Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emprit Moni Ngarep Omah

9 Mei 2014   03:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nopo kados ngoten, Mak?" saya bertanya ibu ketika ia memberitahu akan ada kejadian berdasarkan perlambang yang didapati.
"Jajal engko dititeni, iyo opo ora?" jawaban ibu yang berbentuk pertanyaan itu mengedepankan bukti dari kebenaran yang pernah ada.

Seperti pernah ada kupu-kupu berwarna putih cantik masuk ke rumah. Ibu segera memberitahu, kita akan kedatangan tamu yang tampan rupawan. Entah kebenaran atau kebetulan, sehari setelah itu mas Trisno sang idola yang jadi rebutan temen cewek di kampus datang menemuiku di rumah.

Boleh dikatakan setiap kejadian yang ada adalah perlambang akan adanya kejadian yang mengiringi. Setiap peristiwa seakan saling terhubung satu dengan yang lain. Begitulah orang tua kami memberikan pengetahuan titen itu secara alamiah kepada kami, anak-anak mereka.

Mungkin kalian akan menuduh keluarga kami menganut kepercayaan mistis yang bersifat klenik. Atau bisa juga menganggap kami mempercayai mitos, omong kosong yang tak berdasar.

Saya memaklumi apapun penilaian orang. Karena pengetahuan membaca masa depan dari pengalaman sekarang tidak memiliki dasar ilmiah, apalagi dalil agama. Tetapi bagaimanapun anggapan orang, keluarga kami tetap berpegang kepada warisan leluhur itu. Kebiasaan menandai setiap peristiwa untuk memprediksi yang nanti.

Kesetiaan kami memprediksi yang akan terjadi dari pertanda alam itu tidak pernah mengganggu keimanan. Bahkan menguatkan, karena kami yakin bahwa yang terjadi di alam semesta ini tidak terlepas dari kehendak Tuhan.

"Ngunu iku coron'e Gusti Allah ng'e-i kabar mareng kito, menungso." Kata ayah dan ibu selalu mengingatkan kami untuk mengembalikan semua kejadian kepada Yang Di Atas. Pengetahuan leluhur itu mendorong saya untuk senantiasa mengingati setiap kejadian alam sekitar sebagai isyarat yang memiliki makna untuk mawas diri dan mengerti, agar lebih teliti dan hati-hati dalam mempersiapkan diri sesuai yang Tuhan kehendaki.

Seperti kejadian sore itu ketika saya dan ayah sedang duduk-duduk di depan rumah, tiba-tiba terdengar manuk emprit (burung pipit) berkicau. Secara reflek, saya menangkap bahwa ada pesan yang disampaikan melalui perlambang itu.

"Manuk emprit kui sore-sore kok moni neng ngarep omah, ono opo pak?" Saya bertanya kepada ayah ketika melihat burung pipit nangkring dan berkicau di antara rerantingan pohon randu depan rumah.

"Arep ono tamu apik." jawab ayah spontan dalam hitungan detik, sebelum pertanyaanku selesai.

"Sopo yo sing arek teko?" Ayah melanjutkan dalam bentuk pertanyaan. Saya mengingat-ingat beberapa nama orang istimewa yang saya kenal, yang mungkin akan mengunjungi rumah kami dengan membawa kabar gembira.

Saya melihat Ayah juga merenung sambil menduga-duga siapa kemungkinan yang akan datang membawa kabar baik tersebut. Tetapi saya tidak tahu siapa orang yang sedang ayah harapkan untuk datang. Biarlah ayah membawa pikirannya sendiri untuk menduga-duga tamu istimewa yang akan datang ke rumah.

Adapun saya sudah mempunyai nama yang saya harapkan datang. Menurutku dia istimewa dan kabar gembira darinya saya harapkan. Tetapi saya tetap tidak mungkin akan mengatakan kepada ayah. Karena yang saya harapkan sebenarnya hanya kabar tentangnya. Itu sudah cukup. Saya senantiasa mengingat setiap saat dan sudah merindukannya cukup lama, enam bulan.

Meskipun berharap untuk bahagia, tetapi timbul juga keraguan yang menyiksa. Bukankah sudah enam bulan tidak ada kabarnya? Surat kedua yang kukirimkan untuknya, tiga bulan yang lalu juga belum dibalas. Ataukah dia sudah melupakan dan mendapat pengganti yang lain?

"Mak'e, mahu kok ono emprit moni neng ngarep omah." kata ayah memberitahu ibu ketika kami sedang berkumpul di ruang makan, setelah menikmati makan malam bersama. "Sopo yo nurut firasatmu sing arek teko mareng ngomah?" pertanyaan ayah kepada ibu.

"Embuh, sopo yo?, aku orong ono oleh firasat. Mungkin engko mbengi ono sing intuk impen." ibu menjawab pertanyaan ayah dalam kondisi ketidaktahuannya. Tetapi ibu masih menunggu peristiwa lain untuk konfirmasi yang bisa memberikan jawaban atas tanda alam yang disampaikan burung pipit sore tadi.

"Iyo, mungkin engko bengi ono sing oleh impen utowo ono sing laine ng'e-i kabar maring kito." kata ayah menggantungkan harap.

"Mungkin pacar'e mbak Santi." kata adikku nyeletuk sambil melirik ke arahku. Saya merasa sangat malu di hadapan ayah ibu atas sikap adikku yang ngomong asal-asalan. Walaupun sebenarnya, nama itu juga yang ada dalam pikiranku dan yang saya harapkan kehadirannya. Tetapi saya diam saja, tidak mahu menanggapi celetukan adik.

"Apa mungkin mas Trisno, pacarku akan datang?" aku mempertanyakan sesuatu dalam khayal yang penuh harap, tetapi menyakitkan. "Semoga kata-kata adikku menjadi do'a." Karena kedua orang tuaku selalu mengatakan, bahwa kejadian yang tidak diharapkan adalah juga perlambang.

Perlambang dalam arti, bahwa sesuatu itu adalah pemberitahuan tentang sesuatu yang lain. Seperti beberapa malam lalu, ketika ayah minum tersedak. "Pasti ono sing ngerasani." kata ibu ketika ayah. Betul sekali, keesokan harinya paman datang ke rumah dan bercerita, bahwa malam tadi ia ngerasani (menceritakan) ayah. "Rerasan, koq wis sui ora ketemu." katanya.

"Mbok menawi inggih, Pak." kata ibu memperkuat pikiran adik yang sebenarnya tidak pernah dipikirkan. "Sesuatu yang terucapkan secara tiba-tiba tanpa dipikirkan dulu itu juga perlambang." kataku dalam hati. Tetapi saya tidak berani bertanya lebih lanjut tentang spontanitas adik menanggapi pertanyaan dalam perbualan itu.

"Opo iyo, San?" Ayah menyundut kesepiaan perasaanku di meja makan dengan pertanyaan yang meminta pembenaran. Walaupun itu sebenarnya saya harapkan, tetapi saya sendiri tidak mungkin mengatakan.

"Duko, piyamba 'e mbotem wonten sanjang nopo-nopo kalih kulo." Jawabku atas pertanyaan ayah yang didesakkan karena celetukan adik. Sayapun tidak berani mengatakan apa yang sesungguhnya sedang saya alami dan rasakan sendiri. Mas Trisno dimana dan apa kabarnya saya sendiri juga tidak tahu. Tetapi, "semoga sebutan adik dan ayahku menanyakan mas Trisno mempercepat terkabulnya do'ku," sekali lagi hatiku berharap.

Setelah makan malam, saya duduk sebentar menonton tv. Seluruh anggota tubuhku menghadap tv. Bahkan mataku melihatnya tanpa berkedip. Tetapi jujur saya katakan, bahwa saya tidak mengerti sedikitpun acara yang sedang ditonton. Mataku hanya melihat gambar yang bergerak dan telingaku hanya mendengar ada suara. Tetapi suara dan gambar tidak memberi pesan apapun di pikiran. Karena khayalku melayang jauh. Sangat jauh entah kemana. Mencari tempat mas Trisno berada.

Pikiran yang kosong, menggerakkan kakiku untuk mencari kekosongan. Kamar adalah tempat yang kosong. Rasanya nyaman kalau bisa menyendiri di kamar. Walaupun tidak benar-benar sendiri. Karena ada mas Trisno di pikiranku yang semakin mempertahankan posisinya. Bahkan tidak ada ruang kosong untuk yang lain di kepalaku selain mas Trisno. Benarkah perlambang burung pipit sore tadi adalah isyarat kehadirannya?

Dalam sunyi senyap kamar, saya tidak berhenti untuk berdo'a: "Saya rindu Mas, datanglah! Semoga Mas tidak melupakan janji untuk kembali"

Saya membuka kembali semua surat cinta yang pernah dituliskan untukku. Saya membaca satu persatu sampai tamat. Entah berapa kali surat cinta yang bertabur pujian dan rayuan itu sudah kubaca. Semakin lama tidak bertemu, semakin sering aku membacanya. Surat cinta itulah yang menjadi tempat berbagi kerinduan. Bahkan selama seminggu sebelumnya, surat cinta itu telah menjadi mantra penghantar tidur.

Tetapi anehnya, malam ini mantra surat cinta itu tidak mampu membuat mataku terpejam, sampai ke pagi. Setelah manuk emprit yang berkicau di depan rumah sore tadi. Setelah adik menyebutnya. Setelah ayah mendesak agar saya membenarkannya. Dan setelah enam bulan surat cintaku tidak pernah dibalas.

Satu hari, dua hari, tiga hari, ...
Saya menjadi perempuan penanda waktu, menghitung hari. Sudah seminggu setelah burung pipit itu berkicau, belum juga ada perlambang lain yang dapat memberi petunjuk. Kehadiran yang dinantikan membawa kebahagiaan semakin jauh terasakan. "Saya tidak boleh terlalu berharap dalam ketidakpastian seperti ini." kata hatiku berbisik dalam nada lelah dan marah.

Sudah habis batas kesabaran. Saya segera mengambil pena dan menulis di lembaran kertas surat warna biru. Inilah surat terakhir. Surat putus. Kertas surat warna biru ini juga sebuah simbol yang sudah kami sepakati ketika masih sering bertemu dulu. Ketika kami menulis surat biru itu artinya putus. Sedangkan warna keabadian cinta yang kami sepakati adalah kertas warna pink.

Pagi hari segera saya titip surat dengan adik agar mengirimkan lewat pos kilat, tiga hari sampai. Sejak malam kutulis surat itu, segala harapan dan kerinduan yang menggunung perlahan meleleh. Tidak ada lagi harapan dan kerinduan untuk mas Trisno. Yang tertinggal hanyalah dendam dan kebencian. Karena kesetiaan dan ketulusan mncintainya hanya sia-sia. Membalas surat yang sudah dua kali kukirimpun tidak mahu.

Suasana batin yang benar-benar hampa. Tanpa gairah dan tanpa senda gurau. Ayah, ibu dan adik tidak juga mendapatkan perlambang lain. Saya juga. Sudah sepuluh hari berlalu dari sore itu. Sore ketika burung pipit berkicau di depan rumah. Tidur tak lena, makanpun tak enak dan mandipun tak basah.

Saya masih duduk di kamar merenungi nasib diri. Jarum pendek pada jam di dinding kamar menunjukkan pada angka tujuh. Jadwal makan malam sudah tiba. Tetapi saya tidak kuasa untuk beranjak, melangkah ke ruang makan. "Biarlah, nanti saja." jawaban yang sudah kupersiapkan ketika ibu atau adik memanggilku untuk makan malam ini. Pintu kamar sengaja kubuka. Siapapun boleh masuk tanpa, harus mengetuk.

Adikku langsung saja masuk ke kamar. "Emak karo Bapak ngenteni mbak, nje-i mangan bareng." adikku memberi tahu sambil duduk sebentar di atas tempat tidurku. Dia memandangku penuh tanda tanya atas sikap murungku. Setidaknya itulah yang kurasakan dari caranya menatapku.

"Layang sing dienter pak pos wis seminggu kok urung mbak woco." adik berkata seperti terkejut dan membuatku juga terkejut.
"Endi layange?" tanyaku penasaran.
"Iku neng nduwur rak buku." adik menjawab dengan jari telunjuk memberi isyarat ke arah rak buku yang dimaksud.
"Sopo sing nompo sengko pak pos?"
"Awakku, mbak wayah iku ora ono neng omah. Kuwatir kesingsal tak dolohno neng rak kui."
"Kok, ora lansung ngomong karo embak?
"Awakku kan terus lungo maring sekolahan, ono pelajaran tambahan, dadine lali."
"Yo wis, ra popo. Yuk mangan ndisik. Engko wahe tak woco"

Keberadaan surat itu membuat hidupku kembali bergairah. Makan malam ini sangat berselera. Walaupun belum kubaca isinya. Tetapi dari warna amplop surat, bisa ditebak isinya. Amplop itu warna pink adalah perlambang keabadian cinta. Namun ada yang sedikit mengganjal di dada. Amplop surat warna biru yang sudah terlanjur dikirim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun