Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jilbab Syar'i

24 Februari 2015   18:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:35 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semenjak anak gadisku melihat foto-foto hitam putih neneknya yang tidak berjilbab dan foto-foto teman-teman perempuanku di pesantren dulu, yang tidak memasangkan selendang di kepala, lalu ia meminta pendapatku dari sudut pandang hukum yang bersumber dari alQuran, sayapun berfikir mencarikan jawaban yang mudah dimengerti untuk anak seusianya, yang masih duduk di bangku SMP.

Sambil mencari akal untuk menjawab dengan cara yang mudah dipahami, saya memintanya agar menghafalkan ayat-ayat alQuran yang dijadikan dasar hukum pemakaian jilbab. Karena dalam islam, alQuran itulah sumber hukum paling otoritatif. Dari segi periwayatan alQuran itu qoth'iy tsubut, karena ditransmisikan secara mutawatir, oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong.

Sementara dari sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat-ayat alQuran yang berkaitan dengan hukum, bisa bersifat qath’i, tetapi banyak yang zhanni. Menurut asy-Syatibi, ke-qath'i-an makna yang ditunjukkan oleh dalil tidak selalu lahir dari kekuatan dalil itu sendiri. Ayat-ayat yang yang bersifat pasti kandungannya, hanyalah yang menunjukkan hukum universal dan persoalan ibadah. Selain itu adalah zhanni, tidak pasti, bisa saja ayat itu menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.

Ayat jilbab tersebut dari sisi kandungan redaksinya, termasuk kepada dalil yang zhanni. Kebenarannya bersifat sangkaan atau perkiraan. Dengan kata lain, dimungkinkan adanya makna lain dari hasil pembacaan oleh orang yang berbeda. Maka sifatnya terbuka untuk beragam penafsiran dan tidak dibenarkan bagi penafsir manapun mengklaim kebenaran tafsirnya.

Anak gadisku bersemangat untuk mengetahui hukumnya. Tugas yang kuberikan untuk menghafal ayat tersebut, dapat diselesaikan dengan cepat. Setelah itu, diapun menagih jawaban yang kujanjikan.

"Baiklah, sore nanti bapak berikan jawabannya," kataku, sewaktu didesak di pagi minggu, saat menikmati kopi, sarapan pagi. Karena, hanya di pagi minggu, kami dapat sarapan bersama dengan anak-anak. Mereka libur dan saya juga libur.

Sore yang dijanjikan pun tiba. Saya belum juga mendapatkan jawaban yang mudah dimengerti dan dipahami. Bersamaan di sore hari minggu ini juga, saya sudah berjanji untuk bersepeda keliling kampung dengan isteri.

Maka, setelah sembahyang ashar, sekalian kuajak anak gadisku turut serta bersepeda. Kami bertiga menikmati suasana di kampung, sangat menyenangkan. Saya mengingati masa kecil dulu, saat berjalan kaki dan berlari-lari mengejar nelayan pulang dari laut. Kalau nasib baik, kami diberi ikan yang masih segar, bahkan terkadang masih hidup.

Masa itu hanya tinggal kenangan. Kini, usia sudah tidak lagi muda. Kesibukan bekerja dan mengurus anak-anak sekolah, telah menyita segalanya, khususnya waktu. Sehingga, berjalan keliling kampung, sudah jarang. Sudah berbulan-bulan tidak. Kalau tidak salah ingat, semenjak hari raya kemarin. Itupun karena ada rombongan dari rumah ke rumah. Kami menyebutnya baraan.

Tengah asik berjalan, menuju ke arah jembatan sebuah sungai, kami terpandang sebuah papan plang yang dipakukan di sebuah tiang yang ditancapkan. Ada tanda panah ke kanan dengan tulisan di bawahnya. Tertulis dengan huruf besar dan dengan tulisan yang juga besar. Tentu dimaksudkan, agar orang yang akan melewati jembatan dapat membacanya dengan mudah. Tulisan itu berbunyi: "IKUTI ARAH PANAH UNTUK MENYEBERANG"

"Pak, kita tidak bisa lewat terus?" Kata anak gadisku mengingatkan. "Untuk menyeberang kita harus belok kanan, seperti tertulis di papan plang itu," ia melanjutkan, memberikan informasi seperti dalam tulisan yang dibaca.

Karena ada tulisan pada papan plang itu, timbullah ide di pikiranku, untuk memberikan jawaban yang mudah dipahami anak gadisku. Maka kami pun berhenti sejenak, di seberang jalan, tidak jauh dari papan plang. Kebetulan di situ ada bangku, di bawah pohon dendan yang rindang. "Kita beristirahat dulu, di sini," kataku sambil membersihkan bangku panjang dengan telapak tangan kanan. Ada beberapa daun dari pokok dendan kering yang terjatuh di situ.

"Apa maksud tulisan di papan plang itu?" Kataku memancing pertanyaan, yang mengarahkan kepada jawaban yang sudah ada di pikiran.

"Memberi tahu orang yang akan menyeberang jembatan, agar berbelok kanan, melewati jalan lain, jalan alternatif." jawab anak gadisku dengan sangat yakin. Semua juga bisa menjawab seperti dia, karena tulisan dan tanda panahnya sangat jelas. Kemudian sekitar jarak 10 meter dari papan plang itu, ada gang baru ke arah kanan.

"Mengapa harus lewat jalan lain?" Isteriku mendahului dengan pertanyaan lanjutan, yang sebenarnya akan kutanyakan.

"Karena jembatan yang biasa dilewati mungkin rusak, sehingga masih diperbaiki."

"Mari kita berjalan lagi," ajakku menyudahi istirahat sebentar. Istirahat yang disengaja untuk menjadi pengantar pembicaraan selanjutnya, yakni pembicaraan yang menyangkut hukum islam tentang jilbab yang kujanjikan akan diberikan jawabannya sore ini juga.

"Kita lewat mana, bang?" Isteriku meminta pendapatku, sambil mengambil sepeda yang tersandar di bangku tempat kami duduk.

"Kita coba berjalan terus lurus, saja, mungkin perbaikannya sudah selesai," jawab anakku, mewakili apa yang juga sedang kupikirkan. Sebenarnya aku yang dimintai pendapat, tetapi yang namanya anak kecil, selalu ingin mendahului. Saya juga tidak keberatan dan tidak mempermasalahkan. Bahkan berterima kasih kepada anakku yang sudah memberikan jawaban.

Kami pun melanjutkan berjalan sesuai yang diinginkan anakku dan juga aku, mungkin juga dan juga isteriku. Karena meskipun isteriku yang menanyakan, tetapi pastilah sebelum bertanya, dia sudah memiliki jawaban. Selalunya begitu. Karena orang yang tidak memilki jawaban atau pikiran pendahuluan, pastilah tidak mungkin dapat bertanya. Seperti dalam istilah Arab disebut as Sual Nishful Ilmi, pertanyaan adalah separuh pengetahuan. Dengan kata lain, hanya orang berpengetahuan yang bisa bertanya.

"AlHamdulillah," kataku, setelah melihat jembatan yang akan dilewati, sudah selesai diperbaiki. Kami bisa langsung menyeberang melalui jembatan yang biasa. Tidak perlu melewati jembatan alternatif, yang tidak biasa dilewati.

Setelah sampai di tempat yang dituju, di kedai kopi tepi pantai, kami berhenti dan memesan tiga cawan kopi. Sambil menikmati angin pantai yang semilir, saya mengawali berbicara, untuk berbincang panjang menunggu matahari terbenam.

"Apakah sudah paham dengan ayat yang kamu hafalkan?" Pertanyaanku kepada anak gadisku, sambil menggeser cawan kopi panas yang baru saja terhidang.

"Belum."

"Baiklah, coba kamu baca ulang artinya dan kita coba memahaminya bersama."

Anak gadisku membaca arti dari surat Al Ahzab, ayat 59, yang oleh para ahli hukum islam dijadikan sumber hukum atau dailil tentang jilbab.

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, agar mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

"Bagus. Sangat tepat terjemahanmu. Sekarang menurutmu, apa tujuan ayat ini?"

"Perintah memakai jilbab yang diulurkan, agar perempuan beriman mudah untuk dikenal, sehingga tidak diganggu." Jawab anak gadisku sambil memegang ujung jilbab yang dikenakan.

"Ada kemungkinan tujuan lain?"

Dia diam. Saya melanjutkan berkata, "baik. Bapak setuju dengan maksud yang telah disebutkan itu. Menurut bapak itu sudah tepat. Dan itulah yang menjadi tujuan pokok."

Anak gadisku mendengar dengan seksama. Lalu kutanyakan: "Bila kita bandingkan dengan papan plang. Apa tujuan tulisan di papan plang itu?"

"Memberitahu orang ramai bahwa, jembatan tidak bisa dilewati. Dan diberi jembatan alternatif yang baru, yang ada di sebelah kanan."

"Betul. Itulah tujuan tulisan pada papan plang."

Karena dia sudah paham hubungan teks yang tertulis dengan tujuan yang ingin dicapai, maka saya melanjutkan pertanyaan: "Terus. Apa sebabnya tulisan pada papan plang itu. Atau apa yang menjadi latar belakangnya?"

"Karena jembatan rusak, sedang diperbaiki, sehingga tidak bisa dilewati,"

"Ya. Tepat sekali jawabanmu tentang hubungan tulisan pada papan plang dengan jembatan dan orang-orang yang mahu lewat. Sekarang kita bandingkan dengan ayat yang sudah kamu baca itu. Kira-kira apa latar belakang atau yang menjadi penyebab ayat itu diturunkan?"

"Mungkin ketika itu isteri-isteri nabi dan perempuan mukmin diganggu."

"Ya. Ketika ayat itu turun, kondisi Madinah masih sangat rawan. Perempuan malam yang mencari lelaki hidung belang juga banyak. Maka, lelaki hidung belang melihat semua perempuan sama. Lelaki itu menggoda dan mengganggu. Termasuk isteri Nabi ikut diganggu. Karena tidak ada pembeda antara isteri Nabi dan perempuan-perempuan lain. Itulah sebab turunnya." Kataku menjelaskan asbabun nuzul ayat itu dengan bahasa sangat bebas, agar mudah untuk dipahami.

Saya yakin, anak gadisku paham dengan penjelasan itu. Dan isteriku yang ikut mendengarkan pastilah juga memahami. Karena mereka berdua tidak bertanya ataupun mempertanyakan. Kemudian saya melanjutkan pertanyaan yang lebih menukik, agar pemahamannya lebih mendalam.

"Seandainya perempuan itu sudah dikenal, sehingga tidak mungkin diganggu. Mungkinkah ayat yang memerintahkan perempuan mukminah menggunakan jilbab yang terulur itu diturunkan?"

"Ya, jelas tidak perlu," kata isteri dan anak gadisku kompak.

"Ya. Sama juga dengan tulisan pada papan plang itu. Seandainya jembatan tidak rusak, sehingga tidak perlu diperbaiki, maka tidak pernah akan ada tulisan papan plang itu, 'kan?"

Saya lanjutkan lagi dengan keterangan singkat yang dilanjutkan pertanyaan.

"Sekarang telah sama kita saksikan bahwa, jembatan sudah tidak rusak lagi, sementara tulisan di papan plang masih ada di sana. Dan kita juga tidak melalui arah yang ditunjuk oleh tulisan di papan plang. Bersalah kah kita?"

"Tidak salah, karena yang menjadi sebab, sehingga petunjuk itu ditulis sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, fungsi petunjuk pada papan plang itu tidak diperlukan lagi." Isteriku menjawab lebih dulu dari anak gadisku. Tetapi anak gadisku memahaminya. Mungkin juga dia ingin mengatakan hal yang sama.

"Seandainya kita mengikuti perintah di papan plang itu. Boleh atau tidak?" Tanyaku selanjutnya.

"Tetap tidak dilarang, karena tulisannya pada papan plang masih ada." Kata anak gadisku, mendahului ibunya.

"Begitu jugalah dengan ayat yang memerintahkan memakai jilbab yang terulur itu. Karena gangguan terhadap perempuan beriman sudah tidak ada, dan perempuan beriman sudah dikenali, sehingga tidak mungkin lagi diganggu, maka perintah dalam ayat itu sudah kehilangan fungsi asalnya. Sama seperti perintah pada tulisan di papan plang, meski semua yang lewat melihatnya, tetapi tidak lagi mengikuti petunjuknya, karena jembatan yang rusak sudah dapat dilalui." Saya melanjutkan dengan penjelasan yang agak panjang. Keduanya serius mendengarkan, dan saya yakin, mereka memahami penjelasanku.

Sayapun terus melanjutkan: "Andaikan kita tetap akan memakainya, juga tidak dilarang. Sama seperti tidak dilarang apabila melalui jalur alternatif yang tidak biasa dilalui itu, walaupun jembatan sudah tidak rusak lagi."

"Berarti memakai jilbab menurut ayat itu bukan kewajiban," anak gadisku menyimpulkan sendiri dari keterangan dan penjelasanku.

"Ya. Ketika yang menjadi alasan hukumnya sudah tidak ada lagi, maka memakai jilbab hanya soal pilihan, boleh memakai, boleh juga tidak." Penjelasanku menguatkan kesimpulannya.

" Apa memang begitu, bang?" Isteriku bertanya dengan nada menyanggah pendapatku. Senangnya memang begitu, tidak puas kalau tidak memberikan sanggahan lebih dulu.

"Dalam kaidah hukum ada disebutkan: alHukmu yaduru ma'al 'Illati Wujudan wa 'Adaman, yang artinya: "ada atau tidak adanya hukum tergantung illat hukum". Illat hukum itu adalah alasan yang menjadi penyebab ditetapkannya hukum, bisa wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Tetapi jika yang menjadi alasan hukum sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada." Kataku memberikan penjelasan tambahan, karena bantahan isteriku, walaupun dalam bentuk pertanyaan.

"Bagaimana dengan ayat yang lainnya, yang bapak suruh juga agar dihafalkan itu?"

"Ayat 31, surat Annur dan ayat 58, surat alAhzab, kita lanjutkan lain waktu saja. Lihat matahari sudah kuning keemasan di sana," kataku berkilah untuk tidak menjawab persoalan ayat lain, yang sudah dihafal dan masih berkaitan dengan jilbab, sambil menunjuk ke arah matahari akan terbenam.

Kami pun segera membayar tiga cawan kopi kepada bibi penjaga kedai dan menghabiskan sisa air kopi dalam cawan, lalu pulang. Takut kalau didahului matahari terbenam dan kita belum masuk ke rumah. Bagi orang Melayu, itu termasuk pantang larang, tidak boleh dilanggar. "Bagi anak gadis, bisa tidak ada lelaki yang mahu meminang," kataku sambil melihat anak gadisku tersenyum.

"Sudah dulu, kita pulang. Hari pun dah petang. Jangan sampai ayam lebih dulu masuk ke reban." Kataku mengajak isteri dan anak gadisku pulang.

Kami pun pulang bersama, melalui jalan yang lain, agar lebih banyak yang dapat dipandang. Sekaligus berniat mengikuti kebiasaan Nabi saw. yang melewati jalan berbeda ketika pergi dan pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun