Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melarat

26 Januari 2015   00:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita di atas benar terjadi, di negeri yang kaya ini. Muhammad bukan orang lain, dia adalah saudara isteri sahabatku, pengurus BAZ kab. Bengkalis, Riau. Sahabatku jugalah yang mengajak pergi ke rumah Muhammad untuk membagi uang zakat yang terkumpul di BAZ kab. Bengkalis.

Kisah Muhammad hanyalah contoh. Adapun yang sama, walau tidak persis masih tidak terhitung banyaknya. Bahkan ada yang lebih parah dari itu, seperti orang tua sebatang kara, tinggal di Wonosari, Bengkalis, hidup di gubuk orang, di kebun orang. Sampai meninggal tidak ada yang menunggu. Baru diketahui setelah bahu busuk kematian tercium warga yang melintas.

Begitu juga beberapa keluarga yang tinggal di Taman Kota Layu, Kebun Kapas, Bengkalis, yang sudah beranak pinak tetapi tidak jelas keberadaan ayahnya. Dan, dan, ...Dan mereka ada di seluruh desa-desa dan kota di kecamatan se-kabupaten Bengkalis: Rupat, Rupat Utara, Mandau, Pinggir, Bukitbatu, Siak Kecil dan Bantan.

Dulu, waktu saya masih menjadi pengurus di BAZDA kab. Bengkalis, data para mustahiq (yang berhak menerima zakat) sudah dibuat dan terus disempurnakan. Tetapi data hanya tinggal data. Uang zakat yang terkumpul tidak mampu berbuat apa-apa. Sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang berhak menerima.

Orang politik biasanya lebih senang membagi uang zakat sendiri ke orang miskin di daerah pemilihannya. Para pejabat dan pengusaha begitu juga. Lebih mantap dan puas, begitu katanya, jika uang zakat kekayaannya dibagikan sendiri kepada orang-orang miskin yang dikenalnya dan dikehendakinya.

Dengan demikian, uang zakat yang terkumpul tidak seberapa, dan tidak bisa diapa-apakan, sesuai rencana. Ya, rencana membagikan dana zakat dalam bentuk modal usaha, agar mustahiq yang mendapat, berubah status menjadi muzakki (pembayar zakat) pada tahun berikutnya, hanya tinggal angan-angan, hanya enak didiskusikan.

Dan, uang zakat yang terkumpul, kira-kira 2,5 milyar, dibagi rata ke mustahik. Didapatlah bagian Rp.50.000.- perkepala. Menyedihkan. Tetapi, mahu dibilang apa? Tidak mungkin untuk membuat sebuah terobasan yang memberdayakan dengan uang sebesar itu, sementara yang sangat membutuhkan juga banyak.

Apa yang terjadi? Rp.50.000.- membuat orang miskin menangis, penuh kesyukuran. Begitu besar nilai uang Rp.50.000.-. "Alhamdulillah, bisa untuk membeli daging," ucapan tulus kesyukuran yang saya dengar dan saksikan dari ibu-ibu dan bapak-bapak setelah menerima bagiannya.

Sekarang saya tidak aktif lagi di kepengurusan BAZ, tetapi saya yakin, tidak banyak berbeda dari sebelumnya. Karena BAZ tidak memiliki kekuatan memaksa atau memberi sanksi kepada para muzakki, agar membayarkan uang zakat melaluinya. Begitupun kemiskinan masih tetap sama, mungkin bertambah.

Kemiskinan bertambah?

Yang saya saksikan di KUA kec. Bengkalis, tempat saya bekerja sekarang. Paska diterbitkan Peraturan biaya nikah di kantor gratis, setiap hari kantor melaksanakan prosesi pernikahan. Bisa beberapa pasang sehari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun