Milah tidak salah dengan persaan tersisih yang dimiliki dan bang Merin juga tidak salah dengan perasaan selalu bersalah karena menikahiku. Adapun aku sendiri menurut orang kampung adalah yang paling berdosa atas semua yang terjadi.
Janin yang kukandung hanya memberi keceriaan yang sebentar. Aku menjadi serba salah. Inginnya selalu didampingi suami, tetapi bang Merin tidak sampai hati meninggalkan isteri pertamanya yang sudah sekian lama hidup bersama. Aku tahu, bang Merin sangat mencintai diriku dan anak yang kukandung, tetapi ia juga menyayangi isteri pertamanya. Bang Merin tidak mampu membawa diri dengan dua cinta di hatinya.
Sampailah anak yang kukandung lahir, sayang bang Merin tertahan. Kegelisahan menjadi lebih menguasai hari-hari bang Merin. Sampai-sampai orang kampung menganggap bang Merin stress karena menikahiku. Kata orang yang pernah kudengar, terlalu banyak tuntutanku kepada bang Merin. Padahal aku tidak pernah menuntut apapun. Bahkan untuk biaya hidup aku masih meminta orang tua, bukan dengan suamiku, bang Merin.
Akupun merasakan, bang Merin hidupnya menjadi tidak tentu arah dan tujuan. Ia kehilangan kendali, senang menyendiri. Ketika di rumah isteri pertama, selalu teringat aku dan anaknya yang telah lama dinantikan kehadirannya. Dan ketika bersamaku dan anaknya di rumahku teringat isteri pertamanya yang sedang sedih karena merasa tersisih. Perasaan dirinya sendirilah sebenarnya yang membuat bang Merin terombang ambing, stress.
Puncak dari kegundahannya, bang Merin pergi menyendiri, tidak mahu lagi pulang ke rumah, tidak di rumah isteri pertama, juga tidak di rumahku. Dia tinggal di surau yang jauh dari rumah penduduk. Isteri pertamanya tetap setia mengantarkan makanan untuknya sehari dua kali.
Saya tidak dapat berbuat banyak dengan keadaan yang dirasakan bang Merin. Aku sadar. Aku hanya ingin mencoba memahami. Aku tidak ingin mengganggu kesendirian bang Merin yang sedang membawa diri. "Biarlah dia menghayati hidupnya yang sedang dalam kegundahan. Seiring berjalan waktu, ia akan mengetahui bagaimana seharusnya hidup ini dilalui", aku membatin.
Akupun mengisi waktu dengan kesibukan baru. mengasuh si kecil, bukti cinta kami dan bukti bahwa kami pernah hidup.
Ternyata waktu dan keadaan semakin membuat bang Merin menderita. Dia mungkin lelaki yang tidak berbakat membagi cinta. Hari-hari setelah mendapatkan anak menjadikan kesehatannya memburuk. Karena dia lebih mengikuti pikiran dan perasaan yang serba bingung. Diapun lebih senang bersama teman-teman mengobrol di kedai kopi, ketika bosan sendirian di surau, dari pada bercengkerama dengan keluarga dan anaknya di rumah. Milah juga ditinggalkan sendirian di rumah tanpa teman.
Akhir hidupnya juga menjadi sangat memilukan. Karena perutnya terasa sakit dia segera pulang. Teman-temannya menduga ia pulang ke surau, seperti biasanya. Ternyata malam itu ia pulang ke rumah Milah, rumahnya sendiri.
"Saya terkejut juga, ketika abang pulang ke rumah," kata Milah kepada yang datang dan bertanya. Aku hanya dapat mendengar dari luar jendela kamar tempatku mematung menggendong si kecil. Kamar tempat tempat bang Merin mencuri pandang kepadaku yang sedang duduk di teras samping rumah. Kamar yang jendelanya telah menyatukan hati kami dahulu. Dan hanya dari jendela kamar inilah aku bisa melihat jasad bang Merin untuk terakhir kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H