Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harem: Hiburan King Sulaiman

27 Desember 2014   21:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:21 4706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Harem itu berasal dari bahasa Arab haram yang artinya terlarang atau forbidden. Dia adalah perempuan simpanan untuk hiburan sultan yang dirahasiakan dari publik, tidak bisa dijangkau oleh siapapun, kecuali keluarga sultan dan lelaki yang dikebiri atau kasim sebagai pembantu.

Pada zaman Turki Usmani, harem diambil dari gadis non muslim ahli kitab yang didapat dari pasar budak atau anak gadis dari wilayah-wilayah yang negerinya ditaklukkan. Mereka berstatus budak, yang menurut hukum islam boleh ditiduri oleh tuannya, yakni Sultan. Sejarah mencatat ada sepuluh ribu perempuan simpanan sultan Turki. (Lihat: Elizabeth Abott, Wanita Simpanan)

Roxelana adalah salah satunya. Ia perempuan cerdas dan berambisi, bertubuh mungil dan energik, dengan hidung mungil dan mata bercahaya. Sebagian kisah mengenalnya dengan nama Alexandra Lisowska, putri seorang pendeta Ortodoks miskin dari Rohatyn, Ruthenia, di pegunungan Carpathian.

Roxelana masuk ke kehidupan sultan Sulaiman alQonuni, penguasa Turki Usmani bermula dari penangkapan pasukan Tartar. Setelah ditangkap dia secara otomatis menjadi budak yang bisa diperjualbelikan. Sultan Turki yang agung membelinya dan dijadikan "perempuan simpanan" di istana. Ambisinya mengantarkan Roxelana menjadi qadin/permaisuri menggantikan Gulbahar yang disingkirkan jauh dari istana.

Sultan Turki memelihara puluhan ribu perempuan simpanan yang terlibat selama berabad-abad. Mungkin kerajaan Turki merupakan pemilik perempuan simpanan terbanyak yang diketahui, lebih banyak dari perempuan simpanan di kerajaan Cina yang hanya tiga ribu orang ataupun Muangtai yang seratus orang. (Lihat: Anche Mien, Anggrek)

Harem adalah realitas yang sengaja disembunyikan dari publik dan menjadi rahasia para raja atau sultan, tetapi keberadaannya dan apa yang terjadi di tempat rahasia itu diketahui oleh masyarakat luas dan menjadi bahan cerita dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, dari satu wilayah ke wilayah negeri lain.

Berdasarkan cerita yang hidup di masyarakat itulah sebuah novel tentangnya dituliskan. Dan, penulis novel tentunya tidak hanya mendengar dari cerita yang hidup di masyarakat, melainkan juga mengadakan sebuah penelitian terhadap berbagai obyek yang mendukung, termasuk literatur, artefact dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan harem.

Novel sejarah adalah karya fiksi yang bersumber dari sejarah. Jalan cerita dalam novel adalah hasil dari renungan, penelitian dan pemikiran penulisnya. Seperti juga sejarah, ia juga hasil olah pikir dari data yang ada, bukanlah sebuah fakta sesungguhnya, melainkan sudah diinterpretasi oleh penulisnya.

Opini dari seorang penulis tidak mungkin ditiadakan dari sebuah tulisan. Apapun bentuk tulisan, termasuk sejarah, ia adalah fakta yang bercampur dengan opini melalui interpretasi. Begitu jugalah dengan novel sejarah, ia bukanlah kumpulan fakta yang berbicara sendiri tanpa pembaca pertama yang memberi interpretasi. Maka sudah menjadi satu kemestian, bahwa opini dan fakta saling melengkapi ketika penulis menyusun rangkaian cerita menjadi lebih hidup dan bermakna.

Kemudian novel tentang Roxelana, harem Sultan Turki yang dikarang oleh Colin Falconer diangkat ke bentuk film dan diputar di banyak stasion tv di seluruh dunia, termasuklah antv di Indonesia. Sebelum film itu, novel terjemahan berbahasa indonesia lebih dulu beredar, penerjemahnya Fahmi Yamani dan diterbitkan oleh Serambi.

Saya belum berkesempatan membaca novelnya, tetapi sejauh yang saya tahu, tidak pernah ada protes sedikitpun dengan beredarnya novel tersebut. Namun setelah filmnya diputar di antv, mulailah muncul protes dari kelompok muslim tertentu di tanah air yang merasa dirugikan dengan film harem sultan Turki tersebut.

Saya juga belum sempat menonton filmnya, sehingga saya tidak tahu persis sisi mana yang membuat mereka tersinggung dan menghendaki agar pemutaran film tersebut dihentikan.

Namun demikian saya tetap mengapresiasi positip dengan diputarnya film tentang sejarah kekhalifahan islam Turki. Tepatnya tentang "sejarah gelap" kehidupan di istana Turki Usmani yang membanggakan di masa khalifah Sulaiman alQonuni yang agung. Dikatakan gelap, karena kehidupan harem di istana adalah kehidupan serba rahasia dan tertutup dari jangkauan publik.

Semoga kehadiran film yang berdasarkan fakta rahasia sultan Turki yang agung, yang notabene adalah Khalifah di kekhalifahan islam yang sangat membanggakan umat islam sampai masa kini, memberikan pencerahan kepada pemirsa, khususnya umat islam di tanah air.

Itulah hakikatnya sejarah. Ia hanyalah tafsir atas fakta dan data masa lalu. Bila selama ini umat hanya disuguhi sejarah resmi yang ditulis oleh pemilik otoritas dan tentunya hanya Cerita dari sudut pandang yang terang atas keberhasilan penguasa. Sedang sudut lain yang gelap dan remang-remang disembunyikan dari jangkauan umat dan masyarakat luas. Maka, melalui novel dan film, sisi remang dan bahkan gelap yang sengaja disembunyikan dari publik sedikit banyak dapat terkuak dan diketahui.

Saya berpendapat, bahwa siapapun tidak boleh bersikap otoriter dengan menghakimi sebuah karya, apalagi fiksi dengan menggunakan otoritas untuk menghentikan tayangnya. Lebih baik pihak yang tidak berkenan atau yang mengetahui telah terjadi penyimpangan, menciptakan karya sejenis sebagai pembanding atau tandingan, mumpung lagi musim membuat tandingan apabila tidak setuju.

Selamat menikmati cerita tentang sisi gelap sejarah khalifah Sulaiman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun