Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Anak dan Pendidikan Tak Mendidik

25 Juli 2017   15:51 Diperbarui: 23 Juli 2019   18:16 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadikan Robot Bukan Manusia

Pelajar dalam hal ini anak-anak bukan lagi dididik menjadi manusia yang memanusiakan manusia melainkan diciptakan untuk menjadi pesaing yang bersaing di dunia pendidikan dan pekerjaan.

Masa-masa yang seharusnya dilewati anak-anak dengan pembangunan karakter dan sifat-sifat kebijaksanaan, diganti dengan pembangunan mental pesaing yang ujungnya adalah bersaing dengan siswa-siswa lain untuk mendapatkan nilai tinggi, predikat dan status tinggi, serta diciptakan untuk menjadi pekerja yang siap bersaing ditengah kemajuan dunia. Ini sudah lari dari hakikat dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Di media-media banyak diberitakan berbagai sekolah menciptakan dunia pendidikan yang melulu tentang uang, keahlian, dan kemampuan siswa. Ini kenyataan, terjadi dibeberapa sekolah baik dasar maupun menengah keatas. 

Membentuk siswa-siswanya bersaing satu sama lain dalam berbagai mata pelajaran, dimana siapa yang pintar mendapat nilai tinggi, siapa yang cepat mengerjakan tugas diberi label siswa berpredikat bagus, siapa yang ahli dalam bidang tertentu akan dispesialkan. 

Dari metode-metode pembelajaran seperti ini, wajar saja jika permusuhan antar siswa didalam satu kelas terciptakan, pembunuhan-pembunuhan antar siswa terlakukan karena adanya kesenjangan sosial yang memang sengaja diciptakan para pengajar atau para pendidik. 

Seakan-akan dunia sekolah atau dunia pendidikan adalah ajang bersaing, ajang sikut-menyikut satu sama lain, ajang siapa yang benar siapa yang salah, siapa yang pandai dan siapa yang bodoh. Semua diakumulasikan berdasarkan siapa pemilik nilai tertinggi, siapa pemilik nilai terendah. Ruang dan waktu pembelajaran pun akan terasa bukan lagi pertemanan antar siswa, melainkan perdebatan satu dengan siswa lainnya.

Siswa-siswi dibentuk mempunyai kepribadian yang selalu mengedepankan angka, nominal, atau nilai, yang secara tidak langsung membuat mereka materialism, menganggap apa-apa yang ada didunia ini bisa dihargai oleh nominal atau angka, padahal masih ada sesuatu yang tidak bisa dinilai bahkan tidak ternilaikan oleh angka maupun nominal lainnya.

Karakter-karakter seperti inilah yang membuat kepribadian anak --dalam hal ini siswa- menjadi mudah menyepelekan temannya atau sahabatnya karena adanya batasan berdasarkan nilai atau angka-angka tersebut.

Belum lagi interaksi antara anak-anak (pelajar) dengan pengajar hanya satu arah, dimana siswa harus menuruti apa yang diajarkan pengajar. Ketika siswa mencoba kritis dan mencari tahu lebih dalam dengan bertanya atau melihat ada kesalahpahaman terhadap apa yang diajar, pengajar malah menghakimi dan menghukum siswa tersebut atas dasar murid harus menghormati dan mengikuti kata pengajar walaupun yang diajarkan salah dan keluar dari koridor materi. 

Tidak sedikit kasus dimana siswa-siswi depresi, tertekan mengerjakan soal, kebingungan dalam memahami soal per soal yang diajukan, bahkan takut untuk mencoba pendekatan dengan para pengajar hanya karena terbiasa ditekan secara psikis oleh guru dan pengajar lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun