Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Apa Perkotaan Dibangun?

19 Maret 2016   09:21 Diperbarui: 19 Maret 2016   15:52 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan dalam judul di atas adalah pertanyaan paling sah untuk diajukan pada diri sendiri dan juga kepada pemangku kebajikan serta penguasa formal di mana saja aan di level apa saja. Pertanyaan yang terus menerus mencari pemahaman ihwal "sangkan paraning dumadi" dalam pembangunan sebuah perkotaan. Disinyalir kuat, orientasi pembangunan kota semakin menjauhkan manusianya dengan filosofi hidup, justru menggerus kebahagiaan, melukai kesetimbangan alam, proporsi air Dan tanah, juga proses soft yang desebut tekhnokrasi yang berimbas pada dehumanisasi: pembangunan yang menuhankan modernistas beserta teknologi asrsitek aan sebagainya sambil di saat yang sama, menghina nilai nilai luhur yang dirawat manusia di dalamnya.

Kita bisa berangkat dari persoalan yg kita baca di perkotaan mengenai ilusi kesejahteraan, pengangguran, kekerasan yang berkelindan dengan citra kota metropolitan, keren, modern, dengan ragam pusat belanja dan hotel kelas melati sampai bintang Lima. Modernistas simbolik yang kerap harus mengorbankan manusia sebagai konsekuensi tak terhindarkan. Rezim tertih tata ruang melihat PKL di trotoar dan anak jalanan adalah masalah sosial yang merusak citra baik kota. Mereka, dalam keyakinan pemerintah, harus ditertibkan secara paksa. Ini dikenal dalam pemikiran Foucoult dengan istilah governmentality.

Imajinisasi tentang kota " Elysium" yaitu sebuah kota yang indah, modern, hijau, smart, sangat disinyalir kuat bahwa ini adalah imajinasi tak lebih dari segelintir elit atau imajinasi negara maju dengan kultur moderniser akut. Imajinisasi kota demikian bukanlah imajinasi orang orang biasa yang jumlahnya 99%. Orang orang berduit menjadikan kota sebagai tempat berebut kesenangan dan transaksi ekonomi, sementara orang miskin atau orang biasa memimpikan kota yang ramah untuk mempertahankan kemampuan siklus ekonomi dan kebudayaannya. Dua entitas yang berbeda tentang bagaimana sebuah kota menjadi manusiawi. Kedua sudut pandang ini juga sangat terlihat daalam beragam ajang pertemuan forum global. Soal keadikan iklim, global warming, pengentasan kemiskinan di negara ketiga, selalu mengundang bias modernisme dimana negara kaya memaksakan paradigms developmentalisme atas negara miskin, bahkan memperlihatkan sikap dominasi dalam melihat persoalan.

Salah satu keadilan yang tata ruang dapat dimulai dari upaya membangun pengetahuan ecologi kota melalui disiplin kita masing-masing. Kita belajar disiplin ilmu berbeda satu sama lain srperti ilmu politik, economi,anthropologi, pertanian, hukum, psikologi, dan lain sebagainya pada akhirnya semua bisa digunakan untuk melihat keadilan kehidupan perkotaan. Tak perlu kita kuasai semua pengetahuan trtapi kedalaman ilmu yg kita tekuni akan dengan mudahnya dijadikan alat analysis terhadap ketimpangan hidup dalam perkotaan. Ini namanya membangun melek perkotaan. 

Dari ilmu yg kita prlajari, kita tahu anatomi, karakter banal kota, aktor di belakang layar, lembaga formal, siapa mendapat apa dengan cara APA dalam politics as business as usual keseharian. Dengan melihat struktur ekonomi kita tahu kelemahan economi kerakyatan, kita tahu desa yang dikucilkan oleh peradaban kota, oleh importer, poebisnis swalayan modern berjejaring. Kita bisa mengerti banyak hal kalau semua orang mendalami minimal satu disiplin ilmu pengetahuan. Pemikiran demikian saya belajar Dari Soedjatmoko dalam bukunya Dimensi Manusia dalam pembangunan (YOI, 1995). 

Soedjatmoko ini banyak memberikan pencerahan untuk merumuskan suatu kurikulu[caption caption="poster Urban Literacy Campaign (aryadwiyoga2016/atasizin)"][/caption]m belajar melek perkotaan (urban literacy) yang saya coba susun. Keahlian di bidang sosial budaya untuk menjadi pertimbangan dalam pembangunan terlihat kiprahnya di bappenas 1971-1980, bahkan pernah menjadi rektor UN University di Tokyo tahun 1980. Banyak hal bisa dieksplore darinya.

Dari pembuka wacana di atas, kira kira Urban literasi adalah emergensi atau kondisi yang niscaya untuk mengatakan urgent literacy campaign untuk semua orang, untuk orang orang yang percaya bahwa kita bisa mencegah bunuh diri kota kota yang berisi manusia yang mendamba kehidupan manusiawi.

#‎urbanLiteracyCampaign‬

Salah satu bentuk keberdayaan warga adalah keberanian menyampaikan ekspresi dukungan atau protest tertulis kepada pemerintah setempat dapat misal, melalui Surat terbuka, atau Surat yang dibaca di ruang publik. Tak hanya bentuk Surat, dpt juga beragam bentuk lainnya srperti puisi, lirik, lagu, musik, dan sebagainya. 

Pada kesempatan ini, kita yang melek kota saatnya menulis Surat untuk wali kota dimana kita merasa punya inisiatif, kritik, dukungan thd program, oposisi terhadap pembangunan hotel, kolam renang, mall, DST. Saatnya yang dianggap bisu bersuara. Selamatkan kota, selamatkan manusia baik di kota kota yang semakin murka.

Berikut ini adalah surat untuk walikota. Surat Terbuka ini ditujukan untuk Walikota Yogyakarta tentang Pengelolaan Ruang Publik di Jembatan Kewek dan Lingkungannya

Yogyakarta, 4 Maret 2013
Kepada Yth. Walikota Yogyakarta
di tempat
Dengan hormat,

Kami, masyarakat Yogyakarta, telah menemukan fakta bahwa kualitas pengelolaan ruang publik di Kota Yogyakarta sangat buruk dan jauh dari ideal. Banyak kasus privatisasi dan komersialisasi ruang publik Kota Yogyakarta yang terjadi dengan atau tanpa izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Salah satu ruang publik yang tidak terkelola dengan baik adalah Jembatan Kewek dan lingkungannya. Jembatan Kewek dan lingkungannya telah ditetapkan sebagai bagian inti dari Kawasan Cagar Budaya Kotabaru di Kota Yogyakarta melalui Keputusan Gubernur DIY No 186/KEP/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya. Namun, saat ini Jembatan Kewek dan lingkungannya telah disalahgunakan fungsinya untuk penyelenggaraan reklame berupa mural yang tercat pada dinding bangunan. Praktik ini telah melanggar ketentuan izin penyelenggaraan reklame yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 1998 tentang Izin Penyelenggaraan Reklame dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 75 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 8 Tahun 1998 tentang Izin Penyelenggaraan Reklame. Hal ini juga telah melanggar ketentuan persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Masyarakat Yogyakarta secara swadaya telah membeerikan tanggapan atas praktik privatisasi dan komersialisasi Jembatan Kewek yang lingkungannya itu dengan melakukan pengecatan putih pada dinding jembatan. Pengecatan ini telah dilakukan pada hari Minggu, 10 Februari 2013 dan Jumat, 1 Maret 2013 sebagai tanda bahwa masyarakat menolak praktik privatisasi dan komersialisasi ruang publik dan kawasan cagar budaya. Namun, kami memandang bahwa aksi pengecatan kembali ini bukan jawaban atas masalah yang dihadapi ruang publik kota Yogyakarta. Masalah pelanggaran pengelolaan dan penyalahgunaan fungsi ruang publik harus dicari akar persoalannya bersama-sama agar tidak terjadi lagi di masa mendatang. hal ini juga penting dilakukan untuk mendorong praktik pengelolaan ruang publik yang lebih baik di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami, masyarakat Yogyakarta mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta untuk memfasilitasi sebuah forum audiensi/pertemuan yang melibatkan para pihak yang terkait dengan pengelolaan Jembatan Kewek dan lingkungannya. Pertemuan ini bersifat terbuka untuk publik dan media. Kami memohon Pemerintah Kota Yogyakarta dapat memfasilitasi pertemuan bersama para pihak ini pada Minggu III Maret 2013 (antara tanggal 11 – 15 Maret 2013). Pihak-pihak yang diundang meliputi:

Pemerintah Kota YogyakartaPT Kereta Api Indonesia DPRD Kota YogyakartaPihak/perusahaan pemasang mural iklan di Jembatan KewekWarga kampung di sekitar Jembatan Kewek dan lingkungannyaMedia massa

Pertemuan ini bertujuan untuk membahas bersama situasi yang terjadi di Jembatan Kewek dan lingkungannya usai aksi pembersihan/pengecatan putih yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta. Melalui forum ini kami berharap pelanggaran pengelolaan ruang publik dan kawasan cagar budaya dengan penyelenggaraan reklame yang tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat dihentikan sebagai sebuah kesepahaman dan kesepakatan bersama.

Hormat kami,
atas nama masyarakat Yogyakarta

Gerakan rakyat biasa

Gagasan untuk melek perkotaan dengan mempromosikan nilai nilai yang berurusan ekologi, tata ruang, kebijakan sosial, advokasi anak dari kekerasan, radikalisasi pasar, human trafficking, regulasi kota, dan lain lain yang berkaitan dengan isu perkotaan.

Kemampuan mencernah beragam masalah perkotaan menjadikan suara yang bisu dapat didengar, memberikan kesempatan pada semua orang menjadi autonom untuk berkontribusi kepada kehadiran kota yang lebih baik, lebih manusiawi, dan adil.

Kampanye ini mendukung keberadaan individu yang berdaya untuk membela kotanya dari degradasi nilai dan kemerosotan tata hidup di dalamnya. Salah satu target dari kampanye ini adalah agar siapa pun dapat bersuara, dpt ambil posisi konstruktif dengan mendayagunakan apa yang dimiliki baik melalui seni, graffiti, menulis, gerakan sepeda, gerakan berkebun, sastra, promosi buku, aksi diam, poster, ecopreneurship, dan seterusnya.

Gerakan ini memberikan kredit, bahwa semua warga kota penting dan dengan demikian tak ada alasan diskriminatif. Beragam pihak didorong untuk berfikir kepentingan publik jangka panjang. Juga mendorong, yang rakus berbagi dan mengurangi kerakusannya. Kota milik bersama, ruang berbagi untuk semua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun