Sebelum menikah dengan bang Merin, aku pernah menikah. Tetapi karena tidak mendapat anak setelah dua tahun menikah, suami menceraikan. Ketika menjanda aku kembali ke rumah orang tua, bertetangga sebelah rumah dengan bang Merin. Ketiadaan anak menjadikan alasan suamiku mengembalikan aku ke rumah orang tua.
Janda tanpa anak seakan menjadi aib di keluarga dan tetangga. Saya selalu merenungi diri dalam kesendirian di teras samping rumah, berhadapan dengan jendela samping rumah bang Merin. Ketika itulah bang Merin selalu menggodaku dari jendela. Jendela yang kini memisahkan jasadnya dengan diriku dan anaknya.
Bang Merin di rumah hanya berdua dengan isterinya, Milah. Mereka sudah lima belas tahun menikah dan tidak memiliki keturunan juga. Tetapi bang Merin tetap setia dengan isterinya. Tidak pernah dia menyalahkan isterinya karena tidak kunjung hamil. Sifat bang Merin sangat berbeda dengan sifat mantan suamiku. Walaupun tidak mendapat anak dari perkawinannya, bang Merin tetap mencintai Milah, isterinya. Sedangkan suamiku sebaliknya, ia mencampakkan diriku.
Bermula dari soal tidak memiliki anak itulah aku selalu ngobrol dengan bang Merin. Namun tidak berselang lama Milah mulai menaruh curiga, ketika memergoki kami asyik berbual sampai tengah malam di titian parit sepadan.
Semenjak itu bang Merin tidak berani lagi membuka jendela yang menghadap ke teras rumahku. Berhari hari aku menunggu di teras rumah ketika malam-malam, berharap bang Merin mahu membuka jendela itu dan keluar menemuiku kembali dengan melompat jendela seperti dulu. Tetapi itu tidak pernah lagi dilakukan.
"Aku harus menghormati perasaan Milah." Begitulah kata bang Merin memberitahuku lewat sms. Saya semakin mengagumi kepribadian bang Merin yang sangat penyayang dengan isterinya, walaupun tidak memiliki anak.
Berbulan-bulan kami menjalin komunikasi dengan bang Merin melalui hp, kadang sms-an saja, tidak jarang juga kami teleponan. Saya hanya tinggal bertiga dengan emak dan bapak di rumah. Ketika bang Merin menelepon, maka aku langsung saja masuk kamar pura-pura tidur, untuk mengelabui emak dan bapak. Sedangkan bang Merin, kalau menelepon selalunya ketika isterinya tidak di rumah atau dia yang pergi jauh dari rumah.
Frekwensi kami ngobrol di hp sangat sering, bisa berkali-kali dalam sehari. Semua aktifitas yang kami lakukan seharian, pasti diberitahukan lewat hp. Terkadang bang Merin dulu memberitahu kalau dia sedang nonton tv sendiri, agar aku menonton siaran tv yang sama dengan yang dia tonton. Tidak jarang aku juga memberitahu mahu mandi, agar dia juga ke kamar mandi di rumahnya.
Akhirnya perasaan ingin memiliki sama-sama bersemi di hati kami berdua. Pernah bang Merin tidak membalas sms yang kukirim. Perasaanku menjadi sangat risau. Ingin mengirim sms kembali tidak berani, sangat risau menunggu balasan sms darinya. Namun ketika bang Merin mengirim sms balasan yang sudah hampir satu hari kutunggu, saya sengaja pula tidak membalasnya kembali seukuran waktu yang dia tunda untuk membalasnya. Itulah rasanya jatuh cinta.
Entah dorongan darimana, malam itu terasa sangat lambat. Saya susah memejamkan mata. Siaran tv juga tidak menarik lagi. Pintu ke teras rumah yang sudah sebulan lebih tidak dibuka, seakan meminta tanganku untuk membuka dan duduk di teras. Waktu membuka pintu, secara kebetulan pula bang Merin membuka jendela kamar rumahnya yang sudah cukup lama tidak dibuka juga. Ketika itu kami saling berpandang. Dia melempar senyum terindahnya dan melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas juga dengan senyuman yang mendadak serta melambaikan tangan menggoda.
Malam hari setelah kejadian itu, bang Merin meneleponku. Langsung kujawab didering pertama sebelum berakhir. Ketika itulah dia mengungkapkan keinginannya menikah denganku. Aku tidak dapat menjawab, walaupun itulah sebenarnya ucapan yang kutunggu dan harapkan. Gemuruh ombak di dadaku tidak mampu kuredakan. Aku membisu tidak bersuara, meski sangat bahagia.