PHRI mengakui tidak bisa mendata semua kamar yang bisa dijual di Jogja, seperti home stay, losmen, kostel, dan hotel hotel yang belum terdata. Perkiraan kasar jumlah kamar di Jogja, lebih dari 12.947. (http://bersabda.com/fakta-perkembangan-hotel-di-yogyakarta-yang-mengejutkan/)
Diam dan tak berpendapat adalah jawaban paling dianggap 'absah'. Ada pemakluman yang luar biasa tak masuk akal. Fakta di atas ini nampaknya sama sekali tak mengancam hidup siapa pun. Apalagi ini dikehendaki oleh pemerintah, oleh keluarga penguasa. Jadi semakin diam manusia jogja.Â
Pertanyaannya, bagaimana mempertahankan jogja berhati nyaman kalau sumber kesejahteraan dikeruk habis-habisan, nafas ekonomi dibantai selama 24 jam oleh toko modern berjejaring (nasional dan internasional), tanah air disedot oleh bisnis perhotelan? bagaimana kebahagiaan memperoleh indek tertinggi 10 tahun ke depan? Saya memang bukan orang Jogja by definition tetapi saya sungguh tak rela jogja dicabuli sedemikian brutal oleh kaum kapitalisme yang diback up secara kuat oleh premanisme. Bagaimana orang jogja berdiam diri menghadapi soal ini, melihat pembunuhan besar-=besar-anm terjadi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. 12 bulan setahun,...Kalau saya boleh berharap. Sikap keras dan sangat keras kepada penjajajahan ekonomi ala kapitalisme serakah, dan sikap lemah lembut pada sengketa kebudayaan etnisitas dan agama yang berbeda.Â
soal Logo (jogja) saja di negeri ini bisa menjadi darurat dan genting, tetapi hotel dan lingkungan ekologi yang rusak atau terancam rusak tak ada istilah darurat di Daerah sangat istimewa ini (Istimewa apanya? Silakan tebak sendiri). Ini barangkali wajah yang tak terduga. Bagi saya, ini adalah wajah beda Yogyakarta yang sampai hari ini sungguh saya tak mengerti. Sulthoni, sulthoni, lama sabakhtani!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H