Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jampi

26 Januari 2015   20:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantra

"Siapa bisa menyembuhkan kesurupan?"
"Dukun, tetapi menggunakan mantra Jawa."
"Yang kita minta sehat, normal seperti sebelumnya."

====================

Percakapan di atas, antara saya dan siswa-siswi di lokal. Karena sudah lebih setengah bulan, seorang siswi sering kehilangan kontrol, mendadak. Kadang di asrama dan sering di lokal. "Keserupan," istilah menurut orang Melayu.

Meskipun hanya seorang, kelas tetap terganggu: sebagian berusaha membantu, agar tidak jatuh ke batu, atau menyerang. Dan sebagian lagi lari ketakutan. Karena tenaganya bisa mengalahkan empat siswa. Seperti ketika pertama terjadi, empat siswa coba memegangi dua kaki dan tangan, keempat-empat terpelanting. Mengerikan!

Saya sudah menceritakan kejadian tersebut kepada teman psikolog dan psikiater, jawabnya hampir sama. Menurut keduanya, Itu gangguan konversi atau disosiatif, gangguan jiwa neurotik. Faktor penyebabnya adalah psikososial dan lingkungan. Karena di lingkungan mendapat tekanan atau sugesti. Bisa juga faktor sosiokultural, yakni kepercayaan masyarakat terhadap unsur mistis.

Keduanya membantu mengupayakan penyembuhan melalui pendekatan medis dan perlakuan khusus, tetapi sudah seminggu, belum menunjukkan tanda-tanda membaik, apalagi normal.

Karena keduanya ada keperluan yang mendesak, begitu katanya, maka diserahkan kembali sepenuhnya, kepada guru-guru untuk mencari jalan keluar.

Tidak lama setelah itu, salah seorang siswi menemui saya dan menawarkan penyembuhan lewat ruqyah. "Kawan-kawan liqo' bisa membantu penyembuhan dengan bacaan alQuran," katanya menawarkan bantuan.

"Kapan?". "Mulai malam ini." Saya berterima kasih atas pertolongan itu sebelumnya, dan saya persilahkan mulai malam untuk melakukan ruqyah.

Semenjak itu, grup liqo' mulai melakukan ritual pengobatan. Mereka bersama-sama membaca alQuran di asrama siswi yang kesurupan. Bagaimana ruqyah itu dilaksanakan, saya serahkan dan percayakan sepenuhnya kepada mereka. Bagi saya yang penting sehat dan normal seperti seperti semula.

Lebih seminggu, sejak malam itu, siswa bersangkutan juga belum menunjukkan tanda-tanda membaik, masih sama. Padahal ruqyah dilaksanakan siang dan malam. Secara bergantian alQuran dibacakan di asrama dan di hadapan siswi yang sering kesurupan.

Dengan permohonan maaf, kelompok liqo' juga menyerahkan kembali kepada guru-guru untuk mencari alternatif lain, demi kesehatan siswi dimaksud.

Saya pun bertanya kepada siswa-siswi di depan kelas seperti percakpan di atas. "Dukun, tetapi menggunakan mantera Jawa." Jawab salah seorang siswa dengan malu-malu dan ragu-ragu. Saya memaklumi, mungkin dia takut dikatakan sebagai pelaku bid'ah, khurafat atau syirik.

Saat itu juga, saya setujui usulnya. Dan langsung menanyakan siapa dan dimana tempat tinggal dukun dimaksud. Saya juga memberi penjelasan kebolehannya dari kaca mata agama, agar rasa malu dan ragu tidak ada lagi, sekaligus meyakinkan: "Yang kita minta sehat dan normal seperti sebelumnya," kataku memberi penekanan.

Sore hari, dua orang guru pergi menemui dukun dimaksud dengan satu hajat: mohon bantuan menjadi perantara penyembuhan siswi yang kerasukan.

Saya tidak ikut. Dan, tentunya tidak tahu persis bagaimana dukun yang menggunakan mantera Jawa, mengadakan ritual.

Informasi yang saya dapat dari dua orang guru yang diutus bahwa, setelah hajat disampaikan, dukun masuk ke dalam kamarnya mengambil sebotol air. Dia tidak perlu datang menemui siswi itu. Melainkan sebatas memberi petunjuk dan arahan.

Kemudian air dalam botol itu dibawa pulang. Sesuai petunjuk dan arahan air disiramkan ke tempat-tempat tertentu dan disisakan sedikit, untuk diminumkan dan disapukan ke muka.

Saya juga tidak melihat, bagaimana prosesi penyiraman air dari botol dilakukan. Pun, tidak menyaksikan cara meminum dan menyapukan sisa air ke muka. Yang saya saksikan hanya setelahnya.

Berangsur siswi itu, kesehatannya membaik. Tidak kesurupan lagi, dan bisa mengikuti pelajaran seperti biasa, meskipun belum maksimal. Keadaan kelas pun normal kembali. Proses belajar mengajar begitu juga. Sudah seperti semula.

Kemudian, di akhir jam belajar, menjelang pulang, saya bercerita sesuatu yang di luar pelajaran.

Cerita pun mengarah ke fenomena seputar kesurupan. Siswa-siswi mempunyai pendapat beragam, mengikut pengalaman masing-masing. Ada pendapat yang mengembalikan ke agama, ada ke psikologi, ada juga ke syaraf, dan ada ke budaya.

Saya senang. Semuanya benar dan memiliki dasar. "Tidak boleh saling menyalahkan atau mengklaim kebenaran," kataku menasehatkan mereka.

Sebagai penutup, dengan senang dan tersenyum, saya katakan: "Tanpa bermaksud menyamakan alQuran, apalagi merendahkan, melainkan hanya sekedar untuk renungan diri sendiri, kita harus akui, bahwa: mantera Jawa lebih unggul."

Siswa dan siswi semuanya ikut tersenyum dengan kalimat penutup yang saya ungkapkan. Kelaspun berakhir dan semua pulang, setelah saya ucapkan salam.

Saya lebih dahulu meninggalkan kelas. Siswa yang memperkenalkan dukun, berjalan di belakang saya, beberapa langkah, sampai ke kantor. Sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.

"Ada apa?"

"Ini, untuk bapak," jawabnya sambil memberikan amplop yang tertutupmrapat, dilem Dia pun segera pamitan, melangkah pulang menyusul teman-teman yang lain. Dan dengan hati gembira, saya buka. Ternyata isinya:

Holy Quran 69: 42.
------------------
‎وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Dan (alQuran itu) bukan pula perkataan dukun. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.

Setelah saya baca, saya masukkan kembali lembaran yang bertuliskan ayat alQuran itu ke dalam amplop yang sudah disobek, lalu saya selipkan di deretan kitab tafsir di ruang kerja. Tepatnya di halaman satu, juz satu, kitab tafsir Nazmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, karangan Ibarahim Al-Biqa’i.

"Besok akan saya pelajari, apa maksud ayat ini," bisikku dalam hati, seraya melangkah pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun