjutnya bintang 3 dengan 4.115 kamar, bintang 5 2.672 kamar, dan hotel budget, bintang 1 dan 2 di angka 1.712 kamar. Persentase pertumbuhan kamar hotel di Jogja tertinggi pada tahun 2015, yakni 43.50%, terendah tahun 2010, hanya 12.61% saja.
PHRI mengakui tidak bisa mendata semua kamar yang bisa dijual di Jogja, seperti home stay, losmen, kostel, dan hotel hotel yang belum terdata. Perkiraan kasar jumlah kamar di Jogja, lebih dari 12.947. (http://bersabda.com/fakta-perkembangan-hotel-di-yogyakarta-yang-mengejutkan/)
Diam dan tak berpendapat adalah jawaban paling dianggap 'absah'. Ada pemakluman yang luar biasa tak masuk akal. Fakta di atas ini nampaknya sama sekali tak mengancam hidup siapa pun. Apalagi ini dikehendaki oleh pemerintah, oleh keluarga penguasa. Jadi semakin diam manusia jogja.Â
Pertanyaannya, bagaimana mempertahankan jogja berhati nyaman kalau sumber kesejahteraan dikeruk habis-habisan, nafas ekonomi dibantai selama 24 jam oleh toko modern berjejaring (nasional dan internasional), tanah air disedot oleh bisnis perhotelan? bagaimana kebahagiaan memperoleh indek tertinggi 10 tahun ke depan? Saya memang bukan orang Jogja by definition tetapi saya sungguh tak rela jogja dicabuli sedemikian brutal oleh kaum kapitalisme yang diback up secara kuat oleh premanisme. Bagaimana orang jogja berdiam diri menghadapi soal ini, melihat pembunuhan besar-=besar-anm terjadi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. 12 bulan setahun,...Kalau saya boleh berharap. Sikap keras dan sangat keras kepada penjajajahan ekonomi ala kapitalisme serakah, dan sikap lemah lembut pada sengketa kebudayaan etnisitas dan agama yang berbeda.Â
soal Logo (jogja) saja di negeri ini bisa menjadi darurat dan genting, tetapi hotel dan lingkungan ekologi yang rusak atau terancam rusak tak ada istilah darurat di Daerah sangat istimewa ini (Istimewa apanya? Silakan tebak sendiri). Ini barangkali wajah yang tak terduga. Bagi saya, ini adalah wajah beda Yogyakarta yang sampai hari ini sungguh saya tak mengerti. Sulthoni, sulthoni, lama sabakhtani!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H