Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melarat

26 Januari 2015   00:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa nikah di kantor adalah indikator tingkat kemiskinan yang nyata di masyarakat.

Mengapa?

Secara adat Melayu, masyarakat  menikahkan anak di rumah, bukan di kantor. Karena banyak prosesi adat yang harus dilakukan, sebelum dan sesudah akad nikah. Dan prosesi adat yang dilaksanakan menyebabkan akad di kantor dianggap sulit.

Dan adatnya pula, hanya mereka yang menikah karena kecelakaan lah yang dilaksanakan di kantor, guna menutup aib keluarga. Adapun yang normal tetap di rumah. Sehinggalah menjadi semacam penanda bagi masyarakat bahwa, jika nikah di kantor berarti ada masalah yang dirahasiakan kepada masyarakat.

Tetapi, semua sudah dan terus berubah. Kemiskinan telah mengalahkan  rasa malu, mengalahkan adat. Dan, tidak tertutup kemungkinan, mengalahkan iman.

Siapa yang harus dipersalahkan?

Melihat kemiskinan yang belum berkurang dan uang lima puluh ribu begitu berharga, maka wacana Pemilu bersih adalah mustahil, mengada-ada. Hanya untuk didiskusikan. Pemilu, Pilgub, Pilbup, juga Pilkades tidak bisa terlepas dari permainan uang.

Uang bagi orang miskin bukan harga diri, bukan kekayaan, melainkan hanya sesuap nasi. Tidak lebih. Sudah berhari-hari, bahkan berminggu dan berbulan, anak pergi sekolah tanpa uang jajan. Maka lima pulu ribu menjadi sangat berarti dan menyelamatkan.

Dengan uang itu, mereka dapat menikmati makan dan memberikan anak uang jajan, yang sudah berhari sampai berbulan tidak pernah dirasakan. Kalau dengan uang lima puluh ribu menyebabkan kafir sekalipun, mereka sudah tidak takut dengan neraka, apatah lagi sekedar hukuman mati atau penjara.

Sahabatku adalah Muhammad Nurin, Spdi. Sengaja saya tidak sebutkan dalam cerita. Karena masih banyak cerita lain yang saya lewati bersamanya. Saatnya akan saya ceritakan. Nanti. Dan Muhammad adalah nama yang saya buat sendiri. Juga saya sengajakan. Demi menjaga harga diri. Karena kemiskinan adalah aib dan saya harus menutupi dengan tidak membuka identitas resmi. Semestinya saya harus menghilangkannya, tetapi...

Semoga menjadi cermin buat kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun