Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Beda Jogja

19 Maret 2016   14:26 Diperbarui: 19 Maret 2016   14:52 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PHRI mengakui tidak bisa mendata semua kamar yang bisa dijual di Jogja, seperti home stay, losmen, kostel, dan hotel hotel yang belum terdata. Perkiraan kasar jumlah kamar di Jogja, lebih dari 12.947. (http://bersabda.com/fakta-perkembangan-hotel-di-yogyakarta-yang-mengejutkan/)

Diam dan tak berpendapat adalah jawaban paling dianggap 'absah'. Ada pemakluman yang luar biasa tak masuk akal. Fakta di atas ini nampaknya sama sekali tak mengancam hidup siapa pun. Apalagi ini dikehendaki oleh pemerintah, oleh keluarga penguasa. Jadi semakin diam manusia jogja. 

Pertanyaannya, bagaimana mempertahankan jogja berhati nyaman kalau sumber kesejahteraan dikeruk habis-habisan, nafas ekonomi dibantai selama 24 jam oleh toko modern berjejaring (nasional dan internasional), tanah air disedot oleh bisnis perhotelan? bagaimana kebahagiaan memperoleh indek tertinggi 10 tahun ke depan? Saya memang bukan orang Jogja by definition tetapi saya sungguh tak rela jogja dicabuli sedemikian brutal oleh kaum kapitalisme yang diback up secara kuat oleh premanisme. Bagaimana orang jogja berdiam diri menghadapi soal ini, melihat pembunuhan besar-=besar-anm terjadi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. 12 bulan setahun,...Kalau saya boleh berharap. Sikap keras dan sangat keras kepada penjajajahan ekonomi ala kapitalisme serakah, dan sikap lemah lembut pada sengketa kebudayaan etnisitas dan agama yang berbeda. 

soal Logo (jogja) saja di negeri ini bisa menjadi darurat dan genting, tetapi hotel dan lingkungan ekologi yang rusak atau terancam rusak tak ada istilah darurat di Daerah sangat istimewa ini (Istimewa apanya? Silakan tebak sendiri). Ini barangkali wajah yang tak terduga. Bagi saya, ini adalah wajah beda Yogyakarta yang sampai hari ini sungguh saya tak mengerti. Sulthoni, sulthoni, lama sabakhtani!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun