Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Beda Jogja

19 Maret 2016   14:26 Diperbarui: 19 Maret 2016   14:52 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="poster "Gerakan Membunuh Jogja" (dwiyogaarya/rags, atas izin pencipta)"][/caption]Sama sekali saya tak bermaksud mengajar perang siapa pun. Justru tulisan ini didambakan untuk membangun rasa empati dan emansipati antar warga Jogjakarta. Siapa pun yang bernafas di bumi DI Yogyakarta adalah mutlak sebagai warga Yogyakarta dalam hal ini. Pandangan ini justru saya belajar dari banyak upaya pimpinan Daerah Istimewa ini seperti perlunya YOgyakarta sebagai kota pusat kebudayaan, kota toleransi, kota ramah anak, kota ramah pendatang, kota rama wisatawan, dan segala hal lain-lainnya yang positif yang disimbolkan sebagai suasana "Jogja Istimewa", jogja yang berhati nyaman. Kenyamanan, kedamaian, kebahagiaan warga adalah suatu keinginan bersama. Ini adalah wajah salah satu baik yang diimajinasikan maupun wajah yang diperjuangkan.

Jikalau ada istilah "jogja berhenti nyaman", "JOgja istimewa hotelnya", Jogja ilang dalane, kebak hotell-le, barangkali adalah wajah lain dari DIY ini. Wajah yang didramatisir, wajah yang mungkin kenyataan, atau wajah buruk yang sebaiknya dihindarkan sebagai ekspresi bahwa tak ada kerelaan sedikitpun. Sebagai daerah diistimewakan, perlu diingat daerah ini memikul tanggung jawab sebesar gunung merapi yaitu menjaga kesetimbangan jagat kecil dan jagat besar, dalam dan luar keraton, penguasa dan kawulo-nya yang termaktub dalam gagasan hamemangku hayuning bawono.

Wajah apalagi yang kita perlu tahu. Dalam kesempatan ini, wajah ganda yang terlihat buruk rupa adalah kekerasan dan intoleransi sipil yang luar biasa represif. Hal ini terlihat dari banyaknya kekerasan berbau agama, sara, orientasi seksual, dan kadang tindakan sepela saja bisa menimbulkan kekerasan maha mengerikan sehingga jogja bisa saja menjadi malam yang sangat gawat. 

Masih ingat kenal Florence Sihombing? Mahasiswi S-2 Universitas Gadjah Mada (UGM) itu berhasil menyedot perhatian nasional akibat serapahnya di media sosial, yang berbuntut penahanan dirinya oleh kepolisian Jogjakarta. Mula peristiwanya ketika ia menyerobot antrean di pom bensin, yang kemudian diteriaki oleh massa antrean yang sebagian besar terdiri dari borjuis kecil. Ia pun pergi, malu. Sumpah serapah berlanjut di media sosial seperti terjadio huru hara. 

di satu sisi, adalah benar bahwa Jogja adalah kota ‘adiluhung’ yang halus berbudi pekerti baik. Kota yang mengaku kemanusiaannya didasari oleh tatakrama dan unggah-ungguh. Lihatlah kehalusan mereka bercakap, ketakziman mereka menghargai orang yang lebih tua, kesantunan mereka bertingkahlaku.

Namun sebagaimana catatan Made Supriatma, "tidak terlalu sulit untuk mengingat bahwa kota ini juga ladang kekerasan. Geng-geng anak-anak muda beranak-pinak dan langgeng hingga beberapa generasi. Premanisme juga marak. Tahun 1982, Suharto (orang Jogja!) melakukan sesuatu yang drastis. Secara diam-diam dia melakukan operasi militer menembaki preman-preman ini dan meletakkan mayatnya di tempat-tempat umum. ‘Untuk shock therapy,’ ujarnya ketika itu. Koran-koran sibuk memberitakan mayat-mayat bertato atau mayat dalam karung yang ditemukan di jalanan. Puluhan ribu orang yang dituduh preman didor." (. INDOPROGRESS, 01 September 2014). 

wajah teduh untuk pasar modern

bagaimana dengan tatkalah Yogyakarta digempur kapitalisme? lebih sedikit yang turun gunung untuk menyatakan perlawanan. Dodok dan Elanto adalah sedikit sekali dibanding jumlah manusia yang mengklaim dirinya 'native jogja'? Iya kan? Semoga saya tidak benar saja. Sehingga banyak manusia, ribuan anggota kelompok ormas berbasis agama, berbasis online seperti ICJ perlu kiranya habis-habisan membela alam, lingkungan, tanah, air yang dibabat, divandal habis oleh pelaku fundamental pasar (kapitalisme). 

Perumahan elit, hotel mewah (jual beli hotel), bank yang pro orang kaya, swalayan modern yang membunuh warga jogja pelan tapi pasti,dan ratusan masalah lainnya. Nampaknya, orang jogja lebih ganas melawan ethnis atau agama lain ketimbang sesuatu yang berdaya ledak mematikan sepanjang zaman. Badai kapitalisme ini yang akan mengirimkan jogja ke musium sejarah, setidaknya akan membunuh keitsimewaan sebagai wajah utama kota ini. 

Faktanya, politisi lokal yang merancang proyek-proyek ini tahu persis bagaimana melayani wisatawan dan settlers ini. Mereka juga tahu persis bagaimana mendapatkan legitimasi untuk terus berkuasa, yakni dengan menaikkan sentimen-sentimen parochialism yang memang akan tumbuh subur di dalam situasi seperti yang dialami para natives Jogja. Cara bodoh politisi lokal yang hanya untuk kepentingan sendiri ini juga menjadikan wajah 'kalah' jogja semakin ketinggalan. Nyaris tak ada politisi lokal yang meneriakkan perang melawan pasar, melawan ekspansi kapitalisme seperti swalayan berjejaring. 

wajah beda jogja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun